Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University mengembangkan inovasi jamu pembasmi hama kakao. Obat yang bisa menekan populasi hama kakao ini terbuat dari ekstrak bahan pembuat jamu yakni cabai jawa dan temulawak.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
Kakao adalah salah satu tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Tanaman ini populer dengan beragam produk olahan seperti cokelat yang berasal dari biji kakao. Bubukkakaodancocoa butter(padatan) juga dibuat dari biji kakao yangdifermentasidan dipanggang.
Berdasarkan jenisnya, terdapat tiga varietas utama kakao di dunia, yakni criollo, forastero, dan trinitario. Setiap varietas memiliki karakteristik yang berbeda. Forastero menjadi varietas yang paling banyak dibudidayakan oleh petani kakao di Indonesia, khususnya Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah.
Merujuk data dari Worldatlas, Indonesia merupakan negara penghasil kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana dengan produksi mencapai 739.483 ton per tahun. Produksi kakao ini berasal dari 1,5 juta hektar perkebunan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan mayoritas 75 persen penyumbang terbanyak dari Sulawesi.
Potensi kakao yang besar membuat tanaman ini menjadi salah satu komoditas andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional dan penyumbang devisa negara, termasuk sebagai penyedia lapangan kerja. Di samping itu, kakao juga berperan dalam mendorong pengembanganwilayah dan agroindustri.
Meski demikian, budidaya tanaman kakao juga tidak terlepas dari tantangan seperti serangan hama. Penggerek buah kakao (PBK) Conophomorpha cramerella adalah salah satu jenis hama utama dengan sifat menggerek dinding buahdan menetap hingga dewasa.
Buah kakao yang terserang PBK menunjukkan gejala masak awal dengan warna tidak merata. Hama ini dapat menyerang buah muda yang berukuran panjang lebih kurang 8 sentimeter sampai buah masak. Biji kakao tidak akan terbentuk sempurna apabila serangan hama ini terjadi pada saat buah berumur tiga bulan.
Selain PBK, terdapat pula ancaman dari hama lainnya, yakni pengisap buah kakao yang dikenal dengan nama Helopeltis sp. Hama dengan tingkat kerusakan kedua terparah setelah PBKini berwujud kepik yang terdiri dari beberapa spesies, antara lain Helopeltisantonii, Helopeltis claviver, dan Helopeltis theivora.
Penggunaan pembasmi hama kakao ini sama dengan pestisida secara umum.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Dadang menjelaskan, pada umumnya faktor biotik dan abiotik kerap menyerang saat melakukan budidaya tanaman. Serangan hama dan penyakit inilah yang masuk dalam faktor biotik. Sementara faktor abiotik yang memengaruhi tanaman meliputi intensitas cahaya, suhu, kelembaban, hingga ketersediaan unsur hara.
”Hama di tanaman kakao ada yang menyerang daun, buah, dan batang. Jadi, ada yang dikelompokkan menjadi hama primer maupun sekunder seperti ulat jengkal. Akan tetapi, serangan terhadap buah dikelompokkan sebagai hama primer seperti penggerek dan pengisap buah,” ujarnya.
Menurut Dadang, dilihat dari jenisnya memang cukup banyak hama yang menyerang tanaman kakao. Bahkan, kerugian diperkirakan akan semakin tinggi apabila hama ini dibiarkan karena dapat mengakibatkan kehilangan produksi hinggadi atas 75 persen.
Masih adanya tantangan dalam budidaya tanaman ini mendorong Dadang dan tim mengembangkan jamu pembasmi hama kakao. Inovasi ini disebut jamu karena merupakan insektisida alternatif yang terbuat dari bahan-bahan pembuat jamu seperti ekstrak cabai jawa (Piper retrofractum) dan temulawak (Curcuma zanthorrhiza).
Formulasi antara ekstrak cabai jawa dan temulawak tidak menyebabkan fitotoksik atau racun pada tanaman kakao. Bahkan, formulasi ini juga tidak berbahaya bagi serangga predator dan bersifat biodegradable atau dapat terurai secara alami sehingga kakao tetap aman saat dikonsumsi.
Dua mekanisme
Terdapat dua mekanisme utama dalam inovasi jamu pembasmi hama kakao ini. Pertama, ekstrak tanaman ini dapat membunuh atau mematikan serangga penghisap buah kakao, yakni Helopeltisantonii. Kedua, ekstrak tanaman juga dapat menghambat aktivitas makan sehingga bisa menghambat perkembangan populasi hama.
”Melalui penelitian yang intensif, kami bisa mendapat perbandingan tertentu dalam jamu ini sehingga bisa untuk mengendalikan salah satu hama tanaman pada kakao, yakni Helopeltisantonii,” tuturnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dadang dan tim, formula dari ekstrak cabai jawa dan temulawak bisa digunakan untuk mengendalikan Helopeltisantonii hanya dengan konsentrasi yang sangat rendah. Bahkan, angka pengendalian mencapai hingga 95 persen.
Di sisi lain, hasil penelitian juga menunjukkan jamu ini tidak berdampak terhadap musuh alami hamaHelopeltisantonii, yakni predator, parasitoid, dan patogen serangga. Beberapa musuh alami golongan predator yang berperan sebagai pengendali Helopeltis antara lain Chrysoperla carnea, Mallada sp, dan Oxyopes sp.
Selain itu, keunggulan lainnya dari jamu ini adalah tidak merusak buah kakao tersebut. Padahal, terkadang penyemprotan untuk mengendalikan hama dengan menggunakan ekstrak tanaman kerap membuat tanaman tersebut beserta buahnya rusak.
”Jadi, jamu ini dari segi keamanan terhadap buah dan musuh alami hama tergolong aman. Akan tetapi, hama Helopeltisterdeteksi bisa mati. Mengingat ini bahan jamu, residu bagi manusia diperkirakan tidak akan ada masalah karena kita juga mengonsumsinya,” ucapnya.
Penggunaan
Dadang memastikan bahwa jamu penggunaan pembasmi hama kakao ini sama dengan pestisida secara umum. Hal terpenting sebelum diaplikasikan adalah membuat formulasi ramuan jamu ini terlebih dahulu dengan perbandingan antara ekstrak dan pelarut tertentu.
Dengan berbagai keunggulan ini, inovasi jamu pembasmi hama kakao diharapkan dapat menjadi solusi bagi petani untuk pengendalian hama kakao. Implementasi yang murah dan mudah serta melimpahnya bahan baku bisa dioptimalkan petani ataupun skala industri.
“Sebagai akademisi akan sangat senang apabila masyarakat bisa menggunakan inovasi ini karena sangat mudah membuatnya. Namun, apabila ada industri yang tertarik untuk memasarkan atau memproduksi juga dipersilakan saja,” katanya.
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian PerindustrianPutu Juli Ardika sebelumnya menyatakan, selama ini 85 persen dari total produksi biji kakao domestik dijadikan produk ekspor. Sementara 15 persen lainnyadigunakan untuk kebutuhan domestik.
Putu berharap, penggunaan kakao untuk industri domestik bisa terus ditingkatkandengandorongan hilirisasi. Hal ini pada akhirnya akan membuat produksi kakao lebih optimal dan dapat diolah menjadi produk yang bernilai tambah sertaberdaya saing tinggi.