Angka kasus dan kematian akibat gangguan ginjal akut meningkat. Penarikan obat sirop dan edukasi masif diperlukan untuk mencegah pertambahan kasus.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus akibat gangguan ginjal akut atipikal progresif di Indonesia bertambah menjadi 269 kasus. Angka kematian akibat penyakit ini juga meningkat menjadi 157 kasus. Dari 34 provinsi, tujuh provinsi belum melaporkan kasus. Hal ini ditengarai karena perbedaan distribusi sirop obat yang mengandung cemaran.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan Muhammad Syahril dalam konferensi pers secara virtual di Jakarta, Kamis (27/10/2022), mengatakan, per 26 Oktober 2022 ada pertambahan kasus gangguan ginjal akut atipikal progresif menjadi 269 kasus. Itu berarti ada penambahan 18 kasus dari tanggal 24 Oktober 2022.
Dari jumlah ini, tiga kasus merupakan kasus yang baru muncul setelah Kemenkes melarang penggunaan obat sirop, sedangkan 15 kasus lain terjadi pada akhir September hingga awal atau pertengahan Oktober 2022.
Angka kematian meningkat dari 141 kasus menjadi 157 orang dalam waktu dua hari sejak laporan pada 24 Oktober hingga 26 Oktober 2022. Dari 269 kasus yang dilaporkan, jumlah pasien yang sedang dirawat sebanyak 73 orang dan 39 pasien dinyatakan sembuh.
Adapun jumlah provinsi di mana ditemukan kasus gangguan ginjal akut juga bertambah menjadi 27 provinsi dengan penambahan Kalimantan Timur dengan satu kasus meninggal akibat gangguan ginjal akut. Adapun provinsi dengan kasus paling tinggi adalah DKI Jakarta dengan 57 kasus, Jawa Barat 36 kasus, Aceh 30 kasus, dan Jawa Timur 25 kasus. Beberapa provinsi yang belum atau tidak ada kasus adalah Riau, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat.
Di tataran daerah, BPOM harus proaktif merazia obat-obatan yang mengandung cemaran karena tidak semua masyarakat kita terpapar informasi.
Terkait beberapa daerah yang belum melaporkan kasus, Muhammad menyebutkan terdapat faktor yang memengaruhi, misalnya penduduk dan distribusi obat yang mengandung cemaran di wilayah tersebut. Selain itu, laporan dari daerah belum tentu yang teraktual.
”Kasus ini, kan, baru merebak, laporan dari daerah juga banyak yang tidak real time. Dari tujuh provinsi yang belum ada data, bisa jadi nanti kalau ada laporan justru bukan kasus baru, tetapi kasus lama,” tambahnya.
Memetakan produk
Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, menuturkan, Kemenkes dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dapat memetakan produk-produk yang mengandung zat cemaran berbahaya dari daerah yang memiliki kasus tinggi. Dari data ini juga dapat dilihat pola pendistribusian produk-produk yang dianggap mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang melebihi ambang batas.
Kasus ini, kan, baru merebak, laporan dari daerah juga banyak yang tidak real time. Dari tujuh provinsi yang belum ada data, bisa jadi nanti kalau ada laporan justru bukan kasus baru, tetapi kasus lama.
”Kalau kita lihat dari jumlah kasus per provinsi, angka yang tergolong tinggi ada di Indonesia bagian barat. Jumlah kasus yang relatif tinggi dari Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur. Kecenderungannya semakin ke timur semakin kecil angka kasusnya,” ujarnya.
Pandu menambahkan, di wilayah yang semakin jarang kasus biasanya tidak banyak tersebar obat sirop yang berbahaya. Selain itu, bisa juga karena anak-anak mengonsumsi obat sirop berbahaya dalam skala kecil sehingga dampaknya tidak besar pada kesehatan.
”Maka dari itu, Kemenkes perlu mencegah semua obat sirop yang memiliki kandungan EG dan DEG melebihi ambang batas. Di daerah, BPOM harus proaktif merazia obat-obatan yang mengandung cemaran. Hal ini disebabkan tidak semua penduduk terpapar informasi, padahal produk obat sirop yang berbahaya ini mudah ditemukan dan diperjualbelikan tanpa resep dokter di apotek ataupun toko-toko,” ungkapnya.
Pandu menekankan, pemerintah perlu transparan terkait data dan informasi. Hal ini sebagai langkah mencegah penambahan kasus dan memitigasi kasus yang sudah ada. Selain itu, layanan kesehatan perlu diperkuat dengan distribusi obat penawar ke daerah-daerah yang memiliki kasus gangguan ginjal akut. BPOM juga diharapkan segera menarik obat sirop yang berbahaya.
”Harus ada upaya pertanggungjawaban, entah dari pemerintah atau pabrik obat. Pemerintah harus meminta maaf sekaligus memberi kompensasi kepada keluarga yang ditinggalkan,” ucapnya.
Penanganan di daerah
Di wilayah Provinsi Papua, BPOM Papua memantau 300 apotek. BPOM Papua melibatkan Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (PAFI), dinas kesehatan kabupaten/kota, serta pengurus Gabungan Perusahaan Farmasi di 28 kabupaten dan satu kota. Hasilnya, obat sirop yang mengandung cemaran EG dan DEG sudah tidak dijual lagi.
Saat ini Provinsi Papua mencatat satu kasus kematian akibat gangguan ginjal akut. Penyakit ini diderita oleh anak laki-laki berusia delapan bulan yang berdomisili di Kabupaten Lanny Jaya di daerah pegunungan Papua (Kompas, 25/10/2022).
Berbeda dengan di Papua, Kepolisian Daerah Sumatera Utara telah menghentikan sementara proses produksi dan distribusi pabrik obat dari perusahaan PT Universal Pharmaceutical Industries di Medan, Sumatera Utara (Kompas, 25/10/2022). Meskipun begitu, pihak pabrik mengaku bahwa cemaran EG dan DEG ini tidak dicampurkan di pabrik, melainkan sudah ada dalam bahan obat yang mereka beli.
Per Kamis 27 Oktober 2022, jumlah kasus akibat gangguan ginjal akut di Sumatera Utara mencapai 14 kasus. Dari jumlah ini, delapan kasus meninggal, dua kasus dalam perawatan, dan dua kasus sembuh. Persentase kematian terlapor akibat gangguan ginjal akut anak di Sumatera Utara mencapai 67 persen.