Penyandang disabilitas rentan terdampak bencana. Mitigasi risiko bencana pun diperlukan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyandang disabilitas rentan terdampak, bahkan rentan mengalami kematian saat terjadi bencana. Literasi kebencanaan hingga upaya pengurangan risiko bencana bagi difabel pun dibutuhkan.
Menurut data Komisi Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Asia Pasifik (UNESCAP), penyandang disabilitas di Asia Pasifik berisiko 2-4 kali lebih tinggi terhadap kematian saat bencana dibandingkan orang nondifabel. Adapun jumlah penyandang disabilitas di Asia Pasifik mencapai 700 juta orang.
Menurut Menteri Sosial Tri Rismaharini, komunikasi risiko bencana dilakukan ke penyandang disabilitas. Ini dilakukan antara lain melalui Kampung Siaga Bencana, yaitu wadah penanggulangan bencana berbasis masyarakat di bawah Kemensos. Program ini melatih masyarakat, termasuk penyandang disabilitas, untuk siap menghadapi bencana.
Pemerintah terus berupaya menemukan solusi dengan melibatkan penyandang disabilitas untuk mendapat perspektif.
”Kami bekerja sama dengan Tagana (Taruna Siaga Bencana) untuk melatih seluruh masyarakat. Di Trenggalek (Jawa Timur), misalnya, kami buat pelatihan. Nanti diajari jika misalnya ada gempa yang berakibat pada tsunami, maka harus (berbuat) seperti apa. Selain itu, ada juga Difagana (Difabel Siaga Bencana),” kata Risma di Jakarta, Kamis (20/10/2022).
Ia menambahkan, Kemensos memberi tongkat pintar adaptif bagi penyandang tunanetra. Tongkat ini dikembangkan agar bisa mendeteksi obyek, air, dan asap. Pengguna akan diberi peringatan serupa sirene ketika tongkat berhasil mendeteksi ketiganya. Alat ini diharapkan membantu difabel untuk menghindari bahaya atau bencana.
Deputy Chief Executive Officer Perlindungan Sosial, Disabilitas, dan Kelompok Rentan Kementerian Dalam Negeri Tinga, Luísa Manuofetoa, mengatakan, mekanisme pemulihan pascabencana terhadap masyarakat mesti disusun secara tepat, khususnya bagi difabel. Berbagai bantuan pun diupayakan, baik dalam bentuk dana, pendidikan, maupun bantuan layanan psikologis.
”Kami baru menerapkan (program) perlindungan sosial. Kami menyadari bahwa ujung tombak penerapan perlindungan sosial adalah kementerian, kemudian organisasi masyarakat sipil, dan mitra-mitra pembangunan lain. Ini karena memberi layanan sesuai kebutuhan penyandang disabilitas mencakup banyak hal,” kata Manuofetoa pada Pertemuan Tingkat Tinggi Antarpemerintah Asia Pasifik dalam Implementasi Dasawarsa Penyandang Disabilitas (HLIGM-FRPD).
Sementara itu, Menteri Jender, Keluarga, dan Layanan Sosial Maladewa Aishath Mohamed Didi mengatakan, perubahan iklim membuat Maladewa yang merupakan negara pulau terdampak. Kenaikan permukaan air laut menyebabkan banjir yang pada akhirnya menyulitkan difabel.
”Kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas, semakin rentan dalam kondisi ini. Dampak perubahan iklim terus menjadi perhatian utama kami. Pemerintah terus berupaya menemukan solusi dengan melibatkan penyandang disabilitas untuk mendapat perspektif,” kata Didi.
Sebelumnya, pemerintah telah menyusun rencana pengurangan risiko bencana untuk masyarakat termasuk difabel. Namun, pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa sistem yang ada tidak mampu mengomunikasikan risiko bencana secara efektif.
Selain terkendala kondisi geografis, pemerintah kesulitan menjalin komunikasi dengan penyandang disabilitas. Akibatnya, kebutuhan kelompok rentan di masa bencana sulit dipenuhi. Kebutuhan yang dimaksud antara lain makanan dan akses sanitasi.
”Kami mesti bekerja sama dengan organisasi masyarakat agar bisa berkomunikasi dengan penyandang disabilitas dan membantu mereka,” ucap Didi.