Dari Ekonomi Luar Angkasa ke Ekonomi Bulan
Negara-negara maju sudah bersiap mengeksplorasi bulan, menjadikan bulan sebagai penggerak ekonomi mereka. Namun, Indonesia masih maju mundur untuk mengembangkan ekonomi luar angkasanya.
Di saat sebagian negara-negara anggota G20 berlomba mengeksplorasi bulan, Indonesia yang baru tuntas memegang presidensi G20 masih maju mundur dalam mengembangkan riset luar angkasanya. Persoalan klasik soal dana dan sikap rendah diri karena merasa belum pantas mengembangkan teknologi luar angkasa membuat Indonesia makin jauh tertinggal.
Amerika Serikat (AS) kini menjadi negara terdepan dalam eksplorasi bulan melalui misi Artemis yang akan mendaratkan kembali manusia di bulan pada 2025.
Berbeda dengan misi Apollo tahun 1969-1972, pengiriman manusia ke bulan ini akan berkelanjutan untuk membangun koloni di bulan dan mengembangkan riset di sana yang hasilnya untuk manusia di bumi, seperti riset obat-obatan. Bulan juga akan menjadi tempat transit pengiriman manusia ke Mars pada 2030-an.
Amerika Serikat, Uni Soviet, dan China adalah negara-negara yang sudah mampu mendaratkan wahana dengan selamat di bulan. Uni Soviet dengan misi Luna 9 pada 1966 dan AS dengan misi Surveyor 1 pada empat bulan setelahnya.
Jika pendaratan AS dan Uni Soviet ada di sisi bulan yang menghadap bumi, China jadi negara pertama yang mendaratkan wahana Chang’e 4 di sisi belakang bulan pada 2019.
Baca Juga: 50 Tahun Setelah Misi Apollo, NASA Kembali Meluncur ke Bulan
Selain tiga negara itu, beberapa negara telah mengirimkan wahananya untuk mengeksplorasi bulan dari ketinggian. Ada Jepang, Uni Eropa, India, Luksemburg, Italia, hingga Israel yang memiliki wahana pengorbit ataupun pesawat yang terbang melintas di dekat bulan. Akhir tahun, Korea Selatan dan Uni Emirat Arab (UEA) akan bergabung dengan negara-negara tersebut.
Namun, eksplorasi bulan kali ini berbeda dengan saat perang dingin AS dan Uni Soviet berlangsung. Selain misi yang berkelanjutan, penjelajahan ke bulan saat ini banyak didukung perusahaan-perusahaan rintisan teknologi luar angkasa, tidak lagi didominasi lembaga negara. Industri itu digerakkan oleh anak-anak muda yang terinspirasi dari misi pendaratan manusia di bulan.
Mark Holmes dalam artikelnya ”The Lunar Economy: From Vision to Reality” di Satellite Today mengatakan, jika pada beberapa dekade sebelumnya eksplorasi ke bulan lebih mirip cerita film fiksi ilmiah, dengan percepatan pelibatan industri luar angkasa membuat ekonomi bulan (lunar economy) sepertinya akan terwujud tidak lama lagi.
Untuk mendukung misi Artemis, Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional AS (NASA) melibatkan 11 perusahaan untuk membuat studi dan purwarupa wahana pendarat manusia di bulan. Tujuan misi yang jelas nyatanya telah menggerakkan ekonomi dengan cara berbeda.
Dengan percepatan pelibatan industri luar angkasa membuat ekonomi Bulan ( lunar economy) sepertinya akan terwujud tidak lama lagi.
Jepang pun sama. Seperti ditulis Kompas, 12 Desember 2022, perusahaan rintisan ispace baru meluncurkan wahana Hakuto-R yang ke depan diharapkan bisa jadi wahana pengirim muatan dan kargo ke bulan. Kali ini, Hakuto-R akan mendaratkan dua pendarat milik Badan Eksplorasi Antariksa Jepang (JAXA) dan robot pendarat Rashid milik UEA.
Dalam beberapa tahun ke depan, ekonomi bulan akan semakin berkembang dan menghasilkan lompatan-lompatan teknologi yang akan membawa manusia lebih jauh menjelajahi antariksa. Sementara itu, ekonomi luar angkasa (space economy) juga akan kian berkembang.
Saksikan Juga: Hakuto, Pesawat Luar Angkasa Penjelajah Bulan, Sejajarkan Jepang dengan AS, Rusia, dan China
Jika pada awal 2010-an hanya ada 60-100 satelit yang diluncurkan tiap tahun, pada 2021 jumlahnya telah mencapai lebih dari 1.800 satelit per tahun untuk berbagai keperluan. Nilai ekonomi luar angkasa itu pada 2021 menurut The Space Report mencapai 447 miliar dollar AS atau setara lebih dari Rp 6.700 triliun dengan kurs Rp 15.000 per dollar AS.
Bermimpi besar
Saat sejumlah negara sudah mau mengeksplorasi bulan, niat Indonesia mengeksplorasi luar angkasa masih maju mundur. Terbatasnya dana membuat program pengembangan satelit riset banyak terhambat, apalagi untuk membuat satelit operasional yang butuh dana lebih besar dan teknologi lebih maju.
Indonesia selalu bangga menjadi negara ketiga pengguna satelit telekomunikasi di dunia sejak 1976. Hingga lebih dari 45 tahun kemudian, Indonesia bangga sebagai negara yang bisa membeli satelit-satelit canggih negara lain. Tahun 2023, ada dua satelit geostasioner baru Satria-1 (Nusantara 3) dan cadangannya hot backup satellite (Nusantara 5) yang kapasitas pita lebarnya terbesar di Asia dan kelima di dunia.
Sebagai negara kepulauan terbesar di Khatulistiwa, teknologi satelit adalah keniscayaan. Di era digital saat ini, hampir semua sendi kehidupan butuh satelit dan pandemi Covid-19 kian mempercepat kebutuhan itu.
Satelit bukan hanya untuk komunikasi, melainkan juga untuk pencitraan rupa bumi, mitigasi bencana, pembelajaran dan layanan medis jarak jauh, prakiraan cuaca, serta mengukur luas perkebunan atau area panen padi. Satelit juga bisa untuk keperluan militer, pertahanan negara, dan mendukung pencapaian target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s).
Untuk memenuhi semua kebutuhan terkait data satelit, Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana T Handoko dalam Nurtanio Pringgoadisuryo Memorial Lecture, 30 November 2022, menyebut pemerintah mengeluarkan Rp 350 miliar setahun untuk membeli semua data satelit yang diperlukan untuk pembangunan.
Dana sebesar itu tentu akan bermakna besar jika sebagian dimanfaatkan untuk pengembangan satelit eksperimental yang dulu dikembangkan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasioanl (Lapan) sebelum dilebur ke BRIN. Jika teknologi satelit eksperimental sudah dikuasai, lebih mudah bagi perekayasa untuk membuat satelit operasional.
Dari lima satelit eksperimental yang direncanakan, baru Lapan A1/TUBSat, Lapan A2/Orari, dan Lapan A3/IPB yang sudah meluncur, masing-masing pada 2007, 2015, dan 2016. Rencana peluncuran Lapan A4 dan Lapan A5 pada 2019 dan 2022 mundur akibat berkurangnya pendanaan dan pandemi. Lapan A4 diperkirakan akan meluncur pada 2023.
Kementerian Riset dan Teknologi pada 2019 pernah menjadikan pengembangan teknologi satelit komunikasi orbit rendah sebagai prioritas nasional. Program itu berencana meluncurkan sembilan satelit dengan sistem konstelasi antara 2020 dan 2024. Pandemi dan pengalihan dana riset membuat proyek ini menjadi tidak pasti.
Baca Juga: Ke Bulan, Manusia Akan Kembali
Kini, BRIN berencana mengembangkan konstelasi Nusantara Sateliite yang terdiri atas 19 satelit. Konstelasi satelit itu terdiri atas satelit untuk komunikasi dan internet, satelit untuk pencitraan optik, dan satelit radar. Peluncuran awal dari bagian konstelasi satelit itu diharapkan bisa dimulai tahun 2025.
”Ekonomi Indonesia masa depan tidak bisa dilepaskan dari ekonomi berbasis keantariksaan,” kata Laksana.
Untuk pengembangan satelit itu, Indonesia memiliki tenaga yang memadai. Perekayasa BRIN sudah siap mewujudkannya penguasaan teknologi satelit itu secara bertahap sesuai tingkat kesulitan dan dana yang dibutuhkan. Meski demikian, untuk keahlian tertentu, masih membutuhkan peningkatan keterampilan.
Namun, setidaknya Indonesia tidak kekurangan sumber daya untuk menguasai teknologi satelit ataupun penginderaan jauh. Sejumlah perguruan tinggi pun terlibat aktif dalam pembuatan satelit, seperti Universitas Surya, Tangerang, yang pada akhir November 2022 baru meluncurkan satelit nanonya. Demikian pula untuk penginderaan jauh karena beberapa perguruan tinggi memiliki program studi terkait.
Oleh karena itu, butuh langkah dan kebijakan yang mendukung agar Indonesia benar-benar bisa memanfaatkan luar angkasa bagi sebesar-besarnya kemakmuran bangsa. Upaya ini tentu tidak mudah mengingat masih banyak anak bangsa yang memandang teknologi luar angkasa sebagai teknologi yang terlalu tinggi atau sulit dikuasai.
Ada persoalan mental yang harus dibenahi jika pemerintah dan BRIN benar-benar ingin membangun ekonomi luar angkasa. Trauma kegagalan pesawat N250 memasuki tahapan produksi sepertinya masih tertanam kuat di bangsa ini. Saat itu, Indonesia dianggap belum saatnya menguasai teknologi pesawat hanya gara-gara masih impor produk pertanian.
Indonesia tidak bermimpi terlalu tinggi hanya gara-gara ingin membuat satelit atau memiliki bandar antariksa secara mandiri, lengkap dengan roket peluncurnya. Kini, semua kembali ke pengambil kebijakan, apakah Indonesia berani memiliki cita-cita tinggi untuk bersaing dengan bangsa-bangsa lain atau tetap rendah diri dan cukup berpuas diri sebagai bangsa pembeli teknologi.
Hanya bangsa yang besar yang berani bercita-cita besar.