Dua Gempa Mematikan dari 10.792 Kejadian Selama Tahun 2022 Bersumber di Darat
Dua dari 10.792 kejadian gempa bumi di Indonesia pada 2022 yang menimbulkan korban jiwa bersumber di darat.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama tahun 2022, Indonesia diguncang 10.792 kali gempa bumi, 22 kejadian di antaranya menimbulkan kerusakan dan 2 peristiwa menelan korban jiwa. Kedua gempa yang mematikan tersebut bersumber di daratan. Hal ini menjadi pelajaran penting agar lebih waspada terhadap gempa yang bersumber di daratan.
Data kejadian gempa bumi di Indonesia pada tahun 2022 ini disampaikan Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono dalam diskusi daring di Jakarta, Jumat (30/12/2022). ”Hasil pemonitoran BMKG selama tahun 2022 terjadi gempa di Indonesia sebanyak 10.792 kali, gempa dirasakan 807 kali dan gempa merusak 22 kali,” ujarnya.
Jumlah gempa pada 2022 ini di atas rata-rata tahunan sekitar 7.069 kali. ”Sejak 2013, ada kecenderungan kenaikan frekuensi gempa di Indonesia per tahun,” kata Daryono. Dari puluhan kali gempa merusak pada 2022, sebanyak 8 gempa menimbulkan korban luka-luka dan 14 gempa hanya memicu kerusakan. Adapun gempa yang menelan korban jiwa terjadi dua kali, yaitu gempa Pasaman pada 25 Februari 2022 dan gempa Cianjur pada 21 November 2022.
Gempa Pasaman berkekuatan M 6,3 dan menyebabkan 25 orang meninggal. Sementara gempa Cianjur berkekuatan M 5,6 dan mengakibatkan 334 orang meninggal.
Kedua gempa ini berpusat di daratan dengan sumber dangkal. Menurut Deputi Bidang Geofisika BMKG Suko Prayitno Adi, dua kejadian ini menjadi pembelajaran penting untuk lebih waspada terhadap gempa di daratan, khususnya di Jawa dan Sumatera, yang punya banyak jalur sesar di darat.
”Dampak gempa di darat lebih besar karena pusat gempanya dangkal dan biasanya dekat dengan permukiman, seperti gempa Cianjur yang kekuatannya hanya M 5,6, tetapi luar biasa besar dampaknya. Gempa Yogyakarta tahun 2006 juga sama, relatif kecil, dangkal, dan dampaknya besar,” tuturnya.
Dampak gempa di darat lebih besar karena pusat gempanya dangkal dan biasanya dekat dengan permukiman, seperti gempa Cianjur yang kekuatannya hanya M 5,6, tetapi luar biasa besar dampaknya.
Selain lokasi sumber gempa di darat, menurut Daryono, sejumlah gempa kecil menimbulkan kerusakan. Sebagai contoh, gempa Ketapang di Kalimantan Barat berkekuatan M 4,9 pada 1 Juli 2022 dan gempa Karangasem-Gianyar, Bali, pada 29 Juli 2022 berkekuatan M 4,6. Gempa Ketapang merusak satu rumah dan gempa Karangasem-Gianyar merusak empat rumah.
”Gempa dengan kekuatan ini seharusnya tidak menimbulkan kerusakan. Ini menunjukkan buruknya kualitas bangunan,” katanya.
Mitigasi gempa
Subkoordinator Mitigasi Gempa Bumi BMKG Suci Dewi Anugrah menambahkan, terjadinya kerusakan dan jatuhnya korban jiwa akibat gempa bumi selama tahun 2022 sebenarnya bisa dihindarkan jika mutu bangunan kita memenuhi standar tahan gempa. ”Konstruksi dengan kualitas rendah penyebab utama dari banyaknya kerusakan akibat gempa. Korban jiwa diakibatkan oleh reruntuhan bangunan,” ungkapnya.
Selain kerusakan bangunan rumah, sejumlah gempa ini, terutama gempa Cianjur, juga memicu kerusakan pada bangunan sekolah dan fasilitas kesehatan. ”Sebanyak 10 guru dan 42 siswa meninggal akibat gempa Cianjur. Hal ini karena gempa terjadi di siang hari saat banyak guru dan siswa masih beraktivitas di sekolah. Rumah sakit dan sekolah seharusnya kuat saat gempa, terutama rumah sakit seharusnya jadi tempat untuk menangani korban bencana,” katanya.
Dari kejadian gempa Cianjur yang guncangannya dirasakan hingga Kota Bandung dan Jakarta juga ditemukan banyak tempat kerja belum dilengkapi dengan sarana evakuasi memadai. Banyak perkantoran belum melakukan simulasi gempa di tempat kerja sehingga banyak karyawan tak memahami bagaimana melakukan respons yang baik saat gempa.
Sementara dari gempa Pasaman, menurut Suci, kita bisa belajar tentang ancaman bencana kolateral atau multi hazard berupa tanah longsor dan banjir lumpur yang menyertainya. Longsor di Pasaman terjadi tiga hari setelah peristiwa gempa utama. Analisis lapangan menunjukkan, dua kejadian tanah longsor saat itu memiliki sistem yang berbeda. Longsor disebabkan oleh material debris yang diendapkan setelah gempa di lereng gunung dan dipicu oleh hujan.
Untuk mengurangi risiko gempa bumi ke depan, butuh pembangunan rumah tahan gempa. ”Selain itu, perlu mengatur perabot dengan baik agar tidak membahayakan penghuni saat terjadi gempa. Untuk fasilitas umum, seperti rumah sakit, perlu ada pemeriksaan dan evaluasi dan audit rutin terhadap kondisi bangunannya,” ujarnya.
Suci menambahkan, pengetahuan masyarakat mengenai sejarah gempa bumi di daerah masing-masing dan bagaimana meresponsnya amat penting untuk menurunkan risiko bencana. Oleh karena itu, edukasi dan pelatihan rutin harus terus dilakukan. ”Penelitian dari gempa Kobe di Jepang pada 1995, sebanyak 77 persen korban gempa diselamatkan oleh dirinya sendiri (self assistance) sehingga latihan evakuasi mandiri perlu dibudayakan,” katanya.