Pencabutan Izin Perusahaan Awal 2022 Layak dari Aspek Lingkungan
Hasil kajian tentang pencabutan izin usaha sektor sumber daya alam oleh pemerintah awal tahun 2022 lalu menunjukkan layak dari aspek lingkungan. Argumentasi terkait aspek lingkungan ini seharusnya lebih dikedepankan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Awal tahun 2022, pemerintah mencabut ribuan izin usaha tambang, kehutanan, dan perkebunan yang tidak produktif sebagai upaya memperbaiki tata kelola sumber daya alam. Selain alasan ekonomi, hasil kajian terbaru menunjukkan bahwa pencabutan izin perusahaan tersebut juga layak dari aspek lingkungan.
Hal tersebut terangkum dalam hasil kajian tentang pencabutan izin konsesi kawasan hutan pada aspek lingkungan yang dilakukan TuK Indonesia. Kajian yang dilakukan selama Januari-Maret 2022 ini menggunakan metode skoring untuk penentuan fungsi kawasan hutan pada tiga jenis data, yakni jenis tanah, model elevasi digital (DEM), dan curah hujan.
Direktur Eksekutif TuK Indonesia Edi Sutrisno mengemukakan, kajian ini dilakukan karena alasan utama pencabutan izin usaha di bidang sumber daya alam oleh pemerintah tersebut tidak berdasarkan faktor lingkungan. Namun, pencabutan ini lebih mengedepankan faktor efisiensi ekonomi, khususnya dalam aspek tata kelola perizinan perusahaan.
”Kami ingin menggunakan momentum studi ini sebagai argumentasi untuk melihat ketimpangan yang terjadi dan penyelesaian konflik. Hal ini juga berlaku untuk konteks pemulihan lingkungan,” ujarnya dalam diskusi media di Jakarta, Kamis (5/1/2023).
Berdasarkan hasil analisis dengan metode skoring, pencabutan izin perusahaan yang dilakukan pemerintah tersebut layak dari aspek lingkungan. Sebab, 72 persen konsesi yang dicabut merupakan areal dengan fungsi hutan lindung dan hutan produksi terbatas yang tidak bisa dikelola secara insentif untuk hutan tanaman, hutan alam, dan perkebunan sawit.
Selain itu, hasil analisis juga menunjukkan mayoritas izin usaha untuk semua sektor berada pada kelas tanah dengan kepekaan sangat tinggi. Hal ini mengindikasikan tingginya risiko bencana pada kawasan-kawasan konsesi tersebut.
Sementara dari aspek topografi, izin perusahaan yang dicabut mayoritas berada dalam kelas kelerengan sangat curam. Kondisi ini mengindikasikan kerentanan perubahan tutupan dan permukaan tanah yang berdampak pada risiko bencana ekologis.
Kajian ini secara spesifik merujuk data perusahaan sesuai Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan. Dalam SK ini tertuang keputusan pencabutan dan evaluasi perizinan sebanyak 255 perusahaan dengan luas konsesi mencapai 4,49 juta hektar.
Tiga wilayah terluas dalam pencabutan izin konsesi tersebut adalah Papua, Papua Barat, dan Kalimantan Tengah.
Perusahaan yang dicabut izinnya dan dievaluasi tersebut meliputi 38 izin usaha pertambangan, 27 izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) pada hutan alam, 47 IUPHHK pada hutan tanaman, dan 143 izin perkebunan sawit.
Hasil pengolahan data juga menunjukkan, tiga wilayah terluas dalam pencabutan izin konsesi tersebut adalah Papua, Papua Barat, dan Kalimantan Tengah. Sebesar 46 persen luas izin konsesi kehutanan yang dicabut pada 2022 juga terafiliasi dengan 40 grup perusahaan.
Melalui hasil kajian ini, Edi berharap pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), melihat pencabutan izin ini tidak hanya dari kurang optimalnya aspek pengelolaan perusahaan. Namun, KLHK juga harus memperkuat argumentasi pencabutan izin ini berdasarkan ketidaksesuaian dengan aspek lingkungan.
”Seharusnya KLHK lebih serius memperkuat argumentasi lingkungannya. Kami berharap ada tambahan analisis oleh KLHK saat melakukan review dan melanjutkan evaluasi terhadap perusahaan yang diumumkan tahun lalu dengan indikator lingkungan,” ucapnya.
Dampak pencabutan
Kepala Pusat Studi Agraria IPB University Bayu Eka Yulian mengatakan, seluruh pihak masih menanti dampak pencabutan izin ini terhadap realokasi ruang untuk mengatasi ketimpangan struktur agraria di Indonesia. Di sisi lain, berbagai persoalan yang belum tuntas membuat pencabutan izin ini dipandang hanya sekadar perapian di level administrasi.
”Secara administrasi, pemerintah memang memiliki kemauan politik untuk menyelesaikan masalah izin konsesi ini. Namun, secara substansial, kami belum melihat pencabutan ini mampu mengurai persoalan di level tapak terkait konflik agraria hingga persoalan ketimpangan,” katanya.
Menurut Bayu, pemetaan sosial dan analisis kesesuaian lahan memang menjadi upaya yang harus dilakukan setelah pencabutan izin perusahaan. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa lahan atau wilayah tersebut bisa digunakan untuk berbagai kegiatan budidaya.
”Apabila memang lahan tersebut bisa digunakan, setelah itu kita dorong menjadi tanah obyek reforma agraria. Akan tetapi, perlu berhati-hati dengan jebakan Bank Tanah karena ditakutkan proses ini hanya sekadar ganti nama,” ungkapnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma JayaRiawan Tjandra menyatakan, upaya mencabut izin usaha ini perlu diapresiasi karena pemerintah seharusnya telah mengetahui dan siap dengan berbagai dampaknya dari aspek hukum. Akan tetapi, pertanyaan terkait dampak pencabutan izin ini bagi publik baru bisa dijawab apabila kita mengetahui rencana penyelenggaraan pembangunan pemerintah.
”Seharusnya kita bisa memperkuat konsep di dalam perencanaan penyelenggaraan pembangunan pemerintah ini. Sebagai contoh, ke depan setelah izin dicabut bisa mereduksi dan mengeliminasi konflik agraria serta mendistribusikannya ke pihak yang berwenang,” katanya.