Kemajuan Pencarian Kehidupan Cerdas di Luar Bumi
Meski pada tahun 2020, manusia berkutat dengan pandemi Covid-19, sejumlah temuan membuka informasi dan sekelumit misteri akan ada tidaknya kehidupan di luar angkasa. Di antaranya temuan fosfin di Venus.
Selama 2020, tahun pandemi Covid-19, temuan medis jadi invensi yang paling menakjubkan dan paling ditunggu-tunggu hasilnya. Di tengah berbagai keterbatasan akibat korona, studi tentang kehidupan cerdas di luar Bumi banyak memberi hasil menggembirakan. Namun, jangan terlalu berharap dulu bahwa manusia akan segera menemukan saudaranya di semesta raya.
Mencari kehidupan di semesta yang mahaluas bukan perkara mudah. Sepanjang 2020, meski tidak ada makhluk hijau ceking berkepala gundul dan mata besar seperti gambaran film fiksi ilmiah tentang alien, berbagai hasil studi baru makin membawa manusia lebih dekat untuk menemukan kehidupan di luar Bumi, mulai dari temuan molekul organik di Venus hingga pancaran aneh gelombang radio.
Pengumuman penemuan fosfin, senyawa organik yang tersusun atas fosfor dan hidrogen di atmosfer bagian atas Venus pada September 2020 disambut sukacita warga dunia. Planet terdekat Bumi itu nyatanya memberi harapan adanya kehidupan. Di Bumi, fosfin dihasilkan bakteri yang bernapas tanpa oksigen dan sejumlah aktivitas manusia. Molekul ini juga dihasilkan secara alami di sejumlah planet gas raksasa.
Baca juga: Tanda Kehidupan di ”Bintang Kejora”
Namun, tidak ada penjelasan yang bisa memberikan jawaban mengapa molekul tersebut bisa berada di Venus yang superpanas hingga sering diibaratkan sebagai planet neraka. Pertanyaan itulah yang membawa dugaan para peneliti bahwa ada kehidupan di Venus yang mampu menghasilkan fosfin.
Studi lain akhirnya membantah dugaan adanya kehidupan di Venus. Kemungkinan mendasar, apa yang diduga para peneliti sebagai fosfin itu sejatinya bukanlah fosfin. ”Data yang mereka kumpulkan (para peneliti penemu dugaan fosfin di Venus) mengandung banyak derau hingga menghasilkan tanda kimia yang seolah seperti tanda fosfin,” kata John Carpenter, astronom di Observatorium Atacama Large Millimeter/submillimeter Array (ALTA), Chile, seperti dikutip dari Live Science, Senin (28/12/2020).
Kalaupun data tentang fosfin yang diperoleh akurat, ahli kimia dari Universitas Glasgow, Inggris, Lee Cronin, mengingatkan bahwa fosfin bisa dihasilkan oleh sejumlah proses geologi yang tidak terkait sama sekali dengan ada tidaknya kehidupan. Evolusi Venus hingga menjadikan bentuk Venus seperti saat ini masih belum terjawab semuanya.
Karena itu, temuan satu jejak molekul saja tidak bisa dijadikan bukti kuat adanya kehidupan di sana. Banyak studi perlu dilakukan guna menjawab teka-teki kondisi kimiawi di Venus.
Lokasi peradaban
Temuan lainnya terkait kehidupan di luar Bumi selama setahun terakhir adalah adanya dugaan 36 peradaban cerdas yang tersebar di seluruh galaksi Bimasakti. Dalam studi yang dipublikasikan di The Astrophysical Journal, 15 Juni 2020, jumlah peradaban cerdas itu dihitung berdasarkan persamaan Drake, formula tentang peluang adanya kehidupan di luar Bumi yang dibuat astronom Frank Drake pada 1961.
