Korporasi Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan Minim Vonis Pengadilan
Tidak semua korporasi penyebab karhutla masuk ke meja persidangan. Dari 50 korporasi yang diperiksa penyidik atas kejadian karhutla 2019 dan 2015, hanya 15 kasus yang telah divonis oleh pengadilan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Penanganan kasus kebakaran hutan dan lahan perlu terus dikawal. Hal ini karena tidak semua kasus diselidiki ataupun masuk ke meja persidangan. Tercatat dari 50 korporasi yang diperiksa penyidik atas kejadian karhutla 2019 dan 2015, hanya 15 kasus yang telah divonis oleh pengadilan.
Peneliti Auriga Nusantara, Sesilia Maharani Putri, mengemukakan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada 2019 merupakan kejadian terparah kedua dalam dua dekade terakhir dengan luas mencapai 1,6 juta hektar. Kebakaran tersebut melepaskan 708 juta ton emisi gas rumah kaca atau hampir dua kali lipat lebih besar dari kebakaran di sebagian hutan Amazon, Brasil.
Sesilia menjelaskan, data menunjukkan bahwa seluas 335.000 hektar atau sekitar 20 persen lokasi karhutla 2019 berada di area konsesi. Sementara kebakaran dalam area Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) hutan tanaman tercatat seluas 175.000 hektar atau 11 persen dari total kebakaran 2019.
Khusus untuk perdata, dari 22 perkara yang kami tangani, rata-rata prosesnya sampai ke peninjauan kembali.
Meski demikian, Sesilia mengatakan tidak semua korporasi atau pihak yang bertanggung jawab terhadap karhutla tersebut diselidiki ataupun masuk ke meja persidangan. Bahkan, setengah dari total korporasi tersebut tidak jelas perkembangannya atau dihentikan penyidikannya dan telah mendapat surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
”Berdasarkan kumpulan data dari pemberitaan media, organisasi nonpemerintah, kepolisian, hingga persidangan, terdapat 50 korporasi yang diperiksa penyidik atas kejadian karhutla 2019 dan 2015. Namun, hanya 15 kasus yang berakhir vonis,” ujarnya dalam diskusi daring tentang penanganan kasus karhutla 2019, Selasa (15/11/2022).
Menurut Sesilia, sampai sekarang 50 korporasi tersebut masih menghadapi proses penyidikan. Adapun rincian detail dari jumlah tersebut di antaranya 15 kasus divonis oleh pengadilan, 14 kasus tidak jelas perkembangannya, 19 kasus dihentikan penyidikan (SP3), serta masing-masing 1 kasus dalam proses penyidikan dan penuntutan.
Sementara dari 15 kasus yang sudah divonis oleh pengadilan, 9 kasus di antaranya yang ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa yakni korporasi. Kemudian, pihak yang ditetapkan sebagai tersangka dari 6 kasus lainnya ialah direktur atau manajer korporasi.
Berdasarkan rinciannya, 8 korporasi dituntut dengan Pasal 99 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang menyatakan adanya kelalaian hingga mengakibatkan kerusakan lingkungan. Adapun 1 korporasi dituntut Pasal 144 UU PPLH karena dianggap tidak melaksanakan paksaan pemerintah.
Adanya vonis dari pengadilan terhadap kasus tersebut juga tidak menimbulkan efek jera. Sebab, denda yang dibebankan kepada para tersangka cenderung ringan dan tidak ada kewajiban bagi korporasi untuk memulihkan lingkungan yang telah dirusak.
Selain itu, hukuman yang cenderung ringan juga masih diberikan kepada residivis meski dalam vonis pengadilan mereka beberapa kali terbukti menyebabkan karhutla. Padahal, seharusnya residivis mendapat hukuman yang lebih berat untuk efek jera karena mereka memiliki rekam jejak dalam menyebabkan kerusakan lingkungan.
”Dari catatan kami, dari 9 korporasi terdapat 4 kasus yang terbukti menyebabkan karhutla pada 2015 dan kembali mengulanginya pada 2019. Namun, hukuman untuk mereka cenderung rendah atau lebih ringan,” ungkap Sesilia.
Koordinasi
Koordinator Bidang Pidana Umum Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau Sunandar Pramono menyatakan, sejak 2015 sampai saat ini, terdapat 81 perkara karhutla yang ditangani Kejati Riau. Namun, dari jumlah tersebut, 73 perkara dilakukan oleh perorangan.
”Kami membuat forum koordinasi dengan berbagai pihak, seperti kepolisian, penyidik pegawai negeri sipil KLHK, dan dinas terkait. Hal ini dilakukan agar proses penegakan lingkungan hidup berjalan efektif mulai dari penuntutan hingga ke pengadilan,” ucapnya.
Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Jasmin Ragil Utomo mengatakan, terdapat 30 korporasi dalam penegakan hukum karhutla 2019 yang diberikan sanksi administratif. Selain itu, 319 korporasi juga langsung diberikan surat peringatan jika terdeteksi titik panas di area korporasi.
”Khusus untuk perdata, dari 22 perkara yang kami tangani, rata-rata prosesnya sampai ke peninjauan kembali. Dari jumlah tersebut, 17 perkara dimenangi KLHK dan 3 perkara kami kalah tetapi masih ada upaya hukum. Kemudian, 2 perkara lainnya masih dalam proses menunggu putusan,” katanya.