Kenaikan Tarif Cukai Belum Efektif Turunkan Jumlah Perokok
Meski tarif cukai rokok naik, prevalensi perokok anak terus meningkat. Butuh dukungan regulasi dan instrumen-instrumen lain agar prevalensi perokok tidak meningkat.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan tarif cukai hasil tembakau atau CHT tahun 2023 dan 2024 rata-rata 10 persen dinilai kurang ambisius dan belum efektif untuk menekan prevalensi perokok di Indonesia. Dukungan, baik dari aspek regulasi maupun instrumen-instrumen lain, diperlukan untuk menurunkan prevalensi perokok.
Merujuk data Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021, terjadi peningkatan signifikan jumlah perokok dewasa dari 60,3 juta perokok pada 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada 2021. Selain itu, data Riset Kesehatan Dasar menunjukkan, prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun juga naik dari 7,2 persen tahun 2013 menjadi 9,1 persen tahun 2018.
Kepala Center of Human and Economics Development Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (CHED ITB-AD) Roosita Meilani Dewi dalam konferensi pers ”Peredaran Produk Tembakau Tanpa Kendali: Rapor Merah 2022 Pemerintahan Jokowi-Amin” secara daring di Jakarta, menyebutkan, tarif CHT selalu naik setiap tahun. Namun, dampak penurunan prevalensi perokok anak masih belum signifikan.
”Kenaikan (CHT) rokok sebesar 10 persen itu kurang ambisius dan belum efektif. Terlebih pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 ingin menurunkan prevalensi perokok anak dari 9,1 persen menjadi 8,7. Saat ini kurang dari dua tahun waktu bagi pemerintah untuk mewujudkannya,” ujarnya, Jumat (25/11/2022).
Sebagai informasi, kenaikan cukai untuk sigaret kretek mesin (SKM) sebesar 11,5-11,75 persen, sigaret putih mesin (SPM) sebesar 11-12 persen, sedangkan kenaikan sigaret kretek tangan (SKT) hanya sebesar 5 persen. Menurut Roosita, terdapat selisih kenaikan tarif cukai yang cukup jauh antara golongan SKT dengan SKM dan SPM.
Dalam 12 tahun terakhir, tarif CHT dan harga jual eceran (HJE) terus meningkat serta berada di atas inflasi. Meski demikian, kenaikan tarif untuk golongan SKT masih sangat lambat. Ini membuat prevalensi perokok tetap tinggi dan produksi rokok tidak menurun.
”Kenaikan tarif CHT seharusnya 25 persen. Dengan persentase itu, prevalensi perokok dewasa dapat menurun dari 33,7 persen ke 32,6 persen, prevalensi perokok pemula juga dapat menurun dari 9,1 persen ke 8,8 persen. Penurunan itu membuat jumlah perokok dan kematian dini lebih sedikit. Selain itu, negara juga akan mendapat tambahan penerimaan dari cukai sekitar 17 persen,” tuturnya.
Kenaikan tarif CHT seharusnya 25 persen. Dengan persentase itu, prevalensi perokok dewasa dapat menurun dari 33,7 persen ke 32,6 persen, prevalensi perokok pemula juga dapat menurun dari 9,1 persen ke 8,8 persen.
Penasihat Indonesia Institute for Social Development (IISD) Sudibyo Markus mengatakan, bahaya nikotin sebagai zat adiktif mengancam generasi penerus bangsa dan visi Indonesia Emas 2045. Instrumen-instrumen teknis seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 yang mengatur hal-hal terkait rokok masih lemah.
Sudibyo menambahkan, peraturan tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan itu mengamanatkan diversifikasi produk, kawasan tanpa rokok, dan lainnya. Aturan itu perlu diharmonisasi dengan kebijakan-kebijakan lainnya.
Deputi III Kantor Staf Presiden Bidang Perekonomian Edy Priyono menyebutkan, kenaikan 10 persen tarif CHT merupakan titik yang dianggap optimal saat ini. Adapun hal yang menjadi pertimbangan pemerintah adalah kesehatan, pertanian, industri, hukum, dan penerimaan negara.
”Pemerintah ingin meningkatkan penerimaan negara dan menurunkan prevalensi merokok, tetapi juga perlu memikirkan para petani tembakau. Ada juga industri rokok yang sudah berkembang perlu dipertimbangkan, termasuk para pekerjanya. Terakhir, aspek hukum, khususnya terkait peredaran rokok ilegal,” tuturnya.
Untuk menekan prevalensi perokok, kata Edy, pemerintah tetap konsisten untuk membatasi iklan atau promosi rokok, kewajiban mencantumkan peringatan bahaya rokok di kemasan, pengaturan pemajangan rokok di pasar swalayan kecil dan besar, serta pengaturan kawasan tanpa rokok, dan lain sebagainya.