Melalui penelitian terbaru, sejumlah peneliti yang baru-baru ini dicekal KLHK mengungkapkan, orangutan di Indonesia. dianiaya, diperdagangkan, dan dibunuh. Namun, sebagian besar pelakunya lolos dari hukuman.
Oleh
AHMAD ARIF
·6 menit baca
Sejumlah peneliti yang baru-baru ini dicekal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengungkapkan fakta mengenaskan tentang keberadaan orangutan di Indonesia. Melalui penelitian terbarunya, mereka menunjukkan, orangutan di Indonesia dianiaya, diperdagangkan, dan dibunuh, tetapi sebagian besar pelakunya lolos dari hukuman.
Hasil penelitian ini dipublikasikan tim peneliti internasional di jurnal Biological Conservation edisi 4 November 2022 dengan penulis pertama Direktur Wildlife Impact Julie Sherman. Turut menulis MariaVoigt (Wildlife Impact), Serge Wich (Liverpool Universitas John Moore), MarcAncrenaz (Pongo Alliance), EricaLyman (Lewis & Clark Law School), EmilyMassingham (University of Queensland), dan Erick Meijaard (Boreno Future dan University of Queensland). Selain itu, ada juga Indira N Qomariah dari Centre for Orangutan Protection (COP), Jakarta, yang turut dalam penulisan ini.
Dari deretan peneliti ini, empat di antaranya termasuk yang dicekal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dalam surat yang mengatasnamakan Menteri LHK, Siti Nurbaya dan ditandatangani pelaksana tugas Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Bambang Hendroyono pada 14 September 2022, memerintahkan para pejabat taman nasional dan balai konservasi untuk tak memberikan pelayanan dan permohonan kerja sama kegiatan konservasi kepada Erik Meijaard, Julie Sherman, Marc Ancrenaz, Hjalmar Kuhl, dan Serge Wich.
Relatif sedikit kejahatan yang melibatkan perdagangan internasional.
Bagian awal surat itu menyebutkan, Meijaard dan kawan-kawannya telah membuat publikasi secara nasional maupun internasional tentang satwa liar, dalam hal ini orangutan, yang dianggap negatif dan dapat mendeskreditkan Pemerintah Indonesia.
Dalam diskusi daring yang diselenggarakan Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Kamis (27/10/2022) lalu, Meijaard mengatakan, tidak pernah mendapatkan surat resmi mengenai pencekalannya dari KLHK. Dia juga tidak mengetahui alasan pencekalan itu, sekalipun menduga hal itu terkait tulisan opininya di The Jakarta Post (Kompas, 28 Oktober 2022).
Dalam tulisan opini ini, Meijaard mengkritik klaim Siti Nurbaya seputar populasi orangutan yang terus bertambah serta kian menjauh dari kepunahan. Dia merujuk sejumlah penelitian ilmiah di Nature (2017), Current Biology (2018), dan Current Biology (2022), yang menunjukkan bahwa populasi ketiga spesies orangutan telah menurun dalam beberapa dekade terakhir dan tidak ada populasi yang tumbuh.
Sejauh ini, KLHK masih bungkam terkait pencekalan ini. Mereka tidak datang saat diundang diskusi oleh KIKA. Sebelumnya, ketika dimintai tanggapan, Plt Dirjen KSDAE Bambang Hendroyono hingga Kepala Biro Humas KLHK Nunu Anugerah juga tidak merespons (Kompas.id, 23/9/2022).
Namun, melalui surat pembaca yang ditulis Nunu Anugerah ke The Jakarta Post pada Senin, (26/9/2022), KLHK menyebutkan, populasi orangutan justru meningkat. Pemantauan di 24 lokasi di Sumatera dan Kalimantan menunjukkan, dari 1.441 orangutan tahun 2014 menjadi 2.431 pada tahun 2022.
Surat pembaca ini merespons tulisan Meijaard di koran itu pada 15 September 2022. Menurut Nunu, analisis Meijaard dan kawan-kawan didasarkan pada pemodelan dan interpolasi yang didasarkan pada informasi yang sudah kedaluwarsa.
Sementara itu, dalam diskusi daring, Meijaard mengatakan, Pemerintah Indonesia telah melakukan banyak progres terkait konservasi, khususnya menurunnya laju deforestasi. Tetapi, dia sangat yakin dengan data yang dimilikinya bahwa kondisi orangutan di Indonesia kian terancam. Dia juga menegaskan siap beradu data dan metodologi dengan KLHK.
Nasib orangutan
Dalam kajian terbaru kali ini, Julie dan tim menyebutkan, tingkat kejahatan tahunan terhadap orangutan tidak menurun secara keseluruhan selama masa studi pada tahun 2007 hingga 2019. Meskipun perlindungan hukum terhadap kejahatan terkait orangutan sudah ada sejak tahun 1932, hanya 0,9 persen kejahatan yang dilaporkan selama masa studi ini yang berujung pada hukuman.
