Penyakit osteoporosis tidak memiliki gejala yang pasti. Maka dari itu, perlu ada kesadaran dini untuk menjaga kesehatan tulang.
Oleh
RIVALDO ARNOLD BELEKUBUN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di dunia, satu dari tiga perempuan dan satu dari lima pria usia 50 tahun ke atas berisiko mengalami osteoporosis. Sementara di Indonesia, dua dari lima orang berisiko mengalami osteoporosis. Untuk itu, perlu ada kesadaran dan penanganan dini mulai dari usia anak, remaja, dewasa, hingga lanjut usia.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Eva Susanti menyebutkan, setiap tahun terjadi 8,9 juta kejadian patah tulang di dunia. Ini berarti setiap tiga detik terjadi satu kejadian patah tulang. Jika tidak ada kebijakan penanganan yang baik, diperkirakan pada tahun 2050 akan ada peningkatan 240 persen kejadian patah tulang pada perempuan dan 310 persen pada laki-laki.
”Osteoporosis adalah penyakit di mana kekuatan tulang berkurang dan menjadi keropos dan mudah patah. Jika terkena osteoporosis, tulang seseorang menjadi lemah dan rapuh. Bahkan, (tulang bisa patah) karena jatuh ringan, terbentur, bersin, atau gerakan tiba-tiba,” ujar Eva pada acara temu media memperingati Hari Osteoporosis Sedunia, Kamis (20/10/2