Korporasi Pencemar Diusulkan Bayar Dampak Krisis Iklim
Perusahaan maupun institusi yang mendanai pencemaran didorong agar dilibatkan juga dalam pendanaan kehilangan dan kerusakan akibat bencana iklim. Hal ini sejalan dengan prinsip pencemar membayar.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesepakatan pendanaan iklim untuk mengatasi masalah kehilangan dan kerusakan yang dihasilkan dari Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim Ke-27 atau COP27 di Mesir masih dibebankan kepada negara maju dan lembaga keuangan. Sejumlah pihak mengusulkan agar perusahaan yang mencemari lingkungan maupun institusi yang mendanai pencemaran juga disertakan sebagai pembayar dalam pendanaan kehilangan dan kerusakan.
Hal ini sejalan dengan polluter pays principle atau prinsip pencemar membayar. Prinsip itu diartikan bahwa setiap pelaku kegiatan atau pelaku usaha yang menimbulkan pencemaran harus membayarkan biaya atas dampak pencemaran yang ditimbulkannya.
Koordinator Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Pius Ginting mengatakan, perusahaan yang berkontribusi pada pelepasan emisi gas rumah kaca (GRK) agar juga berkontribusi dalam pembayaran kerusakan dan kehilangan (loss and damage). Apalagi, Indonesia masih lambat dalam menghentikan operasional semua pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sehingga kehilangan dan kerusakan akibat dampak krisis iklim akan semakin parah.
Solusi yang ditempuh justru dikhawatirkan malah memperpanjang usia energi fosil.
”Perusahaan batubara perlu dituntut kontribusinya untuk pendanaan kehilangan dan kerusakan karena keuntungan yang didapat dari industri tersebut. Sementara itu, bencana hidrometeorologi masih terus terjadi di Indonesia akibat dampak krisis iklim,” ujar Pius dalam diskusi daring bertajuk ”Pasca COP27: Transisi Energi dan Keadilan Iklim di Indonesia”, Selasa (29/11/2022).
Di sisi lain, pemerintah menyatakan mekanisme pendanaan loss and damage yang dihasilkan dari COP27 di Mesir bisa membantu Indonesia yang terdampak krisis iklim. Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Laksmi Dhewanthi mengatakan, disepakatinya skema pendanaan kehilangan dan kerusakan maupun kelembagaan Santiago Network ini telah memberi kemajuan yang sangat berarti. Walaupun secara spesifik pengaturan kelembagaan Santiago Network itu masih terus didiskusikan (Kompas.id, 28 November 2022).
Waspada solusi palsu
Pemerintah juga terus mengejar target emisi nol bersih pada 2060. Langkah ini oleh sejumlah pihak dinilai sebagai solusi semu dan palsu. Alasannya, solusi yang ditempuh justru dikhawatirkan malah memperpanjang usia energi fosil. Pius menerangkan, dekarbonasi mesti mengakhiri usia energi fosil dari hulu hingga hilir karena berdampak luas dan luar biasa.
Tak hanya itu, transisi energi sektor transportasi dinilai juga penting dalam menekan pelepasan emisi. Walaupun upaya pemerintah telah mendorong dan mempercepat transisi menuju penggunaan energi baru terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan.
”Mendukung emisi nol bersih dalam sektor transportasi sebenarnya menimbulkan persoalan lingkungan baru, salah satunya tambang nikel yang dapat meningkatkan emis GRK. Sementara saat ini kebijakan kendaraan listrik lebih mendorong penggunaan kendaraan pribadi ketimbang mengalihkan kendaraan listrik untuk transportasi publik,” ujar Pius.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Serikat Perempuan Indonesia (Seruni) Triana Kurnia Wardani mengatakan, dalam mencapai keadilan iklim yang diinginkan itu salah satu caranya melibatkan rakyat itu sendiri. Karena transisi energi itu harus menjunjung perlindungan hak asasi manusia, termasuk mengikutsertakan kelompok rentan dan menghormati kedaulatan rakyat.
”Masyarakat khawatir akan dampak kerusakan lingkungan yang lebih parah, terutama yang dianggap sebagai transisi energi yang tetap mengeruk sumbernya dari tanah. Padahal, masyarakat itu yang merawat dan menjaga lingkungan sekitarnya sehingga mereka yang akan paling terdampak dengan terjadinya krisis iklim tersebut,” kata Triana.