JAKARTA, KOMPAS — Remaja perempuan rentan mengalami anemia atau kekurangan darah. Setidaknya, 23 persen remaja perempuan di Indonesia ditemukan mengalami anemia. Kondisi ini dapat berdampak buruk pada remaja, mulai dari penurunan konsentrasi dan prestasi belajar, berkurangnya produktivitas remaja, hingga meningkatkan risiko kematian di masa kehamilan dan kelahiran kelak.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2013, salah satu masalah yang dihadapi remaja Indonesia adalah masalah gizi mikronutrien, salah satunya anemia. Dari jumlah remaja di Indonesia, sekitar 12 persen remaja laki-laki dan 23 persen remaja perempuan mengalami anemia. Sebagian besar, kondisi ini disebabkan karena kurangnya zat besi atau yang disebut anemia defisiensi besi.
“Anemia di remaja perempuan lebih tinggi dibanding remaja laki-laki, salah satunya karena pengaruh faktor hormonal. Remaja perempuan sudah memasuki periode masa reproduksi dengan mengalami menstruasi,” ujar pelaksana tugas Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Pattiselano Robert Johan pada Seminar Kesehatan dan Gizi Remaja di Jakarta, Selasa (15/5/2018).
Selain itu, anemia pada remaja perempuan disebabkan karena asupan gizi, terutama zat besi yang kurang. Pada masa remaja, seseorang akan mengalami percepatan pertumbuhan dan perkembangan tubuh sehinga memerlukan asupan energi dan gizi yang cukup.
Remaja perempuan juga mudah dipengaruhi oleh teman sebaya dan media sosial dalam hal pola makan. “Biasanya, mereka terpengaruh untuk diet ekstrem tanpa memedulikan asupan gizi yang seharusnya didapatkan,” kata Pattiselano.
Buruknya kualitas gizi remaja Indonesia tergambar dari data Global School Health Survey 2015. Dari data tersebut disebutkan, sebanyak 65,2 persen remaja tidak selalu sarapan, 93,6 persen kurang mengonsumsi serat dari buah dan sayur, 75,7 persen sering mengonsumsi makanan berpenyedap, dan 42,5 persen kurang melakukan aktivitas fisik.
Anggota Satuan Tugas Remaja Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Yoga Devaera menuturkan, anemia dapat dihindari dengan mengonsumsi makanan yang tinggi zat besi, seperti daging merah, sayuran hijau, dan hati. Konsumsi makanan dengan kandungan tinggi asam folat, vitamin A, dan vitamin C, serta Zink juga perlu ditingkatkan.
“Selain itu, secara rutin sebaiknya remaja perempuan mengonsumsi tablet tambah darah (TTD) seminggu sekali, terutama saat menstruasi,” ucapnya.
Batas kadar hemoglobin normal untuk remaja perempuan usia 13-18 tahun adalah 12 gram per desiliter. Apabila kadar hemoglobin kurang dari itu, biasanya seseorang akan cepat lesu dan lelah. Pada anemia yang lebih berat bisa menimbulkan sesak napas dan meningkatnya denyut jantung sehingga merasa berdebar-debar.
Direktur Bina Gizi Masyarakat Kemenkes Doddy Izwardy menyampaikan, saat ini pemerintah melalui kemenkes sudah menjalankan program gizi remaja, salah satunya dengan pemberian tablet tambah darah (TTD) bagi remaja putri di sekolah, puskesmas, dan posyandu remaja.
Ia mengakui, saat ini program gizi pada remaja belum menjadi prioritas pemerintah. Selama ini baru ada program distribusi TTD, meski belum merata di seluruh wilayah Indonesia.
“Untuk itu, kami akan dorong program gizi remaja ini ke dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional). Penyelesaikan masalah gizi tidak cukup hanya menjangkau ibu dan anak saja, tetapi harus menyasar pada remaja,” ujarnya.