Solstis 21 Desember dan Potensi Bencana yang Menyertainya
Solstis 21 Desember adalah fenomena rutin dan tahunan yang memengaruhi musim dan panjang waktu siang-malam. Solstis adalah fenomena astronomi sehingga tidak memiliki hubungan dengan berbagai bencana yang terjadi di bumi.
Di sejumlah media sosial tiba-tiba muncul isu yang mengaitkan solstis Desember dengan bencana alam hingga larangan keluar rumah saat malam. Padahal, solstis Desember adalah fenomena rutin astronomis yang terjadi setiap tahun. Fenomena ini memicu pergantian musim di Bumi, tetapi tidak memiliki hubungan dengan peningkatan aktivitas seismik Bumi.
Entah dari mana isu bermula hingga menjadi viral di media sosial. Namun, sejak awal Desember 2022, seiring terjadinya bencana di sejumlah daerah di Indonesia, mulai dari gempa bumi Cianjur, erupsi Gunung Semeru, hingga puting beliung dan banjir di beberapa tempat, muncullah ramalan akan terjadi bencana pada 21 Desember.
Selanjutnya, ramalan itu dikaitkan dengan fenomena solstis Desember, yaitu saat Matahari berada di titik balik selatan atau titik terjauh terselatan dari Khatulistiwa ketika Matahari bisa berada di atas kepala. Titik itu berada di 23,4 derajat Lintang Selatan (LS) yang tahun ini akan terjadi pada Rabu (21/12/2022) pukul 21.48 waktu universal atau Kamis (22/12) pukul 04.48 WIB.
Selain dikaitkan dengan solstis Desember, dalam video yang beredar juga muncul imbauan untuk tidak keluar rumah pada malam hari serta memperbanyak doa agar diberi keselamatan. Meski informasi itu bersifat netral, tak ayal narasi di video membuat sebagian warganet takut, resah walau banyak juga yang akhirnya mengajak untuk memperbanyak ibadah.
Baca Juga: Apa Jadinya jika Bumi Berhenti Berputar?
Solstis atau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai titik balik Matahari terjadi akibat kemiringan sumbu rotasi Bumi dan gerak Bumi mengelilingi Matahari. Dibandingkan dengan bidang edar Bumi memutari Matahari, sumbu rotasi Bumi miring 23,4 derajat.
Kemiringan sumbu rotasi ini bersifat tetap. Akibatnya, saat mengorbit Matahari, ada satu waktu Kutub Utara dan belahan Bumi utara akan menghadap Matahari dan saat bersamaan Kutub Selatan dan Bumi bagian selatan menjauhi Matahari. Posisi ini akan berbalik pada enam bulan berikutnya, yaitu Kutub Utara menjauhi Matahari dan Kutub Selatan menghadap Matahari.
Miringnya sumbu rotasi Bumi sembari mengelilingi Matahari itu juga membuat seolah-olah Matahari bergerak bolak-balik dari utara ke selatan dan sebaliknya. Titik terjauh gerak itu adalah di 23,4 derajat Lintang Utara (LU) dan 23,4 derajat Lintang Selatan (LS).
Garis 23,4 derajat LU atau disebut Tropic of Cancer itu dicapai Matahari antara 20 Juni dan 22 Juni sehingga disebut titik balik Matahari Juni atau solstis Juni. Garis ini juga disebut titik balik musim panas karena pada saat itu menjadi tanda dimulainya musim panas secara astronomi di belahan Bumi utara. Garis ini melewati Meksiko, Afrika utara, Timur Tengah, India, dan China.
Sementara garis 23,4 derajat LS atau disebut Tropic of Capricorn yang melintasi Amerika Selatan, Afrika bagian selatan dan Australia dicapai Matahari antara 20 Desember dan 23 Desember. Waktu ini disebut sebagai titik balik Matahari Desember, solstis Desember, atau titik balik musim dingin karena waktu ini menandakan dimulainya musim dingin di belahan Bumi utara.
Meski bisa berlangsung antara 20 Desember-23 Desember, solstis Desember paling sering terjadi pada 21 Desember dan 22 Desember. Solstis Desember pada 23 Desember terakhir terjadi pada 1903 dan akan kembali berlangsung tahun 2303. Solstis Desember pada 20 Desember lebih jarang lagi terjadi dan yang paling dekat akan berlangsung pada 2080.
