Didik Nini Thowok dan Dialita Terima Penghargaan Akademi Jakarta 2022
Penghargaan Akademi Jakarta 2022 diberikan kepada maestro tari Didik Nini Thowok dan kelompok paduan suara Dialita. Kesenian mereka dinilai memberi makna atas isu-isu kemanusiaan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Maestro tari Didik Nini Thowok dan kelompok paduan suara Dialita menerima penghargaan Akademi Jakarta 2022. Dialita dinilai gigih menyuarakan perdamaian melalui seni, sementara Didik membuka diskursus soal identitas etnis dan jender melalui seni.
”Penghargaan ini adalah bagian dari pemahaman Akademi Jakarta bahwa kebudayaan tidak lagi dipandang hanya sebagai kesenian, melainkan secara luas, yaitu segala bentuk pembermaknaan manusia atas dunianya,” ucap Ketua Akademi Jakarta Seno Gumira Ajidarma di Jakarta, Rabu (16/11/2022).
Pada narasinya, anggota Akademi Jakarta, Afrizal Malna, mengatakan, Didik merupakan seniman keturunan Tionghoa-Jawa. Peraturan masa Orde Baru mengharuskan ia mengubah namanya dari Kwee Tjoen An menjadi Didik Hadiprayitno. Hal ini membuatnya kehilangan identitas etnis.
Krisis identitas jender juga dialami maestro tari dari Yogyakarta tersebut. Dulu, orang-orang menilai tubuh laki-lakinya terlalu gemulai. Didik lalu tumbuh menjadi seniman yang merangkul dua identitas jender di karya seninya, contohnya tari Dwimuka.
Adapun setelah Orde Baru selesai, Didik mulai mengubah dramaturgi biner yang ia jalani menjadi praktik kesenian lintas budaya dan etnis. Menurut Afrizal, Didik menggunakan nalar artistik untuk melawan stigma identitas, lantas mendefinisikan ulang identitasnya melalui seni tari. Peran Didik dianggap signifikan dalam ranah multietnis dan jender.
”Perjalanan panjang Didik dalam lanskap pertunjukan tari Indonesia, yang memberi struktur pembentukan identitas Didik Nini Thowok sebagai metafora hantu identitas, merupakan riwayat dekonstruksi atas praktik rasis dan seksis. Didik menempuh nalar artistik dalam dekonstruksi itu,” tutur Afrizal.
Didik berterima kasih atas penghargaan yang ia peroleh. Ia terharu dan tidak banyak bicara saat menerima penghargaan. Untuk mengungkapkan rasa syukur, Didik melantunkan lagu yang ia ciptakan di kereta sehari sebelum menerima penghargaan.
Adapun para peraih penghargaan diberi trofi, sertifikat, serta uang sebesar Rp 100 juta. Adapun penghargaan Akademi Jakarta sempat dihentikan pada 2020 karena dananya dialihkan untuk penanganan pandemi Covid-19. Penghargaan kembali diberikan pada 2021 dengan penerima sastrawan Remy Sylado dan masyarakat adat Kinipan di Kalimantan Tengah.
Peristiwa 1965
Di sisi lain, kelompok paduan suara Dialita diberi penghargaan karena berperan dalam rekonsiliasi peristiwa 1965 melalui musik. Dialita (Di Atas Lima Puluh Tahun) merupakan kelompok paduan suara yang dibentuk pada 2011. Anggotanya adalah tahanan politik (tapol) perempuan atau penyintas dari peristiwa 1965, serta keluarga penyintas.
Dialita mengumpulkan dan mengaransemen kembali lagu-lagu yang diciptakan para tapol secara sembunyi-sembunyi di penjara. Lagu-lagu itu mengandung pesan kemanusiaan, kedamaian, dan solidaritas.
Penghargaan ini adalah bagian dari pemahaman Akademi Jakarta bahwa kebudayaan tidak lagi dipandang hanya sebagai kesenian, melainkan secara luas, yaitu segala bentuk pembermaknaan manusia atas dunianya.
Dialita berharap musiknya bisa mengingatkan masyarakat atas sejarah yang terlupakan. Di sisi lain, dengan bermusik, anggota Dialita bersama-sama menyembuhkan diri dari trauma masa lalu.
Anggota Akademi Jakarta, Melani Budianta, mengatakan, sebagian besar tapol perempuan dipaksa mengakui hal yang tidak mereka lakukan atau tidak mereka ketahui. Jika menyangkal, tapol bakal disiksa hingga dilecehkan. Di sisi lain, keluarga tapol turut dipersekusi hingga ke generasi setelahnya.
Kekerasan masih dialami tapol perempuan bahkan setelah dibebaskan. Kartu tanda penduduk mereka ditandai, gerak-gerik mereka diawasi, bahkan mereka wajib melapor secara berkala ke negara.
Hak tapol ataupun keluarganya sebagai warga negara tercabut. Mereka sulit bersekolah, bekerja, hingga mendapat perlindungan.
”Melalui seni paduan suara yang mengolah kembali lagu-lagu tapol dan kenangan penuh gejolak di era 60-an, Dialita membangun ingatan akan luka sejarah. Namun, itu bukan untuk terjebak di dalamnya, melainkan untuk penyembuhan seluruh bangsa secara bersama-sama,” tutur Melani.
Ketua Paduan Suara Dialita Uchikowati mengatakan, ini pertama kalinya mereka menerima penghargaan dari lembaga di Indonesia. Baginya, penghargaan ini ialah pengakuan atas perjuangan penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu.
”Dulu, kami adalah anak-anak yang tumbuh dalam stigma dan trauma. Perjalanan hidup kami mengajarkan bahwa dendam tidak pernah bisa menyelesaikan masalah. Dengan nyanyian, kami menyuarakan salam persahabatan dan perdamaian demi terwujudnya rekonsiliasi kultural dan sosial,” ujarnya.