Antisipasi Trauma Sekunder pada Pekerjaan Berisiko
Trauma sekunder banyak dialami oleh mereka yang bekerja pada ranah kesehatan mental. Jika tidak ditangani, dampak trauma sekunder akan bisa sama dengan trauma langsung.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Trauma sekunder perlu diantisipasi dan ditangani pada pekerjaan yang banyak berhubungan dengan pelayanan kesehatan mental. Penanganannya berupa melakukan konseling, menjaga jarak dengan sumber trauma, dan membangun lingkungan yang suportif.
Psikolog klinis Nirmala Ika Kusumaningrum, Minggu (6/11/2022), mengatakan, trauma sekunder (secondary trauma) merupakan kondisi ketika seseorang tidak mengalami trauma secara langsung, tetapi terus-menerus terpapar isu atau trauma dari orang lain. Trauma sekunder ini umumnya terjadi pada pekerjaan yang berhubungan dengan penanganan kesehatan mental, seperti psikolog, psikiater, konselor korban kekerasan, serta petugas kebencanaan.
Tidak hanya pada jenis pekerjaan tersebut, trauma sekunder juga bisa dialami pekerja kemanusiaan yang mengurus kejadian traumatis, seperti perdagangan orang, korban penggusuran, serta anak yang ditelantarkan. Termasuk juga dalam hal ini para jurnalis yang meliput kejadian traumatis dan perawat yang mengurus kondisi pasien gawat darurat.
Kesehatan mental pekerja merupakan tanggung jawab pemberi kerja. Di beberapa tempat sudah ada yang memiliki sistem ini, tetapi perlu dipantau layanannya.
”Ciri dari trauma sekunder adalah merasakan reaksi trauma yang sama dialami oleh klien secara langsung. Trauma sekunder ini bisa bermula dari kelelahan emosional, khususnya terpapar atau mendampingi kasus-kasus traumatis,” katanya.
Nirmala menceritakan, ia pernah mengalami trauma sekunder ketika mendampingi para keluarga korban kasus pengeboman yang banyak terjadi tahun 2003-2004. Dalam kasus pengeboman di Kuningan, Jakarta Selatan, pada 2004, bom diletakkan di dalam mobil boks. Ia merasakan reaksi trauma yang sama seperti dialami keluarga korban pengeboman, yaitu ketakutan melihat mobil boks.
”Ketika menyetir mobil di jalan tol, saya sangat takut dan panik ketika tidak bisa menghindari mobil boks. Padahal, mobil boksnya tidak melakukan apa-apa. Dari sini saya merasa ada yang tidak beres karena saya tidak pernah ada pengalaman buruk dengan mobil boks,” tuturnya.
Setelah mengalami ini, Nirmala kemudian bercerita kepada koleganya yang juga sadar mengenai kesehatan mental, termasuk kerentanan trauma sekunder pada pekerjaannya. Mereka kemudian berupaya mencari solusi atas masalah ini, seperti memberikan waktu dan ruang bagi Nirmala untuk istirahat atau meminta orang lain untuk menggantikan pekerjaannya untuk sementara.
Menurut dia, lingkungan kerja yang sadar mengenai kesehatan mental akan segera mencari solusi yang cepat ketika pekerjanya mengalami trauma sekunder. Di luar sana, banyak orang yang mengalami trauma sekunder, tetapi tidak menyadarinya. Hal ini karena mereka menganggap apa yang mereka rasakan sebagai sesuatu yang biasa saja.
Tingkat keparahan seseorang yang terpapar trauma ini berbeda-beda. Menurut Nirmala, hal ini bergantung pada pengayaan dan refleksi seseorang akan suatu kasus, karakter individu, serta pengalaman di masa lalu yang bisa menjadi pemicu. Aspek-aspek ini akan memengaruhi seberapa besar dampak dan solusi apa yang harus dilakukan.
”Dampak dari trauma sekunder bisa sama seperti trauma langsung, seperti mimpi buruk, gelisah, kehilangan nafsu makan, dan reaksi trauma lainnya. Oleh karena itu, trauma sekunder harus segera ditangani dengan segera menghubungi pihak profesional, seperti psikolog atau psikiater, untuk konseling,” katanya.
