Hanya sekitar 30 persen remaja putri di Indonesia yang mendapatkan tablet tambah darah pada 2022. Padahal, tablet tambah darah diperlukan untuk mencegah terjadinya anemia pada remaja yang bisa berdampak jangka panjang.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anemia pada remaja bisa menimbulkan dampak jangka panjang. Remaja putri yang mengalami anemia berisiko dua kali lipat mengalami anemia ketika hamil. Padahal, ibu hamil dengan anemia berisiko mengalami gangguan saat persalinan dan berisiko melahirkan anak dengan gizi kurang.
Pemberian tablet tambah darah pada remaja seharusnya bisa menjadi intervensi yang tepat. Namun, remaja di Indonesia yang mendapatkan tablet tambah darah justru sangat minim. Merujuk data Kementerian Kesehatan hingga triwulan III-2022, hanya 29,23 persen remaja putri yang mendapatkan tablet tambah darah (TTD).
Situasi tersebut harus menjadi perhatian bersama. Pasalnya, pada Riset Kesehatan Dasar 2018 proporsi remaja putri yang mendapatkan TTD lebih besar, yakni 76,2 persen. Dari data yang sama diketahui, remaja usia 15-24 tahun yang mengalami anemia sebesar 32 persen. Dikhawatirkan, dengan cakupan TTD yang rendah pada 2022, jumlah remaja anemia bisa semakin besar.
”Kendala dalam pemberian TTD adalah koordinasi dan komitmen pelaksanaannya sebab itu melibatkan beberapa pemangku kepentingan yang mencakup waktu, SDM, juga perlu memastikan kegiatan rutin yang dilaksanakan tiap minggu,” kata Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Maria Endang Sumiwi yang dihubungi di Jakarta, Jumat (9/12/2022).
Ia mengatakan, sejumlah upaya akan dilakukan untuk meningkatkan cakupan pemberian TTD pada remaja, antara lain, dengan memastikan kegiatan aksi bergizi bisa dilakukan secara rutin setiap minggu di sekolah. Sekolah pun harus menetapkan hari pelaksanaan aksi bergizi ataupun hari minum TTD bersama di sekolah.
Menurut Endang, dukungan regulasi menjadi hal penting dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. ”Kita sudah mempunyai SKB empat menteri tentang penyelenggaraan peningkatan status kesehatan peserta didik. Harapannya, daerah juga mendukung melalui edaran atau peraturan bupati, walikota atau kepala sekolah,” tuturnya.
Kendala dalam pemberian TTD adalah koordinasi dan komitmen pelaksanaannya sebab itu melibatkan beberapa pemangku kepentingan.
Anemia merupakan suatu kondisi ketika kadar hemoglobin dalam darah lebih rendah dari kadar normal. Pada remaja usia di atas 15 tahun dikatakan mengalami anemia apabila kadar hemoglobinnya kurang dari 12 gram per desiliter.
Kondisi anemia bisa berdampak jangka pendek dan jangka panjang. Biasanya, remaja dengan anemia akan mengalami penurunan kekebalan tubuh, penurunan konsentrasi, prestasi belajar, kebugaran, dan produktivitas. Selain itu, remaja putri yang anemia berisiko lebih tinggi menjadi ibu hamil dengan anemia. Kondisi tersebut bisa memicu risiko perdarahan dalam persalinan, kematian ibu, melahirkan bayi prematur, ataupun melahirkan bayi dengan berat lahir rendah. Anak yang dilahirkan pun berisiko mengalami kurang gizi hingga tengkes ( stunting).
Ketua Tim Kerja Kesehatan Usia Sekolah dan Remaja Direktorat Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan Inti Mujiati, dalam sosialisasi skrining anemia remaja putri pada Senin (21/11/2022) menuturkan, pemberian tablet tambah darah pada remaja tidak sekadar diberikan saja melainkan harus dipastikan dikonsumsi dengan tepat. Melalui kegiatan aksi bergizi yang diselenggarakan di sekolah diharapkan pemantauan konsumsi TTD bisa lebih baik.
TTD pada remaja wajib dikonsumsi satu tablet setiap minggu, termasuk ketika anak sedang libur sekolah ataupun ketika menjalankan pembelajaran jarak jauh. Oleh sebab itu, petugas kesehatan, guru, dan orangtua bisa turut memantau konsumsi TTD pada remaja putri. Pemantauan bisa dilakukan melalui pertemuan daring ataupun mengirimkan bukti dengan video. Diharapkan, pencatatan dan pelaporan tetap optimal.
Penapisan
Inti menambahkan, selain pemberian TTD, penapisan atau skrining anemia pada remaja juga perlu dilakukan. Apabila terdapat remaja yang ditemukan dengan anemia, intervensi bisa cepat dilakukan. Penapisan yang dilakukan saat ini ditujukan untuk remaja putri kelas tujuh dan kelas sepuluh.
”Program ini akan diintegrasikan pada kegiatan penjaringan kesehatan di sekolah. Targetnya akan ada 3,6 juta remaja putri yang akan menjalani penapisan anemia,” ujarnya.
Adapun target kegiatan penapisan tersebut mencakup 100 persen remaja putri di 12 provinsi prioritas penanganan tengkes dan 80 persen remaja putri di 24 provinsi lainnya. Alat untuk mengukur hemoglobin atau Hb meter kini telah dikirimkan ke seluruh puskesmas.
Inti menyampaikan, setelah penapisan dilakukan, maka tindak lanjut setelahnya juga perlu diperhatikan. Tata laksana pada remaja putri anemia perlu dilakukan dengan baik. Jika remaja putri tidak mengalami anemia, ia tetap harus mengonsumsi TTD secara rutin satu tablet per minggu. Sementara pada remaja dengan anemia, intervensi akan dilakukan sesuai dengan kondisi yang dialami.
Pada remaja anemia ringan dengan kadar Hb 11-11,9 g/dl serta remaja anemia sedang dengan kadar Hb 8-10,9 g/dl akan dirujuk ke puskesmas dan diobati dengan pemberian TTD sebanyak 1-2 tablet per hari. Selain itu, edukasi asupan gizi seimbang juga akan diberikan. Apabila kondisinya tidak membaik dalam waktu empat minggu ataupun status anemia semakin buruk, perlu dirujuk ke rumah sakit.
Sementara remaja dengan anemia berat, yakni kadar Hb kurang dari 8 g/dl, harus dirujuk ke rumah sakit untuk mengetahui penyebab anemianya. Pada kadar Hb yang rendah, anemia bisa terjadi akibat hal lain selain kekurangan zat besi.
”Jadi, setelah ada hasil skrining perlu dipastikan berlanjut pada tata laksana anemia, mulai dari anemia ringan, sedang, dan juga pengobatan,” kata Inti.