Perempuan memiliki potensi yang besar. Namun, realitanya, potensi kepemimpinan perempuan belum optimal. Dalam banyak bidang, posisi pemimpin masih didominasi laki-laki.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Kepemimpinan perempuan di Indonesia belum berkembang optimal meski, secara komposisi, proporsi perempuan sekitar 49,8 persen dari populasi penduduk. Hingga kini, belum banyak perempuan memegang posisi pemimpin di bidang apa pun, termasuk di lembaga perwakilan rakyat.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengingatkan, potensi dan peran perempuan sangat penting karena ikut menentukan kemajuan bangsa.
”Peran perempuan dapat kita rasakan dalam rumah tangga ataupun dalam kegiatan sosial, di mana perempuan mengambil aneka peran dan bahkan memimpin,” ujar Bintang Darmawati dalam pidato kunci pada Seminar ”Peran Tokoh Agama dalam Menyiapkan Kepemimpinan Perempuan di Masyarakat”, di Jakarta, Senin (21/112022).
Untuk itulah, Bintang Darmawati meminta perempuan di Tanah Air agar lebih cermat lagi melihat potensi kepemimpinannya sehingga dapat berkembang lebih baik.
Islam melihat perbedaan bukan dari jenis kelamin, melainkan pada kapasitas, kerja keras, dan ketakwaan dan keimanan.
”Sebab, jika melihat data dan indeks perempuan di eksekutif, legislatif, lembaga penegak hukum, dan kemiliteran, ini masih terjadi kesenjangan yang cukup dalam,” ujar Bintang.
Kesenjangan antara laki-laki dan perempuan juga terlihat dalam Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Pemberdayaan Perempuan. Mengatasi kesenjangan tersebut, butuh strategi jangka panjang untuk menjawab berbagai tantangan yang selama ini ada.
Komitmen
Bintang berharap ada komitmen yang kuat untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dan upaya konkret untuk mendorong kepemimpinan perempuan.
Saat ini, baru 21,39 persen atau 123 anggota legislatif perempuan dari total 575 anggota Dewan Pewakilan Rakyat (DPR). Adapun jumlah perempuan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sudah mencapai 30,88 persen atau 42 orang dari 136 kursi.
Sementara di lembaga eksekutif, saat ini terdapat enam menteri perempuan di kementerian strategis. Di pemerintahan daerah, terdapat satu gubernur, tiga wakil gubernur, dan 14 bupati/wali kota perempuan.
Di lembaga yudikatif, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah hakim masih didominasi laki-laki. Namun, pada 2020, persentase hakim perempuan naik dari tahun sebelumnya, yakni dari 26,6 persen menjadi 28,27 persen. Selain itu, terdapat enam hakim perempuan dari 51 hakim agung di Mahkamah Agung.
Adapun di lembaga penegak hukum dan kemiliteran, tercatat 24.722 perempuan polisi dan 8.850 perempuan prajurit TNI. Beberapa di antara mereka berpangkat jenderal dan menduduki posisi strategis di angkatan masing-masing.
”Konstitusi kita, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, telah menjamin pemenuhan hak asasi dan perlindungan bagi setiap orang dengan prinsip kesetaraan,” ujar Menteri PPPA.
Hal itu juga diperkuat dengan meratifikasi Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimanation Against Women/CEDAW) menjadi UU No 7/1984. Pemerintah Indonesia juga telah menyepakati untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang salah satu tujuannya adalah kesetaraan jender.
”Semua ini sejalan dengan prinsip kita sebagai negara demokrasi terbesar di dunia, kita perlu mengupayakan sebesar-besarnya ruang partisipasi dan representasi politik dan kepemimpinan perempuan terfasilitasi dengan baik,” ujar Bintang Darmawati.
Komite Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Mukti Ali Qusyairi mengungkapkan, kepemimpinan perempuan dalam Islam adalah realitas sejarah Islam. Misalnya, istri Nabi Muhammad SAW menjadi contoh model kepemimpinan di bidang bisnis. Begitu juga kepemimpinan perempuan di ruang keagamaan.
”Nabi itu tidak pernah mengatakan perempuan dilarang menjadi pemimpin. Sama sekali tidak pernah,” ujar Mukti. Ia menegaskan, Islam melihat perbedaan bukan dari jenis kelamin, melainkan pada kapasitas, kerja keras, serta ketakwaan dan keimanan.
Romo Antonius Nugroho Bimo dari Konferensi Wali Gereja menyampaikan, dalam Gereja Katolik, kesetaraan jender terwujud jika ada penghormatan satu sama lain. Manusia adalah puncak ciptaan karena citra Allah. ”Upaya Gereja dalam mewujudkan kesetaraan jender adalah upaya pastoral,” katanya.
Esther Setiawati Santoso, Ketua DPP Wanita Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), menyatakan, dalam Buddha, istri merupakan sahabat karib suami. Ini menunjukkan adanya kesetaraan jender.
Sementara itu, Silvana Apituley, tokoh perempuan Kristen Protestan yang juga Wakil Presiden Dewan Gereja Reformasi Sedunia, menuturkan, dalam lima hingga enam dekade terakhir, kepemimpinan perempuan dalam lingkungan Protestan semakin kuat.
”Pertama-tama bermula dari pengakuan perempuan di ruang domestik, di ruang publik termasuk di gereja, nasional, hingga global. Walaupun harus diakui, kepemimpinan pada umumnya didominasi laki-laki,” kata Silvana.
Amani Lubis, Ketua MUI Bidang Perempuan, Remaja, dan Keluarga serta Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, memaparkan, di UIN kesetaran jender menjadi perhatian, menyusul bertambahnya perempuan yang duduk dalam kepemimpinan di kampus. ”Ada dua fakultas yang dekannya perempuan. Mahasiswa di kampus 70 persen perempuan,” ujarnya.
Sebagai pemimpin, Amani menerapkan strategi bahwa di semua jajaran kepemimpinan kampus harus ada perempuan. Kendati demikian, dia mengakui, hingga kini perempuan kurang mendapat peran di masyarakat.