Dalam persamaan itu, sejumlah variabel dihitung mulai dari tingkat rata-rata pembentukan bintang, persentase bintang yang memiliki planet, serta prediksi planet yang memiliki kehidupan. Berbagai variabel itu dihitung berdasarkan informasi pembentukan bintang dan eksoplanet yang tersedia karena banyak variabel belum diketahui. Akhirnya diperoleh hasil kemungkinan adanya 36 peradaban di seluruh Bimasakti dengan tingkat kecerdasan mirip makhluk Bumi.
Persoalannya, meski semua variabel dalam persamaan Drake itu ditemukan, masih butuh waktu lama hingga manusia Bumi akhirnya bisa mengenali tetangga mereka di Bimasakti. Dengan asumsi 36 peradaban itu tersebar merata di seluruh Bimasakti, makhluk asing yang jadi tetangga terdekat manusia Bumi itu berada pada jarak 17.000 tahun cahaya dari Bumi.
Jika manusia berusaha mendeteksi adanya kehidupan di luar Bumi, apakah kemungkinan kehidupan di luar Bumi itu juga akan mencari manusia Bumi? Publikasi di jurnal Monthly Notices of the Royal Astronomical Society, 20 Oktober 2020, menyebut ada sekitar 1.000 sistem bintang pada jarak sekitar 300 tahun cahaya dari Bumi yang berpeluang bisa mendeteksi keberadaan Bumi jika di sistem bintang itu ada kehidupan.
Bumi akan terdeteksi saat melintas di depan Matahari hingga cahaya Matahari meredup. Metode transit ini juga sering digunakan manusia untuk mendeteksi keberadaan planet di sistem bintang lain. Dengan mekanisme itu pula, kehidupan cerdas di luar Bumi bisa mendeteksi metana dan oksigen di atmosfer Bumi yang menjadi tanda adanya kehidupan.
Kehidupan cerdas di luar Bumi juga bisa menginduk pada berbagai jenis bintang, tidak melulu bintang yang mirip dengan Matahari saja. Salah satu bintang yang bisa menopang kehidupan adalah bintang katai putih, bintang kecil yang jadi akhir kehidupan bintang seukuran Matahari.
Baca juga: Planet Seukuran Jupiter Mengelilingi Bintang Mati WD 1856
Dalam empat miliar tahun lagi, Matahari kita akan mengembang menjadi bintang raksasa merah. Selubung bagian luar bintang akan lepas dan bagian dalamnya akan runtuh hingga membentuk bintang katai putih. Makalah John Gertz di arXiv, 27 Januari 2020, mengusulkan adanya kehidupan yang mampu bertahan di sistem keplanetan dengan katai putih sebagai bintang induknya.
Selama ini, bintang katai putih sering diabaikan sebagai bintang yang mampu menopang kehidupan. Meski katai putih sejatinya adalah bintang mati, sejumlah temuan menunjukkan bintang ini tetap berpeluang memiliki sistem keplanetan. Jika di planet tersebut ada kehidupan, kehidupan supercerdas itu diyakini mampu bertahan hidup meski \'Matahari\'-nya adalah bintang berukuran kecil yang sudah mati.
Sementara itu, di Tata surya, potensi kehidupan itu ada di planet Mars, satelit Jupiter bernama Europa dan dua satelit Saturnus, yaitu Enceladus dan Titan. Mars yang sering dianggap kembaran Bumi karena bentuknya yang mirip, memiliki danau besar di bawah lapisan es kutub selatan Mars. Temuan ini memunculkan harapan adanya kehidupan di sana walau dalam bentuk yang sederhana.
Sementara di Europa, Enceladus, dan Titan, semuanya menjanjikan keberadaan air. Europa diselimuti lapisan permukaan es yang sangat luas. Di Enceladus kemungkinan ada samudra raksasa di kedalaman 100 kilometer dari permukaan esnya dan ditemukan adaya geyser raksasa yang menyemburkan air dan sejumlah partikel organik ke luar angasa. Adapun Titan adalah satu-satunya bulan di Tata Surya yang punya atmosfer dan kaya elemen substansial pembentuk kehidupan, yaitu nitrogen.