Konselor Rifka Annisa Women Crisis Centre, Yogyakarta, Siti Darmawati, yang dihubungi secara terpisah juga menceritakan pernah mengalami trauma sekunder ketika menjadi sukarelawan bencana tsunami dan gempa Aceh pada 2004. Ia menuturkan, pengalaman trauma sekunder tidak terjadi saat ia menjadi konselor yang banyak menangani kasus-kasus kekerasan di Rifka Annisa, tetapi di tempat lain.
”Saya menjadi sukarelawan satu bulan setelah terjadi bencana, kondisi orang-orang di sana masih sangat trauma. Saya ikut terpapar macam-macam traumanya, seperti ikut takut dan khawatir terjadi gempa susulan atau ketakutan melihat laut. Padahal, saya tidak merasakan kondisi gempa dan tsunaminya langsung. Perasaan ini sangat berbeda ketika saya merasakan gempa di Yogyakarta pada 2006, saya bahkan cenderung lebih tenang saat itu,” cerita Siti.
Perasaan khawatir dan ketakutan ini membuat Siti tidak nyaman ketika beraktivitas menjadi sukarelawan selama satu bulan. Kemudian dia berupaya untuk mengelola pikiran dengan mengingat bahwa apa yang dia lakukan adalah upaya untuk memberi dukungan pada korban bencana. ”Saya merasa lebih baik ketika pulang dan istirahat,” ujarnya.
Berjarak
Menurut dia, cara paling efektif untuk mengatasi kelelahan emosional dan trauma sekunder adalah berjarak dari pemicunya. Hal ini bisa dilakukan dengan mengambil jeda untuk tidak berhadapan dengan kasus tersebut serta melakukan konseling. Upaya ini perlahan akan menghilangkan trauma, walaupun dalam beberapa kasus membutuhkan terapi penyembuhan trauma (trauma healing).
Siti menceritakan, ia pernah mengambil jeda selama tujuh tahun dari kariernya sebagai konselor berbagai macam korban kekerasan karena kelelahan secara emosional. Ia kemudian berpindah ke divisi media, meskipun sesekali ia juga menangani klien korban kekerasan.
”Berjarak dan mengambil jeda itu penting. Berjarak bukan berarti berpindah sepenuhnya dari profesi kita. Bisa jadi tetap di area yang sama, tetapi mengupayakan agar intensitas keterpaparannya berkurang,” ujarnya.
Lingkungan pendukung
Lingkungan pendukung, seperti rekan kerja yang paham kesehatan mental, juga sangat membantu dalam menangani kelelahan emosional dan trauma sekunder. Siti mengatakan, banyak kerja pelayanan kesehatan mental yang tidak bisa dilakukan sendiri.
”Memiliki ruang aman untuk bercerita atau mendengarkan tanpa takut mendapat stigma dan prasangka dapat menjadi sistem pendukung yang baik manakala seseorang mengalami kelelahan emosional,” katanya.
Rifka Annisa merupakan salah satu lembaga yang memiliki konselor untuk membantu konselor lain ketika merasakan kelelahan emosional. Para konselor dapat bercerita apa pun untuk mengurai perasaan dan emosi mereka kepada konselor pembantu ini. Selain itu, Rifka Annisa sering mengadakan acara rekreasi dan aktivitas penyembuhan untuk para anggotanya agar mengurangi tekanan pekerjaan.
”Perlu juga ada pembatasan sesi per harinya, misal satu orang menangani dua klien sehari. Hal ini dilakukan agar para konselor tidak terbebani dan memiliki waktu istirahat yang cukup,” tambahnya.
Dokter residen jiwa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Kemal Luthfan Hindami, menuturkan, sistem yang memantau kesehatan mental pekerja diperlukan pada semua jenis pekerjaan, tidak hanya pada pekerjaan yang berhubungan langsung dengan kesehatan mental.
”Kesehatan mental pekerja merupakan tanggung jawab pemberi kerja, salah satunya karena memengaruhi produktivitas. Di beberapa tempat sudah ada yang memiliki sistem ini, tetapi perlu juga dipantau layanannya. Pemantauan perlu dilakukan secara berkala sebelum timbul masalah pada pekerja,” ujarnya.
Kemal mengatakan, saat ini di tempatnya bekerja belum ada sistem pemantauan kesehatan mental. Alhasil, banyak sejawatnya yang mencari bantuan profesional secara mandiri apabila mengalami kelelahan secara emosional. Hal ini menyebabkan mereka mengerahkan sumber daya pribadi dan waktu, walaupun memang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sudah menanggung biaya untuk konseling kejiwaan.