Stroke perdarahan memerlukan penanganan yang cepat dan tidak bisa diulur. Hal ini berbeda dengan stroke penyumbatan yang masih bisa dirujuk.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·5 menit baca
Penanganan penyakit stroke selalu berpacu dengan waktu. Kehilangan jutaan sel saraf bahkan kematian menjadi taruhan dalam setiap jam yang terbuang. Keterjangkauan layanan pengobatan stroke pun menjadi keharusan karena bisa meningkatkan harapan hidup.
Hingga saat ini, stroke masih saja menjadi salah satu penyebab kematian utama di Indonesia. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan (Riskesdas Kemenkes) tahun 2018, prevalensi stroke di Indonesia 10,9 persen atau sekitar 2,1 juta penduduk. Namun kondisi ini belum diimbangi dengan sebaran dokter spesialis bedah saraf yang merata, karena sebagian besar dari mereka berada di Pulau Jawa.
Direktur Rumah Sakit Pusat Otak Nasional (RS PON) Mursyid Bustami menjelaskan, pasien akan kehilangan 120 juta sel saraf dalam keterlambatan satu jam penanganan. Artinya, semakin lama pasien mendapat penanganan, maka potensi kelumpuhan hingga ancaman kematian menanti mereka.
“Itu 120 juta sel saraf mati kalau satu jam terlambat. Jadi, satu menit itu berharga. Dalam tahun ke tahun, satu menit bagi penderita stroke menjadi penentu penyelamatan nyawa,” ujarnya di Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Rabu (26/10//2022).
Oleh karena itu, penanganan yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan. Salah satu hal yang krusial adalah tenaga kesehatan yang menanganinya. Bila sebarannya belum ideal, ancamannya kelak bisa berbahaya.
Di Jawa Barat, misalnya, Kepala Kelompok Staf Medis Bedah Saraf Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Akhmad Imron menyebut, posisi dokter bedah sebagian besar berada di Kota Bandung. Sempat aktif di Perhimpunan Bedah Saraf Indonesia (Perspebsi) Jabar, Akhmad menjelaskan, organisasi ini memiliki 42 anggota yang tersebar di Jabar.
“Akan tetapi, dari 42 anggota ini, 30-an orang di antaranya berada di Kota Bandung. Karena itu, kami berharap ada kompetensi dokter, terutama untuk menangani stroke,” ujarnya.
Salah satu kemampuan yang perlu ditingkatkan ini adalah penanganan stroke dengan operasi clipping. Para tim dokter bedah saraf yang dipimpin Akhmad berhasil melakukan demo operasi ini, Rabu (26/10), di Bandung, dalam rangkaian acara "Pengampuan Layanan Stroke dari RS PON sebagai Pengampu Nasional dan RSHS sebagai Pengampu Regional".
Operasi yang berlangsung selama 2-3 jam ini untuk menangani pasien stroke perdarahan. Saat operasi, dokter membuat lubang kecil di di tulang kepala untuk mengakses otak.
Akhmad memaparkan, clipping dilakukan dengan cara menjepit pembuluh darah di kepala agar tidak pecah kembali. Kondisi pecah pembuluh darah ini sangat berbahaya dan menyebabkan sakit kepala hebat pada pasien. “Dengan menggunakan alat, kami membuka tulang kepala, menyisihkan otak yang sehat agar pembuluh darah yang kelainan itu dapat dibuka. Lalu, pembuluh darah itu dijepit sehingga tidak terjadi perdarahan ulang,” paparnya.
Menurut Mursyid, kemampuan operasi seperti ini perlu dimiliki oleh setiap rumah sakit, minimal 1 RS di setiap provinsi. Karena itu, kegiatan pendampingan ini salah satunya proctoring (pengawasan) tindakan bedah clipping untuk dapat memenuhi standar stratifikasi.
Dengan program ini, diharapkan setiap RS yang menjadi pengampu regional bisa melakukan operasi, bahkan dapat mengajarkannya kepada RS di daerahnya. Sebagai contoh, RSHS nantinya membagikan ilmu terkait operasi ini di sejumlah rumah sakit daerah, seperti RS Umum Daerah (RSUD) Al Ihsan di Kabupaten Bandung dan RSUD Karawang.
“Penanganan hingga ke tingkat RSUD ini diharapkan agar pasien tidak perlu lagi dirujuk di ibu kota. Karena itu, kemampuan rumah sakit perlu ditingkatkan,” kata Mursyid.
Kemampuan penanganan stroke dari rumah sakit pengampu ini tidak hanya untuk stroke perdarahan (hemoragik), tetapi juga stroke penyumbatan (iskemik). Menurut Mursyid, stroke penyumbatan mendominasi dengan jumlah kasus 70-80 persen.
Berdasarkan laman p2ptm.kemkes.go.id, stroke sumbatan terjadi karena pembekuan darah atau plak yang terbagi dalam dua lokasi. Pertama, stroke emboli, yakni penyumbatan di jantung atau pembuluh arteri besar yang terangkut ke otak. Kedua, stroke trombotik, terjadi di pembuluh arteri yang menyuplai darah ke otak.
Sementara itu, stroke perdarahan terjadi di kepala dan terbagi dua bentuk perdarahan. Pertama, perdarahan intraserebral, yakni pecahnya pembuluh darah dan masuk ke dalam jaringan sehingga menyebabkan sel-sel otak mati dan kerja otak berhenti. Stroke ini kerap terjadi karena adanya hipertensi pada pasien.
Stroke perdarahan kedua disebut perdarahan subarachnoid. Penyakit ini terjadi karena pembuluh darah yang berdekatan dengan permukaan otak pecah dan darah bocor di antara otak dan tulang tengkorak.
Mursyid menyebut, stroke perdarahan memang hanya ditemukan dalam 20-30 persen kasus stroke. Namun, stroke jenis ini memiliki fatalitas yang tinggi sehingga penanganannya menjadi faktor demi keselamatan pasien.
Selain itu, stroke perdarahan memerlukan penanganan yang cepat dan tidak bisa diulur. Hal ini berbeda dengan stroke penyumbatan yang masih bisa dirujuk. Karena itu, Mursyid menilai rumah sakit di daerah juga perlu menguasai penanganannya.
“Memang (stroke) penyumbatan masih mendominasi, sekitar 70-80 persen. Stroke perdarahan itu 20-30 persen. Meski sedikit, tapi memiliki tingkat kematian tinggi dan untuk menghentikannya perlu menghentikan rembesan darah,” ujarnya.
Pelaksana tugas Direktur Utama RSHS Yana Akhmad menyambut baik program pengampuan ini. Setelah mendapatkan kemampuan dan pendampingan dari RS PON, pihaknya akan melanjutkan ke RSUD di daerah Jabar.
“Ini merupakan sistem pelatihan berjenjang. Jadi, penanganan dengan penyakit sejenis juga karena salah satu prioritas layanan kami sebagai RS rujukan nasional, harus melayani stroke dari level dasar hingga paripurna. Dalam hal ini, salah satunya dengan tindakan clipping untuk kasus stroke pendarahan,” ujarnya.
Untuk memenuhi hal itu, tidak hanya peralatan dan infrastruktur saja yang jadi perhatian. Kapasitas sumber daya manusia, dalam hal ini dokter bedah saraf, menjadi sorotan. Karena itu, pihaknya merevitalisasi pengembangan kompetensi tenaga ahli bedah, khususnya bedah saraf. Setelah memenuhi layanan itu, RSHS akan melakukan pengampuan ke RS lainnya.
Ketua Tim Kerja Transformasi Rujukan Kemenkes Yout Savitri menyebut, dokter spesialis dan subspesialis memang masih banyak ditemui di kota besar. Karena itu, program pengampuan ini diperlukan agar distribusi dokter menjadi merata. “Dengan program ini, kami berupaya mengadakan peralatan hingga di rumah sakit madya. Dari sana, baru kami akan distribusikan dokter secara merata,” ujarnya.
Distribusi pelayanan yang merata membuat penanganan stroke menjadi lebih cepat dijangkau oleh masyarakat. Semakin dekat pelayanan dengan publik, semakin banyak nyawa yang terselamatkan dari ancaman kematian akibat stroke.