Bentuk kehidupan
Jika lokasi kehidupan cerdas di luar Bumi itu sudah bisa ditandai, lantas kira-kira seperti apa wujud mereka? Selama ini, keberadaan oksigen jadi syarat utama untuk menentukan ada tidaknya kehidupan di luar Bumi. Padahal, bisa saja kehidupan di luar sana tidak membutuhkan oksigen seperti makhluk hidup di Bumi.
Studi yang dipublikasikan di jurnal Nature Astronomy, 4 Mei 2020, menyebut udara dan oksigen tidaklah selalu sama. Di Bumi, oksigen memiliki porsi 21 persen dari udara dan menjadi andalan berbagai makhluk hidup untuk bernapas. Namun, hidrogen dan helium adalah elemen yang lebih umum dan lebih melimpah di alam semesta dan bisa jadi kehidupan luar Bumi justru menghirup kedua elemen tersebut untuk hidup.
Sejumlah makhluk di Bumi pun nyatanya tidak selalu bernapas dengan oksigen. Misalnya bakteri Escherichia coli, bakteri yang banyak tinggal di saluran cerna hewan berdarah panas, adalah bakteri anaerob alias tidak bernapas dengan oksigen. Studi menemukan, E coli yang ditempatkan dalam lingkungan dengan hidrogen murni dan helium murni tetap mampu bertahan hidup meski pertumbuhannya terhambat.
Selama 2020, studi juga menemukan kehidupan cerdas di luar angkasa tidak bertanggung jawab atas kemunculan fast radio burst (FRB) atau ledakan gelombang radio dalam orde milidetik yang muncul ribuan kali dalam sehari. Semula, sebagian peneliti menduga FRB yang terdeteksi sejak satu dekade lalu itu adalah sinyal radio yang dipancarkan makhluk asing karena tidak ditemukan sumber alaminya.
Namun, studi lebih lanjut menemukan FRB di galaksi Bimasakti yang ternyata sinyal radio tersebut bersumber dari magnetar, yaitu bangkai bintang yang sudah lama mati dan berputar cepat hingga menghasilkan medan magnet tinggi. Selama ribuan tahun sejak pembentukannya, magnetar memancarkan radiasi sinar X dan sinar gama yang sangat kuat dengan interval acak. Temuan ini akhirnya menggugurkan anggapan FRB diproduksi oleh makhluk asing di semesta.
Makhluk asing juga dipastikan tidak membentuk atau mengendarai asteroid ganjil \'Oumuamua yang mendekati Matahari pada 2017. Lintasan orbit asteroid gepeng dan panjang ini sudah dipastikan berasal dari luar Tata Surya. Selain itu, kecepatan geraknya yang tinggi dan dipercepat juga menambah keyakinan astronom bahwa \'Oumuamua berasal dari luar Tata Surya.
Semula, ada astronom yang menduga bahwa \'Oumuamua adalah pesawat luar angkasa makhluk asing karena bentuknya yang sama sekali berbeda dengan asteroid umumnya. Namun teori yang dibangun astronom lain menunjukkan bahwa \'Oumuamua adalah \'gunung es hidrogen\' yang menjadi penjelajah antarbintang.
Gunung es hidrogen ini adalah bongkahan padat hidrogen yang terpental dari bintang induknya dan masuk ke pusat awan molekul raksasa. Setelah meninggalkan inti awan molekul tersebut, gunung es hidrogen itu hancur oleh paparan radiasi antariksa hingga akhirnya bentuknya berubah menjadi pipih memanjang seperti sekarang. Saat memasuki Tata Surya, hidrogen yang ada di \'Oumuamua memanas hingga akhirnya kecepatan geraknya meningkat.
Meski sulit dan tidak ada kepastian kapan manusia akhirnya akan menemukan makhluk hidup di luar Bumi, impian manusia untuk mencari teman berbagi semesta itu tak pernah pupus. Pertanyaan inilah yang menjadi salah satu soal yang menjaga nyala hidup peradaban manusia sejak ribuan tahun lalu, apakah memang hanya ada manusia Bumi atau kawan dalam bentuk apa pun di semesta raya ini?