Potensi Bakteri untuk Bioindustri Kurang Dimanfaatkan
Mikroorganisme seperti bakteri dan arkea berpotensi besar untuk dimanfaatkan dalam pengembangan bioindustri kesehatan, pangan, dan lingkungan. Namun, pemanfaatannya masih kurang optimal di Indonesia.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Bakteri merupakan mikroorganisme yang sangat potensial untuk dimanfaatkan dalam bioindustri di bidang kesehatan, pangan, dan lingkungan. Akan tetapi, pemanfaatannya masih kurang di Indonesia. Riset dan inovasi dalam pemanfaatan biodiversitas mikroorganisme tersebut pun harus ditingkatkan.
“Sebagai negara dengan biodiversitas yang tinggi, riset dan inovasi di Indonesia untuk memanfaatkan biodiversitas mikroorganisme menjadi keharusan,” kata Puspita Lisdiyanti saat menyampaikan orasi pengukuhan atas dirinya sebagai Profesor Riset Bidang Mikrobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Jakarta, Kamis (8/12/2022).
Pada kesempatan tersebut terdapat tiga periset lain yang juga dikukuhkan sebagai Profesor Riset BRIN, yakni Atit Kanti sebagai profesor riset bidang mikrobiologi, Edy Giri Rachman Putra sebagai profesor riset bidang kimia fisika makromolekul, dan Susilo Widodo sebagai profesor riset bidang fisika radiasi. Keempat profesor tersebut dikukuhkan sebagai Profesor Riset Indonesia ke 650, 651, 652, dan 653.
Puspita menuturkan, bakteri dan arkea merupakan jenis mikroorganisme yang memiliki peluang besar dalam pengembangan bioindustri kesehatan, pangan, dan lingkungan. Di bidang kesehatan, bakteri dapat dimanfaatkan untuk pengobatan. Saat ini, sekitar dua pertiga antibiotik yang digunakan dihasilkan dari aktinobakteria.
Ia mencontohkan, Amycolatopsis tropicalis merupakan contoh aktinobakteria yang berhasil diisolasi dari Pulau Kalimantan dan dikembangkan menjadi antibiotik vankomisin oleh Perusahaan Eli Lilly pada 1946. Dengan kekayaan alam yang tinggi, penemuan antibiotik berikutnya amat diharapkan di Indonesia.
Di bidang pangan fungsional, Puspita menuturkan, bakteri juga bisa menghasilkan enzim penting untuk mengonversi biomassa kompleks menjadi senyawa fungsional. Enzim yang dihasilkan oleh bakteri juga dapat dimanfaatkan untuk memperpanjang umur simpan, menambah kandungan nutrisi, citarasa, dan kualitas, serta untuk kebutuhan terapeutik.
Pada bidang lingkungan, bakteri penghasil urease tinggi telah ditemukan yang dapat diaplikasikan untuk menangani persoalan lingkungan, seperti erosi pantai. “Pemanfaatan bakteri untuk menguraikan minyak mentah juga merupakan topik yang perlu digarap serius. Indonesia sebagai negara perairan, tumpahan minyak dapat membuat polusi di laut terkonsentrasi di Pulau Jawa terutama Teluk Jakarta,” kata Puspita.
Sebagai negara dengan biodiversitas yang tinggi, riset dan inovasi di Indonesia untuk memanfaatkan biodiversitas mikroorganisme menjadi keharusan.
Menurut dia, bakteri dan arkea sangat berperan pada konsep bioekonomi dan ekonomi sirkular. Itu terbukti dari penggunaan limbah pertanian untuk menghasilkan bioproduk dengan biokatalis dari enzim yang dihasilkan oleh bakteri.
Untuk itu, pendekatan teknologi terkini seperti genomik, transkriptomik, proteomik, dan metabolomik perlu dimanfaatkan secara optimal untuk menemukan dan mengeksploitasi keragaman bakteri dan arkea di Indonesia. Dengan tujuan untuk mengidentifikasi biokatalis atau senyawa alami untuk aplikasi dalam bioproses berkelanjutan.
“Hal ini akan berkontribusi untuk memecahkan tantangan global, termasuk pemanfaatan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan pangan, kesehatan, dan energi,” tutur Puspita. Saat ini, jumlah bakteri dan arkea yang telah dideskripsikan sebanyak 66.303 jenis.
Tantangan
Ia mengatakan, meski peluang dari bakteri dan arkea sangat besar untuk pengembangan bioindustri kesehatan, pangan, dan lingkungan, pemanfaatannya belum optimal di Indonesia. Sejumlah tantangan masih dihadapi terutama terkait kualitas dari SDM iptek dan fasilitas yang memadai.
Selain itu, transfer teknologi dari hasil yang diungkapkan mengenai potensi mikroorganisme juga belum secara signifikan dilakukan ke industri maupun ke perusahaan pemula (start up). Bahkan, mikroorganisme yang telah diungkap potensinya seringkali dibiarkan mati atau terkontaminasi karena tidak dilakukan pemeliharaan dengan cara yang tepat.
“Pengungkapan potensi juga terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Kendala lain seperti belum menggunakan strain (jenis) acuan yang standar serta belum dilakukan riset dan inovasi bioproses skala besar sehingga ketika diaplikasikan tidak memenuhi nilai ekonomi,” ujar Puspita.
Dalam kesempatan yang sama, Atit Kanti, Profesor Riset BRIN lain yang juga dikukuhkan bersama dengan Puspita, menuturkan, Indonesia juga memiliki keragaman jenis khamir yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan bioprospeksi berbasis mikroorganisme. “Pengelolaan khamir bisa juga untuk meningkatkan pengembangan kegiatan biofuel dan bioindustri di Indonesia,” katanya.