Upaya penguatan diperlukan untuk memastikan dampak kenaikan tarif cukai bisa optimal pada pengendalian produk tembakau. Itu seperti melarang penjualan rokok eceran serta mempersempit selisih harga rokok mahal dan murah.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai rokok sebesar 10 persen pada 2023-2024 disambut baik sejumlah kelompok masyarakat. Akan tetapi, itu saja tidak cukup. Intervensi lain perlu dilakukan agar konsumsi rokok di masyarakat bisa dikurangi secara optimal.
Ketua Umum Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany dalam konferensi pers terkait ”PMK Cukai Hasil Tembakau 2023: Untung dan Rugi” di Jakarta, Rabu (21/12/2022), mengatakan, keputusan menaikkan tarif cukai rokok sebesar 10 persen patut diapresiasi sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam mengendalikan konsumsi produk tembakau. Namun, besaran kenaikan tersebut seharusnya bisa lebih ditingkatkan.
”Kenaikan 10 persen yang secara linear berdampak pada kenaikan tarif rokok tidak akan signifikan menurunkan konsumsi rokok di masyarakat pada tahun depan dan tahun berikutnya. Karena, selain kenaikan tadi tidak cukup besar, pendapatan perkapita masyarakat juga meningkat,” ujarnya. Oleh sebab itu, kenaikan tarif cukai rokok perlu ditingkatkan lagi.
Meski begitu, kenaikan tarif cukai yang berlaku saat ini bisa memberikan efek psikologis bagi masyarakat akan dampak buruk dari konsumsi rokok. Keputusan ini pun harus diperkuat dengan intervensi lain terkait dengan pengendalian produk tembakau.
Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abdillah Ahsan menuturkan, faktor lain perlu diperhatikan agar kenaikan tarif cukai bisa lebih optimal menekan konsumsi rokok. Selisih harga rokok termahal dengan rokok termurah masih cukup besar sehingga potensi beralihnya konsumsi masyarakat ke rokok yang lebih murah bisa terjadi.
Selain itu, simplifikasi tarif cukai juga belum diterapkan. Saat ini, setidaknya terdapat delapan jenis cukai rokok. Hal itu membuat sistem cukai menjadi rumit dan memperbesar kemungkinan penghindaran pajak.
Kenaikan 10 persen yang secara linear berdampak pada kenaikan tarif rokok tidak akan signifikan menurunkan konsumsi rokok di masyarakat pada tahun depan dan tahun berikutnya. Karena, selain kenaikan tadi tidak cukup besar, pendapatan perkapita masyarakat juga meningkat.
Persentase tarif per harga rokok pun masih di bawah 57 persen yang ditetapkan sebagai batas atas tarif cukai rokok. Beban cukai per harga terendah ditemukan pada produk sigaret kretek tangan (SKT) sebesar 20 persen dan beban tertinggi pada produk sigaret putih mesin 1 (SPM 1) sebesar 56 persen.
”Beban cukai per harga menurun karena kenaikan tarif tidak setinggi kenaikan harga sehingga produsen berpotensi meningkatkan keuntungannya. Meski begitu, kebijakan kenaikan tarif cukai ini sudah mampu membuat harga rokok termurah meningkat paling tinggi,” ujar Abdillah.
Ketua Center of Human and Economic Development (CHED) dan dosen Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Roosita Meilani mengatakan, kenaikan cukai hasil tembakau dapat berkontribusi untuk menurunkan angka kemiskinan ekstrem. Untuk itu, harga rokok seharusnya ditingkatkan sampai tidak terjangkau bagi masyarakat tidak mampu.
Dari penelitian yang telah dilakukan, ia mengatakan, jika harga rokok di Indonesia masih terjangkau oleh masyarakat miskin, hampir miskin, dan kelas menengah bawah, kelas masyarakat tersebut tetap tidak akan terlepas dari kemiskinannya. Kondisi tersebut bisa diperparah apabila mereka mengonsumsi rokok setidaknya satu bungkus per hari.
”Oleh sebab itu, bagaimana memisahkan rokok dari rakyat miskin adalah dengan menaikkan harga rokok di pasaran. Sesuai dengan penelitian Demografi UI, dengan menaikkan harga setidaknya Rp 23.204 per batang, masyarakat akan mencukupi kebutuhan dasarnya dengan tidak membeli rokok,” ujar Roosita.
Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia (UI), Risky Kusuma, menambahkan, selain untuk mengentaskan rakyat dari kemiskinan, pengendalian konsumsi rokok melalui kenaikan harga rokok sejalan pula dengan upaya pengendalian tengkes (stunting). Pada kelompok masyarakat tidak mampu, pengeluaran untuk membeli rokok akan menggunakan anggaran yang seharusnya bisa dipakai membeli pangan bergizi untuk keluarga.
Menurut dia, pengendalian tembakau harus menjadi kebijakan pemerintah yang dituangkan secara formal untuk mengurangi tengkes. Target penurunan tengkes hingga 14 persen pada 2024 memerlukan kerja keras dan inovasi kebijakan pengendalian konsumsi rokok.
”Pemerintah pun harus melarang penjualan rokok ketengan agar rokok semakin tidak terjangkau, terutama pada masyarakat tidak mampu dan anak,” ujar Risky.