Mengenalkan Aneka Ragam Komoditas di Bumi Uncak Kapuas
Kapuas Hulu memiliki beragam komoditas yang diolah oleh masyarakat lokal dengan prinsip keberkelanjutan. Keragaman komoditas ini merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan pengembangan ekonomi hijau.
Suasana rumah panjang atau rumah betang di Dusun Ngaung Keruh, Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Sabtu (5/2/2022), ramai oleh penduduk. Mereka berkumpul di rumah tradisional masyarakat Dayak Iban tersebut untuk mengenalkan beragam komoditas asli Kapuas Hulu kepada pembeli dan investor ekonomi hijau yang datang dari beberapa daerah, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Kalimantan Tengah, dan Bali.
Sebelum memasuki rumah panjang—dalam bahasa Iban dikenal dengan sebutan rumah panjai—rombongan pembeli dan investor disambut dengan prosesi adat penerimaan tamu bernama ngalu pengabang nikek. Di dalam rumah, satu laki-laki dan dua perempuan Iban telah siap melakukan tarian ngajat dengan diiringi lantunan alat musik tradisional.
Setelah prosesi adat, tarian, dan penerimaan rombongan langsung dari Kepala Dusun Ngaung Keruh Robertus Tutong selesai dilakukan, perwakilan masyarakat mulai mengenalkan komoditas unggulannya kepada pembeli dan investor. Kain tenun, anyaman, daun aras, dan udang sungai merupakan beragam komoditas yang dikenalkan.
Prinsip ekowisata tidak hanya datang menikmati keindahan, tetapi juga bagaiman wisatawan bisa mendapatkan edukasi, menghargai budaya, dan tertanam jiwa konservasinya.
Margareta Bermas (31) menjadi salah satu perempuan yang hadir di rumah panjang tersebut. Bicaranya sedikit lirih dan terbata-bata, tetapi matanya memancarkan tekad yang kuat untuk mengenalkan produk kain tenun Iban. Sembari mengenalkan produknya, perempuan yang akrab disapa Aya ini juga menceritakan ritual sebelum menenun, makna filosofi dari motif kain tenun, jenis kain, hingga budaya dan mitos menenun dari orang Iban.
”Sebelum menenun, suku Dayak Iban melakukan ritual dengan membuat sesaji untuk meminta izin kepada roh leluhur agar motif yang dibuat tidak menimbulkan marabahaya. Dalam budaya Iban, anak-anak usia 5 tahun sudah dikenalkan dengan tenun dan alat-alatnya. Orang Iban zaman dulu juga percaya menenun tidak boleh dilakukan malam hari karena akan mengganggu tidur orang-orang di kayangan,” ujar Aya mengisahkan.
Terdapat empat jenis tenun yang dibuat orang Iban secara tradisional, yakni tenun ikat atau kebat, sidan, pileh, dan songket. Dari empat jenis tersebut, proses pembuatan tenun pileh merupakan yang terumit. Petenunnya pun diakui sudah langka. Aya menjadi salah satu dari sedikit petenun pileh yang masih bertahan di kampungnya.
Berbeda dengan kain tenun modern yang menggunakan pewarna kimia, semua proses pewarnaan kain tenun Iban berasal dari tanaman dan produk alam. Mayoritas bahan pewarna tersebut diperoleh dari tanaman di sekitar rumah dan kebun kecil seluas 2 hektar yang dibuat oleh kelompok warga sehingga kelestarian hutan pun tetap terjaga.
Warna-warna dasar benang tenun Iban, seperti kuning berasal dari pohon ketapang, merah dari akar mengkudu dan secang, coklat dari daun engkerebai dan kayu ulin, serta biru dari tanaman tarum atau indigofera. Sementara benang katun tensel berwarna dasar putih menjadi satu-satunya bahan yang didatangkan dari luar Kapuas Hulu, yakni Jawa Timur, DI Yogyakarta, dan Bali.
Baca juga: Kain Tenun Nusantara Layak Diakui Dunia
Kerumitan dalam proses pembuatan hingga tingginya nilai filosofis yang terkandung dalam setiap motif membuat tenun Iban memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Tenun terkecil berukuran 2,5 x 56 sentimter yang pernah dibuat Aya dihargai Rp 50.000. Tenun tersebut merupakan pesanan langsung orang dari Jepang.
Sementara tenun terbesar yang dibuat Aya berukuran 130 x 200 cm atau dikenal dengan sebutan kain pua kumbu dihargai Rp 3 juta-Rp 6 juta. Kain pua kumbu juga kerap digunakan dalam upacara adatatau ritual dan peristiwa penting, seperti kelahiran anakhingga penerimaan barang ataupun mayat dari rumah panjang sebelum dikubur.
Meski menjadi komoditas bernilai jual tinggi dan menjanjikan, Aya menyayangkan saat ini tidak banyak anak muda, khususnya perempuan Iban, yang tertarik ataupun mewarisi pembuatan tenun. ”Hanya saya yang meneruskan pembuatan tenun Iban di kampung. Saya memutuskan mendalami dan memasarkan tenun karena ingin melestarikan budaya dan hutan,” kata lulusan Politeknik Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil (STTT) Bandung ini.
Hasil alam
Komoditas di Kapuas Hulu tak sekadar tenun Iban. Sekitar 300 meter dari rumah panjang terdapat produk mentega Illipe Tengkalu dari biji tengkawang yang diolah oleh masyarakat lokal. Tengkawang adalah tumbuhan endemik Kalimantan dari jenis shorea atau meranti-merantian yang menghasilkan minyak lemak berharga tinggi.
Jefianus Antoni, salah seorang pengolah mentega tengkawang, memutuskan untuk mengembangkan produk tersebut saat pandemi karena diyakini memiliki manfaat dan nilai ekonomi yang cukup tinggi. Manfaat itu, antara lain, adalah memperbaiki fleksibilitas dan elastisitas kulit serta mencegah timbulnya kerutan ataupun degenerasi sel-sel kulit.
”Sebelum diolah menjadi mentega, masyarakat hanya menjual dan memanfaatkan tengkawang dari bentuk bahan baku kering. Namun, berbeda dengan produksi pabrik dengan mesin besar, proses pembuatan produk rumah tangga dari kami masih perlu pencacahan, pengukusan, dan pengepresan,” katanya.
Produk hasil alam lainnya yang terdapat di Kapuas Hulu ialah madu hutan dari lebah liar jenis Apis dorsata. Kelompok atau komunitas produsen mengambil madu hutan dengan teknik panen lestari dan sesuai dengan adat atau budaya setempat sehingga populasi lebah hutan ataupun habitat dan lingkungannya tetap terjaga.
Masyarakat memanen madu hutan dari tikung, yaitu dahan buatan tempat lebah membuat sarang. Empat organisasi subsentra pemanen madu di Kapuas Hulu telah memetakan penyebaran 95.000 tikung di area kelola lebah hutan Periau. Lebah dibiarkan liar dan tidak diternak atau dibudidayakan. Proses pemanenan dapat dilakukan tiga kali dalam satu tahun.
Dari catatan Kompas (3/11/2017), lebah penghasil madu hutan Kapuas Hulu sumber pakannya multiflora, yakni dari berbagai jenis tumbuhan. Setiap tumbuhan yang menjadi sumber pakan mengandung khasiat yang beraneka ragam bagi kesehatan manusia yang mengonsumsinya.
Hasil penelitian yang dilakukan Yayasan Riak Bumi, madu hutan Kapuas Hulu berkhasiat untuk antipenuaan dan mencegah kanker, terutama serviks. Bahkan, madu hutan Kapuas Hulu juga diklaim memiliki kualitas terbaik di Asia karena pertama kali mendapatkan sertifikat organik dan proses pascapanen yang dijamin higienis.
Baca juga: Kalimantan: Hilangnya Rimba, Pemburu Terakhir, dan Bencana
Namun, ironisnya, populasi koloni lebah penghasil madu ini sempat menurun akibat kebakaran hutan yang disebabkan alih kemarau ekstrem, fungsi lahan, dan faktor-faktor eksternal lainnya, terutama sejak 2009, 2011, 2012, serta banjir besar 2010. Penurunan populasi ini dikonfirmasi oleh hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Potensi ekowisata
Selain komoditas tenun dan produk hasil alam, wilayah di Kapuas Hulu juga memiliki potensi ekowisata yang tengah dikembangkan Kelompok Pengelola Pariwisata (KPP) Semujan Dorsata. Lokasi ekowisata ini berada di zona pemanfaatan terbatas kawasan Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum (TNBKDS), Kalimantan Barat.
Bentang alam TNBKDS, pengelolaan komoditas secara lestari, seperti panen madu hutan, dan pengetahuan budaya lokal menjadi paket perjalanan yang akan dikembangkan. Ekowisata ini bahkan bisa dikunjungi dan menawarkan pengalaman yang berbeda, baik pada musim kemarau saat air surut maupun musim hujan saat air pasang.
”Pada musim pasang bisa menjadi tempat memancing, memanen madu, pengamatan satwa, dan pendakian. Sedangkan pada musim kemarau juga bisa menjadi lokasi berkemah dan menjala ikan. Bahkan, memanen madu terkadang bisa dilakukan saat musim kemarau,” kata Ketua KPP Semujan Dorsata Abang Erwanto.
Ronny Joni Hendrawan, pelaku pariwisata dari Nusantara Kita Tour dan Travel Ecotourismyang turut mengikuti kunjungan tersebut, melihat ada potensi yang bisa dikembangkan oleh KPP Semujan Dorsata. Namun, ia memberikan catatan bahwa KPP harus memetakan dan membuat rancangan ekowisata beserta harga yang ditawarkan sehingga calon pengunjung mendapatkan informasi sesuai dengan kebutuhannya.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Seksi Pemanfaatan dan Pelayanan TNBKDS Syarif Muhammad Ridwan mengakui bahwa pihaknya masih perlu terus melakukan sosialisasi dan penguatan kepada masyarakat agar pengembangan ekowisata tidak mengarah pada wisata massal.
Sesuai dengan peraturan Direktorat Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), masyarakat lokal diberikan akses dan dapat mengelola zona pemanfaatan di kawasan taman nasional. Namun, pengelolaan harus sesuai dengan kaidah-kaidah ekowisata dan konservasi.
”Tantangan mengembangkan ekowisata, yaitu pengorganisasian masyarakat. Berbeda dengan wisata massal pada umumnya, ekowisata perlu perlakuan khusus. Sebab, prinsip ekowisata tidak hanya datang menikmati keindahan, tetapi juga bagaiman wisatawan bisa mendapatkan edukasi, menghargai budaya, dan tertanam jiwa konservasinya,” ucapnya.
Mengenalkan beragam produk komoditas lokal, termasuk potensi ekowisata, kepada pembeli dan investor ini merupakan salah satu tujuan proyek GIZ-SASCI dari Jerman yang dikerjakan Niras IP Consult untuk mempromosikan ekonomi hijau dan rantai pasok berkelanjutan di Kapuas Hulu.
Baca juga: Bidik Wisatawan Mancanegara, Festival Danau Sentarum Digelar Lagi
Kepala Tim Proyek Ekonomi Hijau Niras IP Consult Shane McCharty mengatakan, pembeli dan investor yang bergerak di sektor ekonomi hijau didatangkan langsung ke lokasi untuk turut membantu mencari strategi pemasaran terbaik untuk beragam komoditas di Kapuas Hulu. Strategi pemasaran ini akan berbeda-beda antara satu komoditas dan komoditas lainnya.
Shane meyakini, pengembangan komoditas yang memperhatikan aspek lingkungan akan lebih cepat dilakukan dengan melibatkan langsung masyarakat lokal. Apabila komoditas ini mampu menjangkau pasar yang lebih luas, tidak tertutup kemungkinan proyek serupa akan dilakukan di daerah potensial lainnya.