Sejumlah mikroba Bumi nyatanya mampu hidup di lingkungan ekstrem, seperti sangat dingin dan panas atau radiasi dan tekanan tinggi. Wawasan ini bermanfaat untuk pencarian tempat di luar Bumi yang bisa menopang kehidupan.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·6 menit baca
Temuan sekawanan amphipoda, mirip udang-udangan, di sungai yang tertutup lapisan es setebal 500 meter di Antarktika menunjukkan kekuatan makhluk hidup Bumi di lingkungan ekstrem yang tak terbayangkan sebelumnya. Temuan ini juga memperbesar keyakinan manusia tentang adanya makhluk hidup di luar Bumi yang mampu bertahan di lingkungan ekstradingin.
Habitat amphipoda itu tersembunyi di sungai di dalam goa di bawah lapisan es Larsen Ice Shelf yang terletak di pantai timur Semenanjung Antarktika. Semenanjung ini terletak antara 60 derajat bujur barat dan 90 derajat bujur barat atau di dekat ujung bawah Amerika Selatan. Sejumlah bagian dari lapisan es ini telah runtuh selama tiga dekade terakhir.
Amphipoda adalah ordo untuk hewan tak bertulang belakang yang memiliki kaki pada kedua sisi tubuhnya. Binatang ini digolongkan sebagai krustasea atau udang-udangan tingkat rendah. DS Glazier dalam Reference Module in Earth Systems and Environmental Sciences, 2014, menyebut binatang ini memiliki lebih dari 7.900 spesies yang sebagian besar hidup di laut.
Penemuan makhluk hidup ini di bawah lapisan es Antarktika itu, seperti dikutip dari Livescience, 10 Juni 2022, adalah hal tak terduga. Semula, peneliti hanya ingin mengetahui fitur geologis yang dalam foto satelit terlihat seperti alur dan diduga sebagai sungai bawah laut. Untuk mencapai fitur itu, tim mengebor lapisan es setebal 500 meter dengan bor air panas.
Tim menilai Enceladus menjadi tempat yang paling memungkinkan untuk menopang kehidupan karena sistem ventilasi hidrotermalnya memiliki skor tertinggi serta tidak memiliki radiasi pengion.
Saat sungai bawah laut itu berhasil ditembus, peneliti pun memasukkan kamera ke dalamnya. Tiba-tiba pada kamera video muncul bintik-bintik yang mengaburkan pandangan. Semula, kondisi itu dinilai akibat kerusakan kamera. Namun, setelah kamera difokuskan ulang, tim baru menyadari bahwa kamera mereka telah dikerubuti amphipoda.
Para peneliti tidak pernah membayangkan bahwa jauh di bawah lapisan es Antarktika akan ada kehidupan. ”Keberadaan hewan yang berenang di sekitar kamera itu menunjukkan adanya proses ekosistem penting di sana,” kata ahli fisika kelautan di Institut Penelitian Air dan Atmosfer Nasional (NIWA), Auckland, Selandia Baru, Craig Stevens.
Sejak lama, ilmuwan meyakini adanya jaringan sungai, danau, dan muara yang luas di bawah permukaan es Antarktika. Namun, fitur geologis itu memang kurang diteliti dan dipelajari. Terlebih, tidak pernah ada dugaan bahwa fitur-fitur geologis itu menyimpan kehidupan.
Temuan ini tak hanya bermakna penting dalam upaya manusia mengenali lingkungannya, tetapi juga memberi pengetahuan tentang kemampuan makhluk hidup untuk tinggal dan berkembang di lingkungan yang ekstrem. Wawasan ini akan sangat membantu manusia dalam mencari kehidupan lain di luar Bumi.
Ekstromofil
Mikroba yang mampu hidup pada habitat ekstrem itu disebut ekstromofil. Kini, keberadaan ekstromofil itu dijadikan salah satu ukuran untuk mendeteksi potensi adanya kehidupan di planet atau satelit lain di Tata Surya melalui Indeks Habitabilitas Mikroba (MHI). Indeks ini dinilai lebih memberi kepastian dalam penentuan tempat-tempat di Tata Surya yang berpotensi menyimpan kehidupan seperti yang dikenal di Bumi.
Selama ini, ukuran untuk menentukan layak huni atau tidaknya sebuah tempat di semesta diukur berdasarkan jarak dari bintang induk, keberadaan oksigen atau air, maupun kondisi interior planet atau satelit tersebut. Nyatanya, di Bumi pun banyak ditemukan mikroba yang ternyata mampu hidup di lingkungan yang sebelumnya tidak terbayangkan.
