Petambang Emas Skala Kecil Didorong Menggunakan Sianida
Indonesia merupakan salah satu dari tiga penyumbang emisi merkuri terbesar di dunia. Bahan alternatif, seperti sianida, diperlukan untuk menekan hal tersebut.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati saat memberi sambutan pembukaan hasil diseminasi GOLD-ISMIA di Jakarta, Rabu (7/12/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Kegiatan pertambangan emas skala kecil atau PESK di Indonesia diminta untuk tidak lagi menggunakan merkuri dalam pengolahan emas. Sebagai alternatif, para petambang dapat menggunakan sianida sebagai zat bantu untuk mengolah emas.
Hal ini merupakan hasil dari proyek Global Opportunities for Long-term Development-Integrated Sound Management of Mercury in Indonesia’s ASGM (GOLD-ISMIA) yang dimulai pada 2018 dan akan selesai pada 2023 mendatang. Proyek ini melibatkan 2.935 petambang yang tergabung dalam 54 kelompok di enam lokasi berbeda.
Perekayasa ahli utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dadan Nurjaman, mengatakan, sebanyak 80 persen industri pertambangan emas di dunia menggunakan sianida karena paling efektif untuk mengolah emas. Perbedaannya dengan merkuri, limbah sianida dapat dihancurkan dengan cepat hingga di bawah batas aman.
Proyek ini diharapkan berlanjut untuk mencapai Indonesia bebas merkuri tahun 2025.
”Penggunaan sianida juga lebih efektif daripada merkuri. Perolehan emas dengan merkuri hanya di bawah 50 persen, sedangkan menggunakan sianida dapat di atas 80 persen, bahkan 95 persen apabila pengolahannya tepat,” ujarnya dalam diseminasi hasil proyek GOLD-ISMIA di Jakarta, Rabu (7/12/2022).
Perekayasa peralatan pengolahan emas BRIN, Ridha Cindra Oktian, menambahkan, sianida memang termasuk bahan berbahaya, tetapi dengan penggunaan yang benar akan mampu berperan sebagai zat yang membantu proses pengolahan emas. Sianida akan memisahkan bijih emas, perak, dan tembaga, dari pengotor, seperti pasir-pasir yang tidak berguna.
”pH atau keasaman larutan sianida harus dipastikan berada pada rentang 10,5-11,0, apabila kurang dari 10 akan sangat membahayakan. Oleh karena itu, semua petambang yang terlibat diberi pelatihan terlebih dahulu untuk mengolah emas agar menjamin keamanan mereka,” ucapnya saat menjelaskan proses penggunaan sianida dalam pengolahan emas.
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
Tangki yang digunakan untuk melarutkan sianida dan menyerap bijih emas.
Kebutuhan sianida disesuaikan dengan kadar bijih emas, ada kadar rendah (kurang dari 30 ppm), sedang (30-50 ppm), dan tinggi (lebih dari 50 ppm). Pelarutan dan pemisahan bijih emas dilakukan dalam tangki yang telah dilengkapi pengaduk dan blower udara. Selanjutnya, emas yang terlarut akan diserap oleh karbon aktif.
”Petambang itu sudah mengerti kandungan bijih emas yang terkandung dalam bebatuan, tinggal metode menggunakan sianidanya saja yang perlu diajari,” ujarnya.
Pada dasarnya, ada dua metode efektif yang dapat digunakan petambang emas, yakni sianida dan gravitasi. Kedua metode itu digunakan sesuai dengan lokasi kandungan bijih emas, kalau di sungai dengan tekstur berpasir, maka digunakan metode gravitasi, sedangkan bebatuan keras menggunakan bantuan sianida. Metode gravitasi juga sudah tidak menggunakan merkuri, melainkan alat bantu untuk menyaring dan memisahkan bijih emas dari pasir-pasir yang tidak digunakan.
Laporan Program Pembangunan PBB (UNDP), Indonesia melepaskan 340 ton merkuri per tahunnya dan termasuk dalam tiga daftar teratas penghasil emisi merkuri global. Emisi merkuri ini sebanyak 60 persen dilepaskan ke udara dan 20 persen ke air.
Merkuri ini berbahaya karena mengandung racun yang kuat dan menyebabkan gangguan neurologis dan ginjal akut pada orang dewasa, sedangkan pada anak-anak dapat menyebabkan disfungsi mental dan fisik yang parah. Selain itu, kandungan merkuri juga terakumulasi dalam rantai makanan yang berdampak pada ekosistem di seluruh dunia.
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati dan Direktur Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun KLHK Yulia Suryanti (kanan) di Jakarta, Rabu (7/12/2022).
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati menyebutkan, proyek ini diharapkan berlanjut untuk mencapai Indonesia bebas merkuri tahun 2025. Penghapusan merkuri, kata Rosa, akan dilakukan secara bertahap dari sektor PESK.
”Saat ini baru di enam lokasi, nantinya akan dibuat roadmap (peta jalan) untuk memetakan wilayah lainnya untuk dibebaskan dari penggunaan merkuri dalam pertambangan emas,” ujarnya.
Dalam lampiran satu Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri, jumlah lokasi PESK di Indonesia diperkirakan ada 180-220 titik yang tersebar di 29 provinsi.
Sejumlah petambang emas yang terlibat dalam proyek GOLD-ISMIA juga hadir dalam diseminasi di Jakarta itu. Mereka mengungkapkan, proyek tersebut mampu meningkatkan produktivitas pengolahan emas dan mengajarkan teknik baru yang lebih aman terhadap lingkungan.
Selain itu, proyek tersebut juga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat petambang karena disediakan pasar untuk menjual emas tanpa perantara yang merugikan. Ini dinilai krusial bagi para petambang sebab harga emas yang mereka terima lebih layak dan menguntungkan.