Maju mundurnya waktu terjadinya solstis Desember itu, seperti dikutip dari Time and Date, terjadi karena variasi panjang tahun antara 365 hari dan 366 hari. Padahal, waktu yang dibutuhkan Bumi untuk satu kali mengelilingi Matahari adalah 365,242199 hari sehingga waktu solstis akan maju mundur dalam rentang waktu tertentu.
Baca Juga: Habitat Ekstrem Makhluk Bumi
Selain memengaruhi musim, gerak semu Matahari antara solstis Juni dan solstis Desember juga akan memengaruhi panjang-pendeknya waktu siang dan malam. Saat solstis Desember, belahan Bumi selatan akan menghadapi siang terpanjang dan malam terpendek. Bahkan, di sekitar lingkar kutub selatan, Matahari tidak akan pernah tenggelam alias siang 24 jam.
Pada saat bersamaan, di belahan Bumi utara menghadapi hal sebaliknya, yaitu malam terpanjang dan siang terpendek. Bahkan, di sekitar lingkar Kutub Utara, Matahari tidak akan pernah terbit atau malam 24 jam. Kondisi itu akan berbalik saat berlangsung solstis Juni.
Dampak Indonesia
Karena berada di antara garis 23,4 derajat LU dan 23,4 derajat LS, wilayah Indonesia disebut tropis. Dampak gerak semu Matahari antara kedua garis itu atau antara kedua solstis juga akan dialami Indonesia meski tidak seekstrem di daerah lintang tinggi.
Saat solstis Desember, ketika Matahari ada di belahan Bumi selatan, wilayah Indonesia yang ada di selatan Khatulistiwa juga akan mengalami siang terpanjang dan malam terpendek. Fenomena ini mudah dikenali dari waktu Subuh yang makin dini hari dan Maghrib yang kian malam. Sementara wilayah Indonesia di utara garis Khatulistiwa akan mengalami kondisi sebaliknya.
Sebagai gambaran, waktu shalat Subuh di Jakarta sesuai data Kementerian Agama pada Rabu (21/12) adalah pukul 04.13 WIB dan Maghrib 18.08 WIB. Bandingkan dengan waktu shalat pada 22 Juni 2022 saat belahan Bumi selatan mengalami waktu siang terpendek dan malam terpanjang. Ketika itu, subuh di Jakarta pukul 04.40 WIB dan maghrib 17.51 WIB.
Namun, panjang siang sejatinya diukur dari waktu terbit hingga terbenamnya Matahari. Sesuai data Time and Date, Matahari di Jakarta pada Rabu (21/12) terbit pukul 05.36 WIB dan terbenam pukul 18.05 WIB. Artinya, panjang siang saat itu adalah 12 jam 29 menit dan panjang malamnya 11 jam 31 menit.
Baca Juga: Medan Magnet Bumi Terus Melemah
Pada hari yang sama. Matahari di Banda Aceh terbit pukul 06.42 WIB dan tenggelam pukul 18.30 WIB sehingga panjang siangnya mencapai 11 jam 48 menit dan malamnya 12 jam 12 menit. Kondisi ini akan berkebalikan saat terjadi solstis Juni. Selain itu, karena berada di dekat Khatulistiwa, perbedaan waktu siang dan malam di Indonesia tidak begitu terasa.
Selain panjang siang dan malam, perubahan solstis juga memicu perubahan musim di Indonesia meski tidak ada musim panas atau musim dingin.
Saat solstis Desember, belahan Bumi selatan mendapat banyak paparan sinar Matahari. Suhu yang hangat akan membuat tekanan udara rendah sehingga memunculkan angin muson barat yang bergerak dari wilayah Asia yang dingin ke Benua Australia yang hangat.
Saat solstis Desember, belahan Bumi selatan mendapat banyak paparan sinar Matahari. Suhu yang hangat akan membuat tekanan udara rendah.
Angin dari dataran Asia itu akan melintasi Laut China Selatan dan bagian utara Samudra Hindia. Akibatnya, angin mengandung banyak uap air hingga menimbulkan musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia. Sebelum terjadi perubahan iklim, antara Desember dan Februari adalah puncak musim hujan di Jawa, Sumatera bagian selatan, dan Nusa Tenggara.