Hanya sebagian kecil dari pembunuhan orangutan yang sebenarnya—kemungkinan besar kurang dari 10 persen—yang terdeteksi. Berdasarkan pada tingkat pembunuhan yang dilaporkan untuk setiap spesies orangutan, para peneliti memperkirakan rata-rata 5,1 persen orangutan di Kalimantan Indonesia dan 14,3 persen orangutan di Sumatera mati karena ulah manusia dari 2017 hingga 2019.
”Tingkat pembunuhan ini jauh melebihi 1-2 persen kematian perburuan ambang batas yang diperkirakan akan mendorong populasi orangutan menuju kepunahan,” sebut Sherman.
Menurut Sherman, perdagangan ilegal lokal untuk hewan peliharaan menyumbang mayoritas kejahatan terhadap orangutan. ”Relatif sedikit kejahatan yang melibatkan perdagangan internasional, yaitu 0,4 persen dari kejahatan yang memengaruhi orangutan di Kalimantan, dan 4,3 persen dari mereka yang memengaruhi orangutan Sumatera dan Tapanuli,” kata dia.
Penelitian juga menemukan, daerah yang tidak dilindungi memiliki angka kejahatan tertinggi secara keseluruhan, tetapi kejahatan juga tercatat di kawasan lindung. Kejahatan di Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera, benteng pertahanan Sumatera populasi orangutan, misalnya, meningkat antara 2007 dan 2019.
Menurut para peneliti ini, salah satu alasan tingkat kejahatan begitu tinggi mungkin karena mayoritas habitat orangutan tidak dipatroli untuk mencegah perburuan. Praktik terbaik global untuk mencegah perburuan liar di kawasan lindung membutuhkan 3-11 petugas per 100 kilometer persegi. Di taman nasional di Indonesia hanya memiliki 0,28-2,11 petugas per 100 kilometer persegi.
”Beberapa situs dengan status lindung formal atau dengan program konservasi jangka panjang yang mencakup patroli jagawana, pemantau masyarakat, atau kehadiran peneliti reguler bersama dengan masyarakat setempat program tampaknya memiliki tingkat kejahatan yang lebih rendah atau menurun,” kata Serge Wich.
Profesor hukum klinis Erica Lyman menyatakan, ”Rasa impunitas akan selalu merusak supremasi hukum. Anda dapat memiliki hukum terkuat, tetapi tanpa penegakan, hal itu tidak ada artinya. Semua kejahatan terkait orangutan, baik pembunuhan, perdagangan hewan peliharaan, atau pembukaan habitat, harus diselidiki dan sanksi rasional harus diterapkan untuk mencegah masa depan kejahatan.”
Pedoman hukuman rasional diperlukan untuk menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan, terutama persepsi bahwa orangutan lebih dihargai daripada manusia. Namun, Sherman mengingatkan ada perbedaan penting dalam keadaan kejahatan terkait orangutan.
”Otoritas publik yang memelihara orangutan sebagai hewan peliharaan, dan perkebunan industri yang melakukan penebangan liar atau membiarkan pembunuhan orangutan harus mendapat sanksi yang lebih tegas, sementara penduduk desa miskin yang berusaha melindungi tanaman pangan mereka dari perburuan satwa liar mungkin membutuhkan dukungan yang lain sehingga memungkinkan koeksistensi dengan orangutan,” katanya.
Dalam kajian ini, sebagian besar kejahatan terhadap orangutan yang diidentifikasi dilaporkan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) termasuk pusat penyelamatan orangutan, proyek konservasi, dan program penelitian. Hal ini menunjukkan peran penting LSM dalam mendeteksi kejahatan orangutan dan mengembangkan program dengan masyarakat lokal yang memfasilitasi perlindungan orangutan dan habitatnya.
Sebagaimana diingatkan, ahli hukumUniversitas Gadjah MadaHerlambang Wiratraman, hasil kajian ilmuan, baik yang dipublikasikan di jurnal ilmiah maupun di media massa populer berdasarkan data yang sahih sesuai keahliannya, tidak boleh jadi dasar pencekalan. Pilar pertama kebebasan akademik adalah kebebasan berbicara dan itu sudah ada dalam Konvenan Hak Sosial Ekonomi dan Budaya Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kalaupun memang ada perbedaan data dan metodologi, Herlambang menyarankan agar semua pihak duduk bersama dan mendiskusikannya. Publik berhak mendapatkan data yang bisa dipercaya berdasar sains demi perlindungan dan pelesetarian orangutan.