Merawat Semangat Kebangsaan dan Kebinekaan dari Sekolah
Sekolah telah dipakai kelompok intoleran untuk menyemai pemahaman mereka sehingga mengancam persatuan bangsa. Sekolah didorong merawat kebangsaan dan kebinekaan di kalangan siswa dalam mengenal serta menerima perbedaan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menguatnya konservatisme perlu diantisipasi karena dapat memicu benih intoleransi pada generasi muda. Sekolah didorong merawat kebangsaan dan kebinekaan dengan memperbanyak ruang dialog di kalangan siswa dalam mengenal serta menerima perbedaan identitas.
Pendiri Nurcholish Madjid Society, Budhy Munawar Rachman, mengatakan, pasca-reformasi, Indonesia mengalami berbagai transisi yang tidak selesai, salah satunya masalah kebangsaan. Bahkan, sekolah telah dipakai oleh kelompok intoleran untuk menyemai pemahaman mereka sehingga mengancam persatuan bangsa.
”Kita sekarang sadar, sekolah sebenarnya tempat yang penting untuk merawat kebangsaan dan kebinekaan,” ujarnya dalam seminar Merawat Semangat Kebangsaan dan Kebinekaan pada peringatan Lustrum VII SMA Kolese Gonzaga-Seminari Wacana Bhakti Jakarta, Kamis (3/11/2022).
Sekolah perlu membangun ruang publik sebagai wadah antarsiswa untuk berdialog. Dengan begitu, pelajar dapat saling mengenal dan menghargai perbedaan identitas, seperti agama, suku, dan budaya.
”Hal ini yang masih sangat kurang di sekolah-sekolah. Malah ada sekolah membuat lebih eksklusif. Sangat penting membangun ruang publik karena berarti di situ ada proses demokrasi dan wacana terbuka,” katanya.
Di tengah kemajuan teknologi informasi, paham intoleransi sangat mudah menyebar, termasuk menjangkau pelajar. Menurut Budhy, paparan informasi tersebut sulit dicegah karena semakin gampangnya mengakses internet.
Akan tetapi, hal itu juga bisa dimanfaatkan dengan memproduksi kontra narasi terhadap isu-isu intoleransi. Jadi, narasi kebangsaan dan beragama yang inklusif perlu diperbanyak guna menambah wawasan siswa.
”Sehingga hal-hal intoleran bukan satu-satunya informasi yang diakses siswa. Selain itu, perlu melatih siswa berpikir kritis agar bisa membedakan informasi valid dan hoaks,” katanya.
Persoalan kebangsaan tidak bisa dibiarkan, harus dirawat. Kalau eksklusivitas sudah mengarah ke fundamentalis, memang perlu diruwat.
Budhy menyampaikan, salah satu tantangan kebangsaan saat ini adalah adanya kelompok masyarakat yang ingin mengganti Pancasila sebagai ideologi negara. Padahal, Pancasila telah menjadi kesepakatan bersama masyarakat Indonesia hidup dalam kemajemukan.
”Pancasila menjadi titik temu dari keberagaman bahasa, agama, suku, ras, budaya, dan identitas lainnya. Nilai-nilai ini mesti diperkuat,” ucapnya.
Menurut Budhy, moderasi beragama perlu terus didorong agar tumbuh lebih inklusif. Transformasi ini dapat dilakukan oleh gerakan masyarakat sipil dan organisasi keagamaan.
”Kita masih punya masalah kebebasan beragama. Masalah ini belum bisa dipecahkan dalam 10-15 tahun terakhir. Padahal, kita memiliki pengalaman inklusi sosial yang luar biasa,” katanya.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI Prof Siti Ruhaini Dzuhayatin mengatakan, keterbukaan masyarakat Nusantara telah berlangsung berabad-abad lalu. Hal ini membuat Indonesia yang mempunyai 714 suku bangsa membentuk mentalitas terbuka, moderat, dan inklusif.
Akan tetapi, kondisi itu juga menyimpan tantangan sentimen etnisitas dan agama serta potensi konflik. ”Ini berpotensi membentuk politik identitas yang destruktif jika tidak dikelola dengan cerdas,” ujarnya.
Siti menyebutkan, Indonesia mempunyai dua modal dasar dalam membingkai keberagaman, yaitu proklamasi kebangsaan pada 28 Oktober 1928 (Sumpah Pemuda) serta proklamasi sebagai negara pada 17 Agustus 1945. Alhasil, kematangan kebangsaan menjadi fondasi kuat untuk bertransformasi membentuk negara modern.
“Persoalan kebangsaan tidak bisa dibiarkan, harus dirawat. Kalau eksklusivitas sudah mengarah ke fundamentalis, memang perlu diruwat,” katanya.
Penggiat dialog antaragama Heri Setyawan menuturkan, Sumpah Pemuda merupakan salah satu momen menentukan dalam merawat semangat kebangsaan. Hal ini tidak terlepas dari adanya ruang dialog para pemuda dari berbagai daerah untuk menyepakati satu bangsa.
“Ruang publik akan menumbuhkan komunitas-komunitas yang terdiri dari unsur dengan latar belakang berbeda,” ucapnya.
Kepala SMA Kolese Gonzaga Pater Andri Astanto SJ mengatakan, seminar kebangsaan digelar untuk memperkaya wawasan siswa tentang kemajemukan bangsa. Dalam lustrum itu juga diluncurkan buku berjudul ‘Puspadanta Gonzaga’ yang berisi 18 tulisan siswa dengan beragam pembahasan, seperti kemiskinan, lingkungan, pendidikan, dan persatuan bangsa.