Penanganan dan pencegahan HIV menghadapi berbagai tantangan di lapangan, antara lain putus obat karena berbagai alasan dan kriminalisasi kondom oleh penegak hukum.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Putus obat menjadi salah satu tantangan dalam penanganan HIV. Banyak hal yang menjadi penyebabnya, seperti bosan, efek samping, dan faktor ekonomi yang terpukul saat pembatasan mobilitas akibat pandemi Covid-19 diberlakukan.
Fatmi (37), orang dengan HIV dari Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), Jumat (4/11/2022), mengatakan, dirinya pernah putus mengonsumsi obat HIV ketika hamil. Saat itu, ia mengalami morning sickness yang parah. Setiap kali minum obat antiretroviral (ARV), ia mual parah sehingga makanan sulit masuk dan kepala juga pusing. Akhirnya, ia putus obat selama delapan bulan.
”Awal berhenti (minum) obat enggak apa-apa, tetapi lama-lama jadi gampang sakit dan capek,” kata Fatmi. Setelah melahirkan, ia pun kembali konsumsi obat HIV-nya secara teratur.
Orang dengan HIV lainnya dari Lombok Barat, Zahra (23), bercerita, dirinya juga pernah terputus mengonsumsi obat HIV selama delapan bulan saat sedang pisah rumah dengan suaminya. ”Saat itu saya tidak merasakan apa-apa. Hanya lebih kurus saja,” ujarnya.
Beberapa bulan setelah tinggal bersama suaminya lagi, Zahra hamil. Saat itulah ia kembali mengonsumsi obat ARV karena khawatir ada masalah dengan kesehatannya dan kesehatan janinnya. Hingga kini ia rutin mengonsumsi ARV.
Dampak ekonomi dari pandemi Covid-19 juga berisiko membuat orang dengan HIV putus obat. Wahyuni (22), orang dengan HIV dari Kota Mataram, NTB, mengatakan, saat pandemi, pemasukan suaminya yang bekerja di bengkel sepeda motor anjlok drastis. Sementara dia sendiri tidak bekerja.
”Sampai kadang kami tidak makan. Nasi ada, tetapi lauknya tidak ada. Mertua akhirnya mengirimi kami uang, tetapi itu pun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” kata Wahyuni.
Kondisi ekonomi yang terbatas dan pembatasan mobilitas selama pandemi Covid-19 membuat Wahyuni tidak memiliki cukup uang untuk biaya transportasi mengambil obat HIV di layanan kesehatan. Untuk mengambil obat, ia dan suami akhirnya meminjam sepeda motor tetangga dengan alasan mau belanja ke pasar.
Alasan ke pasar ia lontarkan karena masih takut akan mendapat stigma dari orang-orang sekitarnya. ”Saya memang tidak terbuka soal status saya ke banyak orang,” ujar Wahyuni.
Awal berhenti obat enggak apa-apa, tetapi lama-lama jadi gampang sakit dan capek.
Wahyu dan sejumlah orang dengan HIV lainnya di NTB akhirnya dibantu UNFPA untuk mengakses ARV selama pembatasan mobilitas akibat pandemi berlaku agar mereka tidak putus berobat.
Direktur Yayasan Inset Himawan Afrian menyampaikan, selain putus obat, tantangan penanggulangan HIV lainnya, terutama pada pekerja seks perempuan, adalah mobilitas pekerja seks antardaerah yang cepat.
”Penelusuran pekerja seks yang berpindah ini jadi tantangan. Mereka kadang terkait tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Ada pihak yang mengatur atau membawa mereka berpindah dari satu daerah ke daerah lain,” tutur Afrian.
Selama ini, Yayasan Inset mendampingi sejumlah kelompok berisiko dalam isu kesehatan reproduksi, HIV, dan kekerasan perempuan di beberapa provinsi, termasuk NTB.
Kriminalisasi kondom
Dalam upaya mencegah HIV secara umum, satu hal yang kerap menjadi dilema di NTB, ujar pendamping lapangan dari Yayasan Inset, Indra Marta, yaitu aparat penegak hukum sering menjadikan kondom sebagai bukti adanya prostitusi.
Padahal, pemerintah daerah, termasuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), sering menyuplai kondom kepada mereka di kelompok berisiko melalui jejaring organisasi masyarakat sipil pegiat HIV.
Analis Program HIV UNFPA Indonesia, Oldri Sherli, menyampaikan, kriminalisasi kondom memang sering ditemui di banyak tempat. Hal ini menjadi ironi dalam pencegahan HIV dan infeksi menular seksual lainnya. ”Siapa pun yang membawa kondom akhirnya bisa dikriminalkan. Padahal, kondom berfungsi ganda, yaitu untuk mencegah HIV dan infeksi menular seksual serta sebagai salah satu alat kontrasepsi dalam program keluarga berencana,” katanya.
Menurut Oldri, kriminalisasi kondom ini terjadi akibat biasnya peraturan di tingkat daerah. Oleh karena itu, UNFPA dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melakukan advokasi ke pemerintah daerah perihal ini.
Sementara itu, Afrian menambahkan, pihaknya sudah sering memberikan pemahaman kepada aparat penegak hukum di daerah, terutama satpol PP, soal kriminalisasi kondom ini.
Akan tetapi, pergantian personel yang cepat di daerah membuat pemahaman terhadap pencegahan HIV dan literasi kesehatan reproduksi di antara aparat pemerintah tidak seragam.