Dikutip dari Universe Today, 15 Maret 2022, MHI disusun oleh tim yang dipimpin Dimitra Atri, ahli keplanetan dari Universitas New York, Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Dalam indeks itu, ada enam variabel yang dianggap memengaruhi kelayakhunian habitat tertentu untuk mendukung kehidupan, yaitu suhu, tekanan, radiasi ultraviolet, radiasi pengion, derajat keasaman (pH), dan salinitas.
Variabel itu disusun berdasarkan temuan tentang sejumlah ekstremofil di Bumi, seperti Serpentinomonas sp. B1 yang bisa hidup di lingkungan dengan pH 12,5 atau sangat basa. Sebagai pembanding, air murni umumnya memiliki pH 7.
Ada pula mikroba Thermococcus piezophilus CDGS yang mampu bertahan dalam tekanan hingga 125 megapascal (MPa). Untuk perbandingan, tekanan permukaan laut rata-rata yang jadi standar umum makhluk hidup adalah 101 kilopascal (kPa) atau 0,101 MPa.
Selain itu, dikutip dari Livescience, 3 Agustus 2011, ada psikrofili atau mikroba yang mampu hidup pada suhu minus 15 derajat celsius. Psikrofili ini umumnya berupa bakteri, jamur, dan ganggang yang memiliki enzim tertentu hingga membuat mereka bertahan pada suhu rendah. Psikrofili banyak ditemukan di Samudra Arktik dan Samudra Antarktika yang beku serta di bawah lapisan es dataran Siberia, Rusia.
Beda dengan psikrofili, ada mikroba yang justru tahan panas atau hipertermofil. Salah satu spesies hipertermofil adalah bakteri dari genus Aquifex yang ditemukan pada sumber air panas di Taman Nasional Yellowstone, Amerika Serikat, yang bersuhu 96 derajat celsius. Padahal, menurut Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) AS, bakteri umumnya sudah mati pada suhu 63 derajat celsius sampai 74 derajat celsius.
Mikroba yang tahan radiasi adalah Deinococcus radiodurans yang mampu hidup meski terpapar radiasi hingga 15.000 gray. Padahal, paparan radiasi 10 gray saja bisa membunuh manusia dan paparan 1.000 gray membunuh kecoa. Bakteri ini sering jadi acuan banyak hal karena tetap hidup meski dalam lingkungan bersuhu rendah, asam, dan vakum serta terbatas air.
Sebagian besar makhluk Bumi juga butuh oksigen agar hidup. Namun, ada hewan di sedimen laut, yaitu Loricifera, yang mampu hidup tanpa oksigen berkat organ khusus yang dimilikinya. Ada pula mikroorganisme halofilik atau suka garam, yaitu Halobacterium halobium, yang telah berevolusi hingga mampu bertahan di lingkungan dengan tingkat salinitas 10 kali lebih tinggi dari kadar rata-rata garam air laut.
Dari variabel kelayakhunian habitat itu, Atri dan tim menilai enam lingkungan yang berpotensi menampung kehidupan seperti di Bumi, minimal bisa dihuni oleh ekstremofil. Lingkungan ekstrem tempat ekstremofil itu berupa kutub es, benua yang memiliki permukaan, benua dengan sub-permukaan, lautan, dasar laut, hingga ventilasi hidrotermal.
Dari enam fitur lingkungan itu, tim menemukan tujuh tempat di Tata Surya yang memiliki fitur tersebut. Tempat tersebut adalah planet Mars, satelit Jupiter: Europa, Ganymede, dan Callisto, satelit Saturnus: Enceladus dan Titan, serta planet katai Pluto.
Nyatanya, tidak semua dari ketujuh tempat itu memiliki fitur lingkungan yang lengkap, seperti Mars yang memiliki kutub es dan benua dengan permukaan, tetapi tidak mempunyai lautan dan ventilasi hidrotermal. Namun, hal itu bukan berarti Mars tidak bisa menopang kehidupan. Peluangnya tetap ada meski tidak sebesar tempat lain.
Setelah memasukkan data MHI, tim menilai Enceladus menjadi tempat yang paling memungkinkan untuk menopang kehidupan karena sistem ventilasi hidrotermalnya memiliki skor tertinggi serta tidak memiliki radiasi pengion. Calon selanjutnya adalah Mars dan Europa.
Studi itu bisa dimanfaatkan untuk memfokuskan riset dan pengiriman wahana antariksa di masa depan dalam misi pencarian kehidupan di luar Bumi di Tata Surya di Enceladus, Mars, dan Europa. Pada akhirnya, hanya misi dan riset yang fokus di tengah luasnya semesta dan keterbatasan teknologi manusia yang berpeluang lebih besar menemukan kehidupan di luar Bumi dengan bentuk kehidupan seperti yang dikenal di Bumi.