Penegakan Hukum Lingkungan Belum Memberikan Efek Jera
Upaya penguatan perlu dilakukan untuk memberikan efek jera bagi pelaku kerusakan lingkungan. Salah satu upaya penguatan itu dengan mengoptimalkan denda administratif sekaligus penambahan sanksi lainnya.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penegakan hukum lingkungan hidup saat ini diakui belum memberikan efek jera dan hanya menimbulkan efek kejut. Penguatan diperlukan untuk memastikan budaya kepatuhan terbangun bagi semua pihak, khususnya korporasi.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rasio Ridho Sani mengemukakan, langkah penegakan hukum lingkungan perlu terus dilakukan meski selama ini belum memberikan efek jera bagi para pelaku.
”Penegakan hukum merupakan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk memastikan terbangunnya budaya kepatuhan dan pengembalian kerugian yang diderita korban. Hal ini juga bisa meningkatkan kepercayaan publik pada pemerintah,” ujarnya dalam diskusi pojok iklim bertajuk ”Meningkatkan Budaya Ketaatan Kegiatan Usaha melalui Penegakan Hukum” di Jakarta, Rabu (24/8/2022).
Rasio menyampaikan, Ditjen Gakkum KLHK selama beberapa tahun terakhir menangani 1.258 kasus pidana lingkungan hidup dan kehutanan. Ditjen Gakkum KLHK juga memfasilitasi polisi dan jaksa untuk 261 kasus. Selain itu, Ditjen Gakkum KLHK melakukan pengawasan perusahaan sebanyak 2.029 kasus.
Banyak tindakan kerusakan lingkungan atau kawasan hutan terjadi karena adanya niat jahat dari para pelaku yang ingin mendapat keuntungan finansial.
Ditjen Gakkum juga telah memberikan sanksi administratif untuk 2.382 kasus, melayangkan 31 gugatan perdata, dan menyelesaikan 224 kesepakatan di luar pengadilan. Sementara operasi di kawasan hutan sebanyak 1.839 kegiatan.
Meski demikian, Rasio mengakui bahwa sampai sekarang masih ditemui sejumlah tantangan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Salah satu tantangan tersebut terkait dengan rendahnya kesadaran masyarakat ataupun korporasi dalam melindungi dan mengelola lingkungan. Di samping itu, kepatuhan korporasi juga belum optimal.
”Kami melihat banyak tindakan kerusakan lingkungan atau kawasan hutan terjadi karena adanya niat jahat dari para pelaku yang ingin mendapat keuntungan finansial. Inilah tantangan yang setiap hari kami hadapi dan perlu ditangani sebaik-baiknya,” tuturnya.
Rasio menekankan, upaya penguatan instrumen dan ekosistem ini perlu dilakukan untuk memastikan penegakan hukum lingkungan hidup berjalan secara efektif. Upaya penguatan ini tidak hanya dari aspek pidana, tetapi juga sanksi administratif, penyelesaian sengketa, hingga pencegahan, termasuk polisional, pengawasan, dan perizinan.
”Penguatan instrumen ini juga perlu didukung sistem lainnya, seperti pengelolaan sumber daya manusia yang berintegritas, profesional, responsif, dan inovatif. Hal yang tidak kalah penting, sistem dukungan pengambilan keputusan melalui big data, kecerdasan buatan, teknologi, forensik, dan dukungan ahli,” katanya.
Direktur Pengaduan, Pengawasan, dan Sanksi Administrasi KLHK Vinda Damayanti mengatakan, tantangan penegakan hukum lingkungan di Indonesia tidak terlepas dari standar kompetensi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang beragam, baik di pusat maupun daerah.
Menurut Vinda, beragamnya standar kompetensi ini mengakibatkan keakuratan dan kualitas pengawasan lingkungan hidup di pusat dan daerah menjadi berbeda-beda. Bahkan, hal ini dinilai membuat komitmen perusahaan dalam pelaksanaan sanksi administratif menjadi tidak optimal.
”Kemudian sekarang masih kurang sosialisasi peraturan baru terhadap perusahaan. Sampai saat ini masih ada perusahaan yang tidak paham atau tidak tahu adanya peraturan baru yang terbit setelah Undang-Undang Cipta Kerja,” katanya.
Mengoptimalkan denda
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) Raynaldo Sembiring memandang, salah satu upaya untuk memberikan efek jera kepada para perusak lingkungan adalah dengan mengoptimalkan denda administratif. Denda ini juga perlu dikombinasikan dengan sanksi administratif lainnya, seperti paksaan pemerintah.
”Denda administratif itu konteksnya bukan sanksi akhir. Jadi, pelaku dimungkinkan mendapat sanksi kembali, seperti pencabutan izin atau penegakan hukum pidana,” ucapnya.
Raynaldo menegaskan, denda administratif ataupun ancaman sanksi bagi para pelaku harus lebih besar dari keuntungan yang diperoleh dengan cara merusak lingkungan. Sebab, para pelaku akan cenderung melakukan kegiatan yang merusak lingkungan kembali apabila sanksi yang diterima jauh lebih rendah dibandingkan dengan keuntungan yang didapat.