Pewarna Makanan Sintetis Dapat Memicu Penyakit Radang Usus
Konsumsi berkepanjangan pewarna makanan sintetis Allura Red AC membahayakan kesehatan usus dan meningkatkan peradangan. Bahan pewarna makanan ini sering dipakai untuk permen dan minuman ringan hingga susu dan sereal.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Para ilmuwan menemukan bahwa konsumsi berkepanjangan pewarna makanan sintetis Allura Red AC dapatmembahayakan kesehatan usus dan meningkatkan peradangan. Selama ini, Allura Red, juga disebut FD&C Red 40 dan Food Red 17, menjadi bahan umum pewarna makanan mulai dari permen dan minuman ringan hingga produk susu dan sereal sarapan.
Beberapa penyakit radang usus yang bisa dipicu oleh konsumsi pewarna makanan Allura Red dalam jangka panjang termasuk penyakit crohn dan kolitis ulseratif. Penyakit crohn merupakan salah satu radang usus kronis (irritable bowel disease/IBD) yang dapat menyebabkan sakit perut, diare parah, kelelahan, penurunan berat badan, dan malnutrisi. Sementara kolitis ulseratif merupakan peradangan usus besar.
Bahaya pewarna makanan ini dilaporkan Waliul Khan, profesor dari Departemen Patologi dan Kedokteran Molekuler McMaster University, dan timnya di jurnal Nature Communications pada 20 Desember 2022. Yun Han (Eric) Kwon, yang baru saja menyelesaikan doktoral di bawah bimbingan Khan, menjadi penulis pertama paper ini.
Dalam paper ini, Kwon menulis, Allura Red AC (AR) merupakan pewarna sintetis yang sangat umum. Bahan makanan sintetis ini umumnya ada dalam permen, minuman ringan, produk susu, dan beberapa sereal. Pewarna digunakan untuk menambah warna dan tekstur pada bahan makanan, sering kali untuk menarik perhatian anak-anak.
Allura Red AC, yang terkadang disebut pewarna merah 40, selain umum dipakai untuk pewarna makanan, juga kerap dipakai untuk kosmetik. Ini adalah zat pewarna yang berasal dari tar batubara atau sulingan minyak bumi.
Penggunaan pewarna makanan sintetis seperti AR telah meningkat secara signifikan selama beberapa dekade terakhir. Namun, hanya sedikit penelitian tentang efek pewarna ini terhadap kesehatan usus.
Allura Red AC, yang terkadang disebut pewarna merah 40, selain umum dipakai untuk pewarna makanan, juga kerap dipakai untuk kosmetik. Ini adalah zat pewarna yang berasal dari tar batubara atau sulingan minyak bumi.
”Di dalam penelitian ini, kami menunjukkan paparan kronis AR pada dosis yang ditemukan pada produk makanan yang biasa dikonsumsi memperburuk model eksperimental kolitis (peradangan) pada tikus,” tulis Kwon dan tim.
Menurut Waliul Khan, dalam keterangan tertulis, pewarna makanan ini secara langsung mengganggu fungsi penghalang usus dan meningkatkan produksi serotonin, hormon/neurotransmiter yang ditemukan di usus, yang kemudian mengubah komposisi mikrobiota usus. Akibatnya, kerentanan terhadap kolitis meningkat.
”Studi ini menunjukkan efek berbahaya yang signifikan dari Allura Red pada kesehatan usus dan mengidentifikasi serotonin usus sebagai faktor penting yang memediasi efek ini. Temuan ini memiliki implikasi penting dalam pencegahan dan pengelolaan peradangan usus,” kata Khan.
Menurut Khan, penelitian ini diharapkan dapat menyadarkan masyarakat tentang potensi bahaya pewarna makanan yang kita konsumsi sehari-hari. Data literatur juga menunjukkan bahwa konsumsi AR juga memengaruhi alergi tertentu, gangguan kekebalan tubuh, dan masalah perilaku pada anak-anak, seperti gangguan hiperaktif defisit perhatian.
Khan mengatakan, IBD adalah kondisi peradangan kronis serius pada usus manusia yang memengaruhi jutaan orang di seluruh dunia. Sementara penyebab pastinya masih belum sepenuhnya dipahami, penelitian telah menunjukkan bahwa respons imun yang tidak teratur, faktor genetik, ketidakseimbangan mikrobiota usus, dan faktor lingkungan dapat memicu kondisi ini.
Dalam beberapa tahun terakhir telah ada kemajuan yang signifikan dalam identifikasi gen kerentanan dan memahami peran sistem kekebalan dan mikrobiota inang dalam patogenesis IBD. Namun, menurut Khan, kemajuan serupa dalam menentukan faktor risiko lingkungan telah tertinggal.
Khan mengatakan, pemicu lingkungan IBD termasuk pola makan khas Barat, yang meliputi lemak olahan, daging merah dan olahan, gula, dan kekurangan serat. Makanan Barat dan makanan olahan juga mengandung berbagai bahan tambahan pangan dan pewarna dalam jumlah besar.
Penelitian tersebut menunjukkan hubungan antara pewarna makanan yang biasa digunakan dan IBD. Eksplorasi lebih lanjut hubungan antara pewarna makanan dan IBD pada tingkat eksperimental, epidemiologis, dan klinis perlu dilakukan ke depan.