Obat baru dan inovatif harus menunggu 3-4 tahun sejak dipasarkan secara global untuk sampai ke pasar Indonesia. Hal ini membuat Indonesia menjadi negara dengan akses obat paling rendah di Asia Tenggara.
Oleh
ZULIAN FATHA NURIZAL
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Percepatan akses obat-obatan inovatif memegang peran penting dalam meningkatkan kesehatan masyarakat dan menyelamatkan lebih banyak nyawa. Pemenuhan obat berkualitas juga dapat meningkatkan pendapatan negara mengingat banyak masyarakat Indonesia yang berobat ke luar negeri.
Berdasarkan data International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG), hanya 9 persen obat baru yang beredar di Indonesia selama rentang 2012 sampai 2021. Hanya 1 dari 10 obat baru yang diluncurkan secara global tersedia untuk pasien Indonesia. Hal ini membuat Indonesia menjadi negara dengan akses obat-obatan inovatif paling rendah di Asia Tenggara. Obat inovatif harus menunggu 3-4 tahun sejak dipasarkan secara global untuk sampai ke pasar Indonesia.
Ketua IPMG Ait-Allah Mejri menjelaskan, yang dimaksud obat inovatif adalah produk obat hasil pengembagan yang memiliki molekul baru. Obat baru ini bisa merupakan penemuan baru atau perkembangan dari obat yang sebelumnya sudah ada.
”Sebagai contoh, kasus gangguan ginjal akut yang diderita anak-anak beberapa waktu lalu. Untuk mengobatinya, dibutuhkan penawar racun dari luar negeri. Antidotum merupakan contoh obat inovatif yang sulit masuk ke Indonesia,” kata Mejri dalam acara ”Usulan IPMG untuk Pemerintah dalam rangka Perluasan Akses Ketersediaan Obat Inovatif” pada Senin (19/12/2022) di Jakarta.
Dia menambahkan, pemenuhan obat inovatif dan berkualitas perlu mendapat perhatian khusus sebab pemberian obat-obatan baru yang cepat dapat menyelamatkan hidup banyak pasien. ”Selain itu, membantu mengurangi biaya perawatan kesehatan, berkontribusi pada produktivitas ekonomi, dan menjadikan Indonesia tujuan yang lebih menarik untuk investasi dan inovasi obat-obatan masa depan,” tambah Mejri.
Anggota Dewan IPMG Nora T Siagian menilai, banyak penyebab obat-obatan baru sulit masuk ke Indonesia dan hanya kerja sama lintas sektor yang dapat mengatasinya. ”Keterbatasan anggaran dan kurang optimalnya value-based assessment dan strategi pembiayaan yang inovatif menjadi penyebab sulitnya ketersediaan obat inovatif dan berkualitas di Indonesia,” tambah Nora.
Nora menilai, selama ini banyak masyarakat mampu membayar lebih untuk mengakses obat berkualitas, tetapi kosongnya stok di dalam negeri membuat mereka memilih berobat ke luar negeri.
Komitmen
Guru Besar Ekonomi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Profesor Hasbullah Thabrany mengatakan, jika ingin menciptakan generasi emas Indonesia di 2045, komitmen pemerintah pada sektor kesehatan perlu ditingkatkan. Pada kenyataannya, pemerintah kita belum berkomitmen serius pada sektor kesehatan.
”Terlihat pada anggaran kesehatan Indonesia yang masuk dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) hanya Rp 90 triliun. Berbanding jauh dengan subsidi BBM yang hingga Rp 500 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,” kata Hasbullah.
Menurut dia, ideal anggaran kesehatan bagi suatu negara mengacu pada rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 5 persen dari produk domestik bruto. Saat ini, Indonesia hanya sekitar 2 persen dari PDB. Dia mengingatkan, jangan sampai Indonesia disusul negara lain dalam hal penyediaan akses obat berkualitas dan inovatif.
”Vietnam saat ini sudah menganggarkan 7 persen dari PDB mereka, lebih tinggi dari rekomendasi WHO. Itu menandakan pemerintah mereka serius dalam sektor kesehatan,” kata Hasbullah.
Jika ingin menciptakan generasi emas Indonesia di 2045, komitmen pemerintah pada sektor kesehatan perlu ditingkatkan. Pada kenyataannya, pemerintah kita belum berkomitmen serius pada sektor kesehatan.
Ketua Umum Perkumpulan Ahli Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia (PAMJAKI) Rosa C Ginting berpendapat, saat ini perlu dikembangkan pendekatan kerja sama kolaboratif antara Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN dan asuransi swasta. Perlu diciptakan produk top-up health insurance di JKN yang mencakup kebutuhan layanan kesehatan masyarakat kelas menengah atas.
”Hal ini dapat dimulai dengan mengelompokkan produk yang dibatasi atau yang tidak ditanggung oleh BPJS, berdasarkan kualitas dan kuantitas obat, dan berdasarkan pilihan dokter yang ditujukan untuk perseorangan atau kelompok,” kata Rosa.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, pada 2022 Kemenkes menganggarkan belanja alat kesehatan dan obat-obatan sekitar Rp 38 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp 17 triliun dialokasikan untuk belanja obat, vaksin, dan alat kesehatan produksi dalam negeri.
”Sesuai dengan pernyataan Pak Menteri Kesehatan di tahun depan akan dipastikan lebih banyak lagi pembelian Kemenkes untuk produk dalam negeri. Selain itu, saat ini Kementerian Kesehatan fokus transformasi kesehatan,” tambahnya.
Salah satu pilar transformasi ialah transformasi layanan primer. Ini akan dilakukan dengan merevitalisasi 300.000 posyandu dan 10.000 puskesmas di seluruh indonesia. Revitalisasi difokuskan pada upaya preventif dan promotif hingga penapisan kesehatan.