Sebaliknya, saat solstis Juni, berembus angin muson timur dari Australia ke Asia. Angin ini melintasi dataran Australia yang kering sehingga tidak banyak kandungan airnya. Akibatnya antara Juni-Agustus dulunya menjadi puncak musim kemarau di sebagian besar wilayah Indoensia yang ada di selatan Khatulistiwa.
Potensi bencana
Dalam astrologi (bukan astronomi), perubahan posisi benda-benda langit, termasuk saat terjadi solstis, dipercayai memiliki pengaruh dengan bencana dan kehidupan yang ada di Bumi. Pandangan ini menjadi sumber dari sebagian ramalan terjadinya bencana pada 21 Desember yang beredar di media sosial.
Namun, secara astronomi, keyakinan itu sulit dibuktikan secara ilmiah. ”Sekalipun pada hari terjadinya solstis Desember terjadi letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami atau banjir rob, peristiwa itu sama sekali tidak berkaitan dengan fenomena solstis,” tulis peneliti Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andi Pangerang Hasanuddin di situs Edukasi Sains Antariksa BRIN, 16 Desember 2022.
Solstis adalah murni fenomena astronomi yang memengaruhi iklim dan musim di Bumi. Adapun gempa dan gunung berapi adalah fenomena yang ditimbulkan oleh aktivitas seismik dan vulkanik di Bumi. Kalaupun terjadi banjir bandang, itu juga fenomena yang terjadi di lingkungan Bumi yang potensinya meningkat akibat rusaknya alam, tidak secara langsung diakibatkan oleh solstis.
Beberapa kajian ilmiah memang berusaha membuktikan kaitan antara fenomena langit dan kejadian di Bumi. Namun, umumnya, hasilnya tidak kuat atau kurang dukungan data ilmiah sehingga meragukan.
Salah satu studi yang dilakukan Zhenxia Zhang dan rekan serta dipublikasikan di jurnal Earthquake Science, 29 November 2013, menemukan, 12 persen gempa bumi dengan magnitudo 5,0-6,0 antara 1973 dan 2010 yang terjadi akhir tahun dipengaruhi oleh rotasi Matahari. Namun, rotasi Matahari tidak berpengaruh terhadap gempa yang berkekuatan lebih dari magnitudo 6,0.
Sementara gravitasi Bulan, yang selama ini dianggap berpengaruh besar terhadap aktivitas kegempaan di Bumi, dari hasil studi tersebut justru menunjukkan kurang berpengaruh dalam menentukan waktu terjadinya gempa. Pengaruh lebih besar masih dimiliki oleh rotasi Matahari.
Tak hanya itu, studi Marilia Hagen dan rekan untuk mencari hubungan antara musim dan gempa dalam yang dipublikasikan di jurnal Natural Science, Juli 2018, menemukan, selama musim semi dan musim gugur, gempa ultradalam dengan kedalaman lebih dari 500 kilometer sedikit bertambah di belahan Bumi utara atau selatan.
Jika mengacu pada studi itu, saat musim semi berlangsung di belahan Bumi selatan antara September-November, di belahan Bumi utara sedang mengalami musim gugur. Namun, apakah kondisi itu juga memengaruhi terjadinya gempa di Indonesia beberapa waktu terakhir perlu diuji lebih jauh. Dalam studi Hagen dan rekan itu hanya dilakukan di Pasifik utara, Pasifik selatan, Filipina, dan Amerika Selatan, tidak ada Indonesia.
Jadi, tak perlu khawatir dengan isu-isu yang tidak jelas di media sosial. Sebagai manusia yang tinggal di wilayah ring of fire atau cincin api dan memiliki aneka risiko bencana serta kondisi alam yang sudah berubah akibat ulah manusia, sudah sewajarnya kita waspada dengan segala potensi bencana yang ada dan bisa terjadi kapan saja serta dimana saja.
Baca Juga: Bukan Gempa yang Membunuh
Ingat, dalam banyak kasus bencana, yang membunuh bukanlah bencananya, melainkan kepanikan dan ketidakpedulian kita terhadap bencana yang ada, buruknya insfrastruktur, hingga jeleknya kualitas bangunan. Waspada harus, tetapi tidak usah panik, apalagi termakan isu-isu tidak jelas di media sosial.