Sekolah Fasilitasi Siswa SMA/SMK Memilih Mata Pelajaran
Penjurusan atau peminatan yang terkotak-kotak dalam kelompok IPA, IPS, dan Bahasa di jenjang SMA dinilai tidak lagi relevan. Kurikulum Merdeka membuat ruang bagi siswa lintas bidang ilmu guna mendukung kuliah atau kerja.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan SMA yang selama ini mengotak-ngotakkan siswa ke dalam kelompok ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, dan bahasa tidak relevan lagi. Sistem pendidikan di SMA yang mengacu pada Kurikulum Merdeka justru memberikan siswa kemerdekaan untuk memilih mata pelajaran yang relevan dengan potensi, bakat, dan minat serta rencana karier setiap peserta didik di masa depan.
Pembelajaran di SMA yang sudah lama mengelompokkan siswa berdasarkan kelompok ilmu secara kaku dinilai tidak relevan dengan perkembangan zaman dan fitrah siswa. Siswa SMA akan bisa memilih mata pelajaran yang relevan untuk dirinya dan sekolah harus mampu memfasilitasi kebutuhan siswa.
”Kurikulum Merdeka tidak sekadar mengubah dokumen, tapi mengubah tradisi belajar dan transformasi kualitas belajar yang memberikan layanan pendidikan agar semua anak tumbuh dan berkembang sesuai fitrah masing-masing,” kata Pelaksana Tugas Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Zulfikri Anas dalam webinar Peluncuran Panduan Pemilihan Mata Pelajaran Pilihan Jenjang SMA, Senin (12/12/2022).
Menurut Zulfikri, di zaman sekarang tidak ada satu persoalan dalam kehidupan yang bisa diselesaikan dengan satu disiplin ilmu saja. Namun, pendidikan di SMA sederajat selama ini justru terbiasa mengotak-ngotakkan.
”Jika siswa sudah masuk kelompok IPA, misalnya, siswa dirasa tidak perlu belajar geografi karena itu dianggap masuk kelompok IPS. Padahal, bisa jadi anak tersebut perlu untuk belajar karena rencana kariernya ke depan membutuhkan dasar ilmu baik kelompok IPA maupun IPS. Selama ini sulit dijalankan di SMA,” kata Zulfikri.
Melalui Kurikulum Merdeka, siswa SMA justru diberikan keleluasaan untuk memilih mata pelajaran yang mendukung rencana studi lanjutnya di perguruan tinggi. Keselarasan antara pendidikan tinggi dan menengah pun dijalankan sehingga pemilihan mata pelajaran untuk siswa SMA sederajat mendukung keberhasilan belajar di perguruan tinggi.
Tidak ada penjurusan
Di jenjang SMA kini tidak ada lagi penjurusan atau peminatan ke dalam kelompok IPA, IPS, dan Bahasa. Sebab, adanya penjurusan membuat fleksibilitas siswa untuk mempelajari mata pelajaran lain yang dibutuhkan guna mengembangkan potensi, minat, dan bakatnya menjadi tertutup.
”Sebagai contoh, bidang ilmu arsitektur selama ini terbuka untuk anak kelompok IPA. Tapi, apakah betul ilmu arsitektur enggak ada hubunganannya dengan geografi, seni, sejarah, atau antropologi? Padahal, kelompok ilmu di IPA dan IPS ini mendukung perencanaan bangunan yang bernilai tinggi karena dipikirkan dan diselaraskan dengan berbagai aspek, termasuk budaya dan kondisi alam,” kata Zulfikri.
Menurut dia, dengan adanya penjurusan dan peminatan, peserta didik jadi bisa fokus untuk mendalami mata pelajaran yang sesuai dengan aspirasi dirinya atau profesinya di masa depan. Sebab, kenyataannya, tidak ada profesi yang didukung oleh hanya disiplin ilmu tunggal. Semua mata pelajaran bisa terhubung.
”Jadi, lebih memberikan ruang bagi setiap anak untuk mengenali lebih jauh potensi dirinya dan menggunakan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan dirinya. Para siswa pun diajak untuk dapat menetapkan pilihan yang tepat untuk masa depannya,” kata Zulfikri.
Adanya penjurusan membuat fleksibilitas siswa untuk mempelajari mata pelajaran lain yang dibutuhkan guna mengembangkan potensi, minat, dan bakatnya menjadi tertutup.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Direktur SMA, Kemendikbudristek, Winner Jihad Akbar mengatakan, dengan adanya Kurikulum Merdeka dan transformasi seleksi penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri, sekolah sepatutnya memfasilitasi siswa dalam memilih mata pelajaran. Apalagi, jenjang SMA merupakan gerbang bagi siswa untuk melanjutkan ke pendidikan lebih tinggi atau bekerja.
”Walaupun merdeka atau diberi kebebasan dan fleksibilitas, tetap fokus pada pemulihan pembelajaran dan peningkatan mutu pembelajaran yang berpusat pada siswa dan transformasi pembelajaran,” kata Winner.
Siswa SMA secara psikologis lebih matang sehingga dianggap mampu menentukan jalur akademiknya sendiri. Mereka dapat menggunakan satu tahun masa belajar di kelas X untuk mengenali pilihan yang difasilitasi sekolah sebelum memilih mata pelajaran yang akan didalami. Mereka juga memiliki banyak kesempatan untuk berdiskusi dengan orangtua/wali, guru bimbingan konseling (BK), dan guru mata pelajaran tentang rencana masa depan.
”Di kelas XI dan XII siswa memilih mata pelajaran. Ada panduan yang dapat menjadi inspirasi bagi pengajar di SMA/MA. Dengan demikian, guru dan sekolah memahami mekanisme yang tepat dan mengakomodasi bakat minat siswa sesuai dengan kondisi sekolah dan tetap berfokus kepada peserta didik,” kata Winner.
Rina Imayanti, Kepala Subpokja Inovasi Kurikulum dan Pembelajaran, Direktorat SMA, mengatakan, untuk kelas XI dan XII, pada fase F struktur mata pelajaran dibagi menjadi dua kelompok utama. Ada kelompok mata pelajaran umum yang mengajarkan semua mata pelajaran yang wajib diikuti semua siswa SMA sederajat dan kelompok mata pelajaran pilihan. ”Setiap SMA sederajat wajib menyediakan paling sedikit tujuh mata pelajaran pilihan,” kata Rina.
Setiap siswa SMA sederajat wajib mengikuti semua mata pelajaran dalam kelompok mata pelajaran umum. Adapun untuk mata pelajaran pilihan yang disediakan sekolah, bisa dipilih empat sampai lima mata pelajaran.
Peserta didik diperbolehkan mengganti mata pelajaran pilihan pada kelas XI semester dua berdasarkan penilaian ulang sekolah terhadap minat, bakat, dan kemampuan peserta didik. ”Proses mengidentifikasi dan menumbuhkembangkan minat, bakat, dan kemampuan peserta didik dilakukan oleh guru yang dikoordinasikan oleh guru BK. Jika ketersediaan guru BK belum mencukupi, koordinasi dilakukan guru lain,” ucap Rina.