Kongres Ulama Perempuan Indonesia terus berupaya membongkar secara sistemik sistem pengetahuan dan peradaban yang memarjinalkan perempuan.
Oleh
Ninuk M Pambudy
·3 menit baca
Sejarah Islam mencatat sejumlah perempuan ulama yang mewarnai pemikiran keislaman. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, Fatimah RA, Aisyah RA, Ummu Salamah RA, Nusaibah RA, dan Hafsah RA adalah beberapa sosok yang otoritas keulamaannya memberi pengaruh pada pengetahuan keislaman.
Dalam perjalanan waktu, peran perempuan ulama tertutup pemikiran laki-laki ulama. Salah satu penyebab dapat ditelusuri dari pendapat Ahmet T Kuru, Direktur Pusat Kajian Islam dan Arab di San Diego State University, dalam bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Islam, Otorianisme, dan Ketertinggalan (KPG, Januari 2021).
Kuru menolak Islam sebagai penyebab kemunduran peradaban dunia Muslim mulai abad ke-11 M. Pada abad ke-8 hingga ke-11 Masehi, dunia Muslim jauh mengungguli Eropa Barat secara filosofi dan sosial-ekonomi. Kolonialisme Barat juga bukan penyebab kemunduran karena sebelumnya dunia Islam sudah mengalami masalah politik dan sosial-ekonomi. Menurut Kuru, penyebabnya aliansi antara negara militer dan ulama konservatif. Aliansi ini meminggirkan munculnya pemikiran, kelompok bisnis, dan pedagang baru, termasuk suara perempuan.
Bukan berarti perempuan tidak memiliki capaian penting. Di Indonesia, empat sultanah memerintah Aceh selama 59 tahun sejak 1641 M. Dua sultanah memerintah di Samudra Pasai pada pertengahan abad ke-14 dan di Bone enam ratu memerintah pada abad ke-14.
Menjadi gerakan
Dunia Muslim memiliki sejumlah perempuan yang mengajarkan hadis dan hukum Islam, memiliki buku, dan menjadi guru ulama laki-laki. Di antaranya, Biba al-Harthamiah dari Afghanistan pada 1099 M, seorang hakim dan ahli fikih. Amrah binti Abdur Rahman pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengoleksi dan menyampaikan hadis. Ummu Darda mengajarkan pengetahuan kepada laki-laki hakim, imam, dan pembelajar hadis di Masjid Umayah di Damaskus dan di Jerusalem. Fatima binti Ibrahim bin Jowhar adalah guru Imam Bukhori pada abad ke-8 Hijriah.
Catatan sejarah itu mengantar lahirnya Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada 25-27 April 2017 di Cirebon. KUPI I ini berhasil memunculkan dan meneguhkan otoritas perempuan ulama. Lahir tiga fatwa: mengharamkan kekerasan terhadap perempuan, wajib mencegah pernikahan usia anak, dan negara menghentikan pembangunan yang merusak lingkungan fisik dan sosial. KUPI termasuk yang dimintai pandangan saat pembahasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan perubahan batas usia perkawinan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dunia Muslim memiliki sejumlah perempuan yang mengajarkan hadis dan hukum Islam, memiliki buku, dan menjadi guru ulama laki-laki.
Pada 24-26 November 2022, KUPI kembali menggelar kongres di Jepara, Jawa Tengah. KUPI II ini bertajuk ”Meneguhkan Peran Ulama Perempuan untuk Peradaban yang Berkeadilan”.
Fatwa lahir melalui pertukaran pengetahuan antara perempuan ulama dan komunitas. ”Perempuan di sini adalah orang dengan berbagai latar belakang keilmuan, meyakini perempuan manusia utuh yang memiliki kemampuan akal, pikiran, spiritual untuk membawa keimanan kepada Allah. Jadi, bisa laki-laki dan perempuan,” ujar Sekretaris Panitia Pengarah KUPI II Faqihuddin Abdul Kodir.
KUPI menjadi gerakan di komunitas pesantren, pendidikan, dan lembaga swadaya masyarakat. Ruang berbagi, berkonsolidasi, dan saling menguatkan ini tidak menonjolkan perorangan untuk menemukan paradigma, strategi, dan metodologi melahirkan fatwa.
KUPI secara sistemik membongkar sistem pengetahuan dan peradaban yang memarjinalkan perempuan. ”Yang dibongkar logika berpikirnya,” kata anggota Majelis Musyawarah KUPI II, Nur Rofiah.
Pendekatan metodologi yang dibangun KUPI berbasis pengalaman biologis perempuan. Fungsi reproduksi, misalnya, seharusnya dilindungi, bukan pembenar meminggirkan perempuan.
KUPI II akan membahas fatwa pengelolaan sampah bagi lingkungan berkelanjutan, kepemimpinan perempuan menghadapi ideologi intoleran dan penganjur kekerasan, perlindungan jiwa perempuan dari kehamilan akibat perkosaan, pemaksaan perkawinan pada perempuan dan anak, serta pemotongan dan pelukaan genitalia. Kelima isu ini, menurut ketua penyelenggara, Masruchah, merupakan hasil diskusi dengan berbagai komunitas KUPI.