Pandemi Paling Berdampak pada Siswa Perdesaan dan Disabilitas
Hasil studi menunjukkan dampak pandemi Covid-19 pada siswa kelompok paling rentan di Indonesia. Siswa yang tinggal di daerah terpencil dan disabilitas cenderung paling berdampak.
Oleh
ZULIAN FATHA NURIZAL
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengaruh pandemi Covid-19 dalam pendidikan lebih berdampak pada siswa kelompok rentan yang mengalami kesenjangan belajar akibat hilangnya pembelajaran atau learning loss. Kelompok rentan itu merupakan siswa di perdesaan dan siswa disabilitas.
Berdasarkan studi yang dibuat oleh Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi berkolaborasi dengan program Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI), masih banyak siswa Indonesia yang belum menguasai keterampilan dasar literasi dan numerasi. Siswa yang belum menguasai kemampuan dasar di jenjang tertentu akan semakin tertinggal di jenjang berikutnya.
Studi ini diikuti 612 sekolah dengan melibatkan siswa siswi sebanyak 18.370 siswa kelas I sampai III sekolah dasar (SD) yang dipilih secara acak. Mereka berasal dari 18 kabupaten di Provinsi Jambi, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, dan Maluku Utara.
Hasil studi juga menunjukkan dampak pandemi Covid-19 pada siswa kelompok paling rentan di Indonesia. Siswa yang tinggal di daerah terpencil dan disabilitas cenderung paling berdampak.
Direktur Program INOVASI Mark Heyward mengatakan, siswa dengan multi kerentanan berpotensi memiliki hasil belajar lebih rendah. ”Siswa di perdesaan dan daerah terpencil lebih banyak yang memiliki performa literasi dan numerasi tingkat satu sehingga tidak memenuhi tingkat keterampilan minimum dibandingkan dengan siswa di perkotaan,” kata Mark dalam acara bertajuk ”Transformasi Pembelajaran: Sampai di mana Perjalanan Kita?”, Selasa (6/12/2022) di Jakarta.
Sebanyak 91 persen siswa laki-laki penyandang disabilitas di perdesaan tidak memenuhi tingkat keterampilan minimum. Sementara jumlah siswa laki-laki penyandang disabilitas di perkotaan yang tidak memenuhi keterampilan minimum mencapai 82 persen.
Sebanyak 56 persen guru di perdesaan dan daerah terpencil merasa kurang percaya diri untuk menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Di sisi lain, jumlah guru di perkotaan yang kurang percaya diri untuk melakukan PJJ hanya 37 persen.
Selain itu, orangtua siswa di perkotaan lebih terlibat dalam studi anak-anak mereka dibandingkan dengan orangtua di desa dan daerah terpencil. ”Hasil studi menyimpulkan bahwa kurikulum yang berfokus pada kemampuan esensial, yaitu literasi dan numerasi berpotensi mengurangi learning loss. Selain itu, kurikulum yang berfokus pada materi esensial juga berpotensi untuk mengurangi ketimpangan hasil belajar bagi kelompok rentan,” tambah Mark.
Rekomendasi
Dari temuan-temuan tersebut, ada sejumlah rekomendasi yang dirumuskan oleh INOVASI. Di level sistem dan kebijakan, perlu ada transformasi kurikulum, pengembangan kapasitas guru, serta perbaikan akses dan kualitas sumber daya pembelajaran dan infrastruktur.
Di level sekolah, perlu ada penggunaan asesmen formatif, adaptasi pembelajaran sesuai dengan kemampuan siswa, serta memaksimalkan penggunaan sumber belajar, seperti Platform Merdeka Mengajar (PMM) dan platform lokal yang tersedia.
”Karakter kurikulum yang berpotensi meningkatkan hasil belajar siswa adalah kurikulum yang berfokus pada materi esensial dan memberikan ruang fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan anak,” kata Mark.
Karena itu, perlu ada upaya untuk mengaktifkan komunitas praktisi seperti Kelompok Kerja Guru (KKG) untuk pengembangan kapasitas guru. Kemudian, membangun dan memperkuat kolaborasi dengan masyarakat meliputi orangtua, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), perangkat desa, serta entitas pendidikan terkait (Balai Penjamin Mutu Pendidikan/BPMP) dan Balai Guru Penggerak/BGP).
Kepala BSKAP Kemendikbudristek Anindito Aditomo mengatakan, studi yang dilakukan bertujuan agar semua anak Indonesia memiliki kesempatan untuk mendapat pengalaman dan kesempatan belajar yang sama. Selain itu, agar pemerintah dapat membangun kapasitas dan keterampilan dasar sehingga mereka mampu menjadi pribadi yang mandiri di masa depan.
”Kemampuan merupakan dasar kelulusan yang menjadi tujuan pembelajaran. Yang terpenting dalam pendidikan adalah semua anak dapat belajar dan mandiri,” kata Anindito.
Implementasi
Selain paparan hasil studi, Temu Inovasi ke-14 yang dihadiri berbagai pemangku kepentingan pendidikan dari sejumlah daerah juga menjadi ruang berbagi kisah praktik inspiratif untuk memulihkan pembelajaran siswa.
Mengenai transformasi pembelajaran, Kepala Sekolah Dasar Masehi Mbatakapidu, Sumba Timur, NTT Yunitha May Atanumba mengatakan, pembelajaran rancangan guru yang dulu berpusat pada guru sekarang sudah berpusat pada siswa.
”Melalui kegiatan KKG kami berkolaborasi untuk menyusun modul ajar, membuat media bersama, melakukan simulasi dan refleksi. Jika sebelumnya guru belum melakukan asesmen pembelajaran, sekarang guru wajib melakukan asesmen awal pembelajaran dan memetakan kemampuan siswa,” paparnya.
Senada dengan Yunita, Kepala Madrasah Ibtidaiyah I Muhammadiyah (MIM) 16 Paciran Lamongan, Jawa Timur, Niayah, bercerita tentang transformasi pembelajaran melalui penyebarluasan literasi dalam komunitas belajar untuk mendukung Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM).
Sebagai Koordinator Daerah (Korda) pelaksanaan program INOVASI-Literasi di daerahnya, Niayah harus melaksanakan program literasi di 10 lembaga SD/MI di tengah pandemi. Ia pun bekerja sama dengan Pengurus Wilayah Muhammadiyah Jatim pada 2020.
Ia mengembangkan program literasi di MIM 16, yakni berupa literasi Al Quran dan literasi membaca yang menyeluruh bagi para siswa.
Bersama para guru, ia melakukan bedah kelas, membuat jam khusus membaca, merenovasi perpustakaan, membuat pojok baca di kelas dan lorong sekolah, membuat program tahfidz Al Quran dan kompetisi-kompetisi literasi di madrasahnya. Upaya itu berhasil sehingga diadopsi oleh hampir seluruh SD dan MIM di Kabupaten Lamongan.
”Seluruh kegiatan diseminasi ini dilakukan dengan pendanaan mandiri yang didasarkan pada kesadaran untuk melakuan perubahan, terutama untuk MIM. Selama ini memang sangat jarang ada program pelatihan dan pendampingan yang memang ditujukan untuk madrasah,” ujarnya.
Dengan bermitra dengan INOVASI, guru banyak mendapatkan kesempatan berkolaborasi dengan madrasah lain dan mendapatkan pengembangan kapasitas untuk mengajar yang menyenangkan.