Dari Aurora Warna-warni hingga Putusnya Radio
Dua pekan terakhir, aktivitas Matahari meningkat hingga memicu suar dan ledakan. Peristiwa itu menimbulkan aurora merah muda di Norwegia, aurora biru di Swedia, serta putusnya sinyal radio di Selandia Baru dan Australia.
Aktivitas Matahari sedang dalam fase meningkat menuju puncak siklus 11 tahunan yang diperkirakan akan terjadi tahun 2025. Beberapa hari terakhir, peningkatan aktivitas Matahari itu memunculkan aurora merah muda di Norwegia, aurora biru di Swedia, serta putusnya jaringan komunikasi radio di seluruh Selandia Baru dan sebagian Australia.
Pemantauan permukaan Matahari yang dilakukan sejak tahun 1775 menunjukkan bintik hitam (black spot) yang muncul di permukaan Matahari selama beberapa tahun terakhir terus meningkat. Hingga jelang akhir 2022, jumlah bintik Matahari yang muncul jauh melebihi perkiraan para ilmuwan Matahari.
”Aktivitas Matahari dengan cepat meningkat dan sudah melebihi prediksi. Namun, ini belum mencapai tingkat puncak dari siklus tersebut,” kata Direktur Divisi Heliofisika (Fisika Matahari) Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA) Nicola Fox seperti dikutip Forbes, 2 Agustus 2022.
Peningkatan aktivitas Matahari itu memiliki siklus 11 tahunan. Artinya, jarak antara puncak aktivitas maksimum ke titik terendah aktivitas Matahari itu sekitar 11 tahun. Puncak aktivitas maksimum ditandai dengan jumlah bintik hitam terbanyak, sedangkan titik terendah aktivitas Matahari dilihat dari jumlah bintik hitam paling sedikit.
Sejak Desember 2019, Matahari memasuki siklus Matahari ke-25, yaitu saat aktivitas Matahari mencapai titik terendahnya. Puncak siklus ini diperkirakan akan terjadi pada pertengahan periode 11 tahunan, atau sekitar November 2024 dan Maret 2026. Lebih mengerucut lagi, aktivitas maksimum Matahari itu akan terjadi pada Juli 2025.
Space Weather, 25 April 2022, memperkirakan akan terdapat 125 bintik Matahari yang teramati. Jumlah bintik Matahari pada siklus ke-25 itu diprediksi lebih tinggi dari puncak siklus ke-24 pada April 2014 sebanyak 115 bintik Matahari, tetapi masih lebih rendah dari puncak siklus ke-23 pada Maret 2000 sebanyak 180 bintik Matahari.
Peningkatan aktivitas Matahari itu akan meningkatkan terjadinya flare atau suar Matahari yang dihasilkan dari ledakan di permukaan Matahari, semburan gas Matahari (filamen atau prominensa), dan lontaran material korona (coronal mass ejection/CME).
Aurora merah muda ini adalah fenomena langka. Aurora umumnya berwarna hijau karena partikel energetik itu berinteraksi dengan atom-atom oksigen.
Dalam kondisi normal, seperti dikutip Kompas, 10 Maret 2011, Matahari akan melepaskan partikel bermuatan secara terus menerus ke luar angkasa. Saat aktivitas Matahari meningkat, pelepasan partikel bermuatan itu juga akan meningkat hingga menimbulkan badai Matahari. Jika badai itu mengarah ke Bumi, lingkungan Bumi akan terdampak.
Namun, badai Matahari itu tidak akan berdampak langsung pada manusia. Badai itu akan berpengaruh besar pada teknologi manusia, mulai aneka jenis satelit, seperti satelit komunikasi, penentuan posisi atau navigasi, hingga stasiun luar angkasa. Karena itu, aktivitas antariksawan di luar stasiun luar angkasa atau spacewalk akan dilarang saat terjadi badai Matahari.
Badai Matahari yang sangat memengaruhi cuaca antariksa itu juga bisa memutus jaringan komunikasi radio di Bumi, memadamkan jaringan listrik, hingga memicu munculnya aurora. Namun, untuk berbagai gangguan dan munculnya aurora itu umumnya hanya dirasakan oleh penduduk yang tinggal di daerah lintang tinggi alias di dekat kutub.
Aurora cantik
Badai Matahari itu kembali terjadi pada Kamis, 3 November 2022. Menurut laporan Space Weather, badai yang terjadi termasuk kelas G1 atau minor. Namun, badai ini tetap bisa mengganggu operasional satelit di luar angkasa serta memicu terjadinya aurora di daerah lintang tinggi.
Namun, badai itu membuat medan magnet Bumi tidak stabil hingga terjadi retakan. Akibatnya, partikel energetik dalam badai Matahari berhasil masuk dan menembus atmosfer atas Bumi hingga ketinggian 100 kilometer (km) sampai 300 km dari permukaan Bumi. Partikel energetik itu memanaskan gas hingga memunculkan aurora merah muda yang bisa diamati di Tromso, Norwegia bagian utara.
Pemandu wisata cahaya utara di Tromso, Markus Varik, kepada Livescience, Selasa (8/11/2022), mengatakan, aurora itu muncul sekitar pukul 18.00 dan berlangsung selama 2 menit. Setelah itu, aurora hijau yang kuat berlangsung sepanjang malam.
”Ini adalah aurora merah muda terkuat yang pernah saya lihat dalam satu dekade memimpin tur wisata. Ini pengalaman yang menakjubkan,” katanya.
Aurora merah muda ini adalah fenomena langka. Aurora umumnya berwarna hijau karena partikel energetik itu berinteraksi dengan atom-atom oksigen. Sementara aurora merah muda terjadi ketika partikel energetik bertumbukan dengan atom-atom nitrogen yang banyak terdapat di atmosfer pada ketinggian kurang dari 100 km.
Baca juga: Aurora Tidak Hanya Terlihat di Bumi
Tak hanya itu, badai Matahari G1 itu berlangsung hingga Jumat, 4 November, dan Sabtu, 5 November 2022. Kondisi itu terjadi karena Bumi dalam perjalanannya mengelilingi Matahari akan melintasi wilayah di luar angkasa yang terpapar badai Matahari. Badai itu akhirnya memicu aurora pita biru yang terlihat di Lapland, utara Swedia.
”Ini tidak seperti aurora yang pernah saya lihat,” kata Chad Blakley, Direktur Lights Over Lapland, perusahaan pemandu wisata disana seperti dikutip Space Weather.
Namun, ahli fisika luar angkasa dari Universitas Boston, Amerika Serikat, Toshi Nishimura, yang menyaksikan video aurora biru itu ragu jika cahaya pita biru yang terlihat adalah aurora. ”Kelihatannya sangat aneh jika itu aurora. Satu busur aurora seharusnya tidak memotong busur aurora lain. Jadi sulit untuk menjelaskan cahaya biru ini dari sudut pandang fisika aurora,” katanya.
Karena itu, cahaya biru itu juga diduga sebagai bekas roket Rusia. Sejak akhir Oktober 2022, Rusia melakukan latihan penembakan peluru kendali atau rudal balistik antarbenua (ICBM) di Laut Barents, laut di utara Rusia, Finlandia, Swedia dan Norwegia, dengan kapal penjelajah rudal bertenaga nuklir. Namun, warga Abisko di utara Swedia mengatakan tidak ada penduduk yang menyaksikan benda melesat di atas udara kota itu sebelum pita cahaya biru muncul.
Lihat juga: Rusia Serang Asrama di Kharkiv dengan Rudal Balistik
Namun, sejumlah ahli masih menyelidiki pita cahaya biru itu berdasarkan dokumentasi yang ada. Penyelidikan itu dimaksudkan untuk menentukan ketinggian cahaya tersebut hingga bisa menentukan apakah cahaya itu memang aurora atau bukan.
Sinyal radio
Tak hanya menimbulkan aurora yang indah, meningkatnya aktivitas Matahari juga memicu putusnya sinyal komunikasi radio untuk beberapa saat di seluruh Selandia Baru dan sebagian Australia pada awal pekan lalu
Observatorium Dinamika Matahari (SDO) NASA pada Minggu merekam terjadinya flare atau suar Matahari pada Minggu (6/11/2022) pukul 19.11 waktu pantai timur AS atau Senin (7/11/2022) pukul 7.11 WIB. Suar berkekuatan menengah itu terjadi tiba-tiba hingga Space Weather meminta maaf karena sebelumnya tidak ada peringatan potensi terjadinya suar.
”Suar ini impulsif,” tulis Space Weather yang memantau aktivitas Matahari.
Suar yang terjadi saat itu termasuk kelas M5. Secara umum, suar dikelompokkan menjadi lima tipe dari yang paling rendah ke yang paling tinggi adalah A, B, C, M, dan X. Kekuatan suar pada setiap tipenya mencapai 10 kali lebih tinggi dibandingkan kelas sebelumnya. Suar kelas M5 dikelompokkan sebagai suar kelas menengah yang bisa memutus sinyal radio di daerah sekitar kutub Bumi dan badai radiasi skala minor.
Suar itu muncul setelah terjadinya ledakan di sekitar bintik hitam AR3141 di permukaan Matahari. Selain suar, ledakan bintik hitam itu juga disertai lontaran masa korona (CME) dan gelombang radiasi.
Saat radiasi itu mencapai Bumi, khususnya sinar X dan sinar ultraviolet, dia akan mengionisasi atom-atom di atmosfer atas Bumi. Lapisan atmosfer yang atom-atomnya terionisasi itu tidak bisa memantulkan gelombang radio frekuensi tinggi. Akibatnya, sinyal radio yang dipancarkan dari Bumi tidak bisa diteruskan atau ditransmisikan ke penerima di tempat lain.
Baca juga: Kamis, 14 April 2022, Badai Geomagnetik Kecil Menghantam Bumi
Padamnya jaringan komunikasi radio itu akan lebih dirasakan oleh penduduk yang ada di wilayah yang masih mendapat sinar Matahari atau hari terang selama suar atau flare Matahari terjadi.
Pusat Prediksi Cuaca Antariksa (SWPC) Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional AS (NOAA) menyebut tingkat keparahan padamnya jaringan komunikasi itu dikelompokkan dari kelas R1 (minor), R2 (moderat/sedang), R3 (kuat), R4 (berat), dan R 5 (ekstrem).
Padamnya komunikasi radio yang terjadi di Selandia Baru dan sebagian Australia awal pekan lalu itu masuk R2 atau sedang alias sesuai dengan kelas suar yang terjadi, yaitu M5.
Potensi munculnya bintik Matahari yang meningkatkan risiko terjadinya suar Matahari dan badai Matahari itu akan terus terjadi hingga tahun 2025. Karena itu, pemantauan cuaca antariksa perlu lebih diintensifkan guna meminimalkan risiko yang ditimbulkan oleh peningkatan aktivitas Matahari tersebut bagi kehidupan dan teknologi Bumi.