Bayang-bayang Obesitas dalam Minuman Berpemanis
Intervensi untuk menekan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan perlu ditingkatkan. Konsumsi di masyarakat kini semakin meningkat, baik di perkotaan maupun perdesaan. Risiko penyakit pun kian tinggi.
Dalam 20 tahun terakhir, konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan di Indonesia meningkat signifikan. Pada 1996 tercatat rerata konsumsi masyarakat sebanyak 51 juta liter. Jumlah itu meningkat 15 kali lipat menjadi 780 juta liter pada 2014.
Konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan bisa lebih tinggi pada tahun-tahun berikutnya. Data tersebut sesuai dengan hasil studi yang dilaporkan Center for Indonesia Strategic Development Initiative (CISDI) pada 2022.
Tingginya konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan tersebut telah menempatkan Indonesia sebagai negara dengan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan tertinggi ketiga di Asia Tenggara. Kondisi ini perlu direspons sebagai ancaman bagi masyarakat. Konsumsi minuman berpemanis yang tidak dibatasi sangat berisiko menimbulkan penyakit tidak menular.
Ketua Departemen Ilmu Gizi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) Nurul Ratna Mutu Manikam saat dihubungi di Jakarta, Jumat (16/12/2022), mengatakan, Kementerian Kesehatan telah merekomendasikan besaran asupan gula harian setiap orang maksimal sebanyak 50 gram. Sementara minuman kemasan berpemanis mengandung gula lebih dari 10 gram, bahkan ada yang lebih dari 20 gram.
Baca juga : Candu Minuman Manis
”Padahal, gula itu tidak hanya didapatkan dari minuman kemasan. Makanan pun mengandung gula, namun gula pada makanan biasanya lebih sulit untuk diukur. Karena itu, seharusnya kita lebih mudah membatasi gula dari minuman dengan melihat fakta nutrisi pada kemasan,” katanya.
Obesitas
Nurul menuturkan, konsumsi minuman berpemanis harus dibatasi untuk menghindari risiko penyakit, terutama obesitas. Hal ini diperburuk dengan gaya hidup masyarakat yang tidak sehat, seperti jarang bergerak ataupun minim aktivitas fisik.
Konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan meningkat seiring dengan kenaikan prevalensi obesitas di masyarakat. Hasil Riset Kesehatan Dasar menunjukkan, persentase penduduk dengan obesitas meningkat dua kali lipat dalam sepuluh tahun dari 10,3 persen (2007) menjadi 21,8 persen (2018). Jika tidak ada upaya untuk menekan angka tersebut, penderita diabetes pada penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 28,5 juta jiwa pada 2045.
Gula itu tidak hanya didapatkan dari minuman kemasan. Makanan pun mengandung gula, namun gula pada makanan biasanya lebih sulit untuk diukur. Karena itu, seharusnya kita lebih mudah membatasi gula dari minuman dengan melihat fakta nutrisi pada kemasan.
Obesitas tidak boleh diremehkan. Obesitas merupakan faktor risiko dari berbagai penyakit kronis, seperti penyakit jantung, diabetes melitus, hipertensi, perlemakan hati, dan gagal ginjal. Pada sebagian orang, dampak gula yang berlebih tidak mesti dimulai dari obesitas atau kegemukan sebelum akhirnya menjadi penyakit kronis yang lebih buruk.
Pada orang yang awalnya memiliki gizi buruk, risiko penyakit tidak menular bisa semakin besar. Itu sebabnya, tidak semua orang dengan diabetes memiliki kondisi obesitas.
Baca juga : Hidup Lebih Sehat dengan Batasi Minuman Manis
Menurut Nurul, tren peningkatan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan tidak hanya terjadi di perkotaan. Dengan distribusi pangan yang lebih baik, akses masyarakat pada produk minuman berpemanis, termasuk masyarakat di perdesaan, menjadi lebih mudah. Oleh karena itu, tidak ada pembeda yang signifikan terkait konsumsi minuman berpemanis dan risiko penyakit tidak menular antara masyarakat di perdesaan dan perkotaan.
”Minuman kemasan berpemanis memang lebih menarik. Selain rasanya yang manis, produk minuman ini juga memiliki warna yang beraneka ragam. Tidak heran jika anak-anak pun menyukainya. Karena itu, kampanye dan edukasi mengenai bahaya minuman berpemanis harus lebih gencar,” ujar Nurul.
Masyarakat perlu lebih disadarkan untuk membatasi konsumsi minuman berpemanis. Hal tersebut juga dibarengi dengan kesadaran untuk membatasi makanan yang mengandung gula, garam, dan lemak tinggi serta meningkatkan aktivitas fisik.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Bank Dunia, minuman berpemanis dalam kemasan dapat meliputi minuman kemasan berkarbonasi atau bersoda, minuman berenergi, minuman sari buah kemasan, minuman isotonik, minuman herbal dan bervitamin, minuman susu berperisa, minuman teh dan kopi kemasan, sirop atau konsentrat, serta minuman serbuk yang diseduh.
Dihubungi terpisah, Project Lead Food Policy CISDI Gita Kusnadi menyampaikan, konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan yang berlebihan di masyarakat juga bisa berdampak pada aspek sosial dan ekonomi suatu negara. Dari laporan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, biaya pelayanan kesehatan untuk penyakit diabetes meningkat rata-rata 8 persen setiap tahun. Selain itu, pada kurun waktu 2017-2019, biaya layanan primer dan rujukan perawatan diabetes meningkat hingga 29 persen dari Rp 84 triliun menjadi Rp 108 triliun.
Cukai
Gita menuturkan, penerapan cukai dinilai menjadi intervensi yang efektif untuk menekan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan di masyarakat. Penerapan cukai ini pun sesuai dengan regulasi terkait barang kena cukai. Penerapan barang kena cukai di Indonesia dapat diterapkan pada produk yang konsumsinya harus dibatasi, distribusinya harus diawasi, konsumsinya berdampak negatif pada masyarakat atau lingkungan hidup, serta pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
”Pada kenyataannya, minuman berpemanis dalam kemasan telah memenuhi kriteria penerapan barang kena cukai, seperti konsumsinya harus dibatasi dan konsumsinya berdampak negatif pada masyarakat. Dampak negatif juga secara tidak langsung harus ditanggung masyarakat, terutama pada kelompok ekonomi menengah ke bawah,” ujarnya.
Oleh karena itu, Chief of Policy and Research CISDI Olivia Herlinda mengatakan, kebijakan pemerintah yang memasukkan dan meningkatkan target pendapatan cukai minuman berpemanis dalam kemasan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) patut diapresiasi. Kebijakan tersebut tertuang pada Peraturan Presiden Nomor 130 Tahun 2022 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2023. Disebutkan, target pendapatan cukai minuman berpemanis dalam kemasan pada 2023 mencapai Rp 3,08 triliun atau naik 158,82 persen dari target 2022 sebesar Rp1,19 triliun.
Baca juga : Kendalikan Konsumsi Minuman Berpemanis dengan Cukai
”Ini menjadi langkah awal yang baik bagi pemerintah untuk menunjukkan keseriusan mereka meluaskan basis cukai serta melindungi masyarakat dari bahaya konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan berlebih. Kami berharap pemerintah bisa segera menyusun peraturan turunan dan mengimplementasi cukai minuman berpemanis dalam kemasan di 2023 sebesar 20 persen,” tuturnya.
Merujuk pada praktik baik yang dilakukan di Amerika, penerapan 20 persen cukai minuman berpemanis dalam kemasan di beberapa negara bagian mampu menurunkan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan sebesar 24 persen. Di Meksiko, penerapan cukai sebesar 10 persen berhasil menurunkan jumlah pembelian minuman berpemanis dalam kemasan sebesar 19 persen.