Penyakit stroke perlu ditangani cepat untuk mencegah kecacatan dan kematian pasien. Oleh sebab itu, fasilitas dan layanan penanganan stroke perlu tersedia merata sehingga bisa diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Stroke merupakan salah satu penyebab kematian utama di Indonesia. Ketersediaan fasilitas dan layanan pengobatan stroke sangat penting untuk dapat meningkatkan harapan hidup pasien. Namun, sejauh ini fasilitas layanan stroke yang ada belum merata.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi stroke di Indonesia 10,9 persen atau sekitar 2,1 juta penduduk. Angka ini naik 7 persen dibandingkan dengan tahun 2013 dan memiliki tren meningkat setiap tahun.
”Saya mengamati, stroke ini merupakan penyakit yang buruk sekali kualitas hidupnya. Penyakit ini menyebabkan kematian paling tinggi dan dapat membuat cacat juga. Kalau tidak salah, kematian sekitar 300.000 per tahun,” kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam acara Proctoring Stroke RS PON secara daring, Senin (26/12/2022).
Budi mengatakan, jumlah fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan spesialis bedah untuk menangani pasien stroke masih belum memadai. Oleh karena itu, transformasi layanan kesehatan rujukan salah satunya memperkuat layanan penyakit stroke. Targetnya, seluruh provinsi dan 514 Kabupaten/kota memiliki alat intervensi nonbedah.
”Pemerintah berupaya memastikan seluruh rumah sakit di kabupaten dan kota memenuhi standar pelayanan dalam menangani pasien stroke,” ucap Budi.
Salah satu program memperkuat layanan stroke adalah dengan pengampuan. Pengampuan diharapkan dapat mendekatkan akses masyarakat terhadap layanan stroke.
Salah satu program pengampuan layanan stroke terdapat di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof dr IGNG Ngoerah, Bali. Setelah diampu tim dari Rumah Sakit Pusat Otak Nasional (RS PON) Jakarta, kini RSUP Ngoerah dapat melakukan tindakan nonbedah pasien stroke.
Direktur RSUP Prof Ngoerah I Wayan Sudana menyampaikan, setelah mendapat pendampingan dari RS PON, pihaknya juga akan melanjutkan program tersebut ke RS daerah, khususnya di wilayah Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
”RS Prof Ngoerah dapat melakukan tindakan nonbedah bagi pasien penyakit stroke dalam bentuk trombektomi, coiling, dan atau clipping,” ujar Wayan Sudana.
Pada kegiatan proctoring (pengawasan) secara daring itu, tim medis RSUP Ngoerah melakukan tindakan coiling kepada seorang pasien dari Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Pelaksana Tugas Direktur Utama Rumah Sakit PON Mursyid Bustami mengatakan, kegiatan pendampingan, salah satunya proctoring tindakan bedah, dilakukan untuk dapat memenuhi standar stratifikasi. Dengan program ini, setiap RS yang menjadi pengampu regional diharapkan bisa melakukan operasi, bahkan dapat mengajarkannya kepada RS di daerahnya.
Pemerintah berupaya memastikan seluruh rumah sakit di kabupaten dan kota memenuhi standar pelayanan dalam menangani pasien stroke.
Penanganan stroke
Mursyid menjelaskan, stroke terjadi apabila pembuluh darah otak mengalami penyumbatan atau pecah. Akibatnya, sebagian otak tidak mendapatkan pasokan darah yang membawa oksigen yang diperlukan sehingga mengalami kematian sel atau jaringan.
Penanganan stroke yang dilakukan pada pasien yang mengalami penyumbatan atau pecah pembuluh darah ialah tindakan trombektomi, coiling, dan clipping. Trombektomi merupakan tindakan mengeluarkan atau menyedot bekuan darah dari pembuluh darah otak yang tersumbat.
Sementara coiling adalah memasukkan koil, kawat atau benang ke kantong yang akan pecah. Adapun clipping dilakukan dengan cara menjepit pembuluh darah di kepala agar tidak pecah kembali. Kondisi pecah pembuluh darah ini sangat berbahaya dan menyebabkan sakit kepala hebat pada pasien.
”Di RSUP Ngoerah ini kami mendata sarana dan prasarana serta alat kesehatan sudah lengkap. Kemudian sumber daya manusia seperti tenaga bedah saraf yang mampu melakukan tindakan clipping maupun tenaga neurointervensi yang mampu melakukan tindakan intervensi vaskular sudah ada,” ujar Mursyid.