Proses Transformasi Multiusaha Kehutanan Difasilitasi
Kamar Dagang dan Industri menginisiasi Kadin Regenerative Forest Business Sub-Hub yang bertujuan mentransformasikan multiusaha kehutanan. Transformasi bisnis kehutanan ini juga berimplikasi positif terhadap lingkungan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dunia usaha terus didorong dan difasilitasi untuk mengoptimalisasi sumber daya hutan dengan bertransformasi ke dalam multiusaha kehutanan. Selain mengembangkan berbagai produk atau komoditas hutan yang potensial dari sisi bisnis, transformasi multiusaha kehutanan juga bisa mendukung berbagai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Wakil Ketua Umum Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Silverius Oscar Unggul mengemukakan, transformasi bisnis kehutanan ini mempunyai implikasi yang positif terhadap penghidupan, biodiversitas, ekonomi, dan iklim.
”Kadin Regenerative Forest Business Sub-Hub memfasilitasi proses transformasi ini. Transformasi ini dilakukan Kadin untuk mengaitkan lintas sektor dari berbagai asosiasi pengusaha,” ujarnya dalam dialog temu bisnis terkait pemanfaatan kawasan hutan untuk ketahanan pangan di Jakarta, Selasa (25/10/2022).
Oscar menjelaskan, konsep multiusaha yang diinisiasi Kadin menekankan aspek kehutanan regeneratif. Ini merupakan sebuah pendekatan yang memberikan nilai tambah kepada alam dan meningkatkan kondisi kehutanan sekaligus dapat berkontribusi pada tujuan pembangunan berkelanjutan termasuk yang tertuang dalam dokumen kontribusi nasional (NDC) penurunan emisi Indonesia.
Salah satu fasilitasi yang dilakukan Kadin untuk mentransformasikan multiusaha kehutanan ini yaitu dengan membangun jejaring antarpengusaha hutan sebagai sektor hulu dengan pihak di hilir (offtaker). Setiap dialog yang dilakukan dapat menjadi titik tolak inisiasi kerjasama hulu-hilir secara terintegrasi sehingga akan terbentuk ekosistem bisnis yang kuat.
Inisiasi Kadin untuk mentransformasikan multiusaha kehutanan harus ditangkap oleh para pengusaha. Transformasi juga menjadi kesempatan yang baik karena selama ini pengusaha hanya fokus terhadap produk kayu.
Saat ini telah terdapat landasan hukum dan peluang bagi pelaku usaha kehutanan untuk meningkatkan pemanfaatan kawasan melalui multiusaha kehutanan. Landasan hukum tersebut, yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.
Wakil Kepala Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) Adinda Aksari mengatakan, kabupaten yang masuk dalam jaringan LTKL di Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan merupakan daerah yang potensial untuk bekerjasama di sektor multiusaha kehutanan.
Menurut Adinda, beberapa kabupaten dalam jaringan LTKL memang berada di daerah yang terpelosok. Namun, dalam aspek pembangunan, kabupaten tersebut memiliki visi yang lebih maju khususnya dalam aspek ekonomi untuk transformasi menuju ekonomi hijau.
Salah satu contoh daerah tersebut ialah Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, yang telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 tentang Sigi Hijau. Beberapa ketentuan dalam perda ini mendorong agar ada transformasi bisnis di sektor investasi hijau.
”Beberapa kabupaten biasanya sejauh ini sudah melakukan beberapa kegiatan seperti peningkatan kapasitas para petani untuk mentransformasi bisnis tradisional menjadi lebih berkelanjutan. Potensi komoditas unggulan yang sudah dipetakan dari kabupaten kita ada vanila, kakao, sawit, kopi, termasuk gula aren,” ujarnya.
Kesempatan bagi pengusaha
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Bidang Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari, Soewarso mengatakan, inisiasi Kadin untuk mentransformasikan multiusaha kehutanan harus ditangkap oleh para pengusaha. Transformasi juga menjadi kesempatan yang baik karena selama ini pengusaha hanya fokus terhadap produk kayu.
”Dengan kondisi hutan yang semakin menipis dan tuntutan mengurangi penebangan pohon karena perubahan iklim, mau tidak mau para pemegang izin harus menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Pengusaha harus mengubah pola pikirnya untuk tidak hanya menghasilkan kayu, tetapi juga mengoptimalkan potensi hasil hutan bukan kayu,” katanya.
Soewarso tidak menampik banyak potensi hutan di Indonesia yang bisa dioptimalkan selain kayu seperti untuk komoditas pangan, obat-obatan atau farmasi melalui bioprospeksi, ekowisata, hingga perdagangan karbon. Pemegang izin juga harus melihat potensi ini dengan melakukan identifikasi dan eksplorasi terlebih dahulu.
”Melakukan bisnis di area perizinan hutan dengan logistik yang relatif masih terbatas dan jauh dari fasilitas umum akan berpengaruh ke rantai pasok dan biaya sehingga memengaruhi daya saing. Oleh karena itu, dukungan kebijakan dari pemerintah untuk memberikan insentif juga sangat diperlukan,” ungkapnya.
Soewarso memastikan bahwa APHI dan setiap anggotanya tetap berkomitmen melakukan bisnis kehutanan yang lebih berkelanjutan. Selain demi menjaga kelangsungan alam, bisnis berkelanjutan dan ramah lingkungan saat ini juga telah menjadi tuntutan pasar baik di dalam negeri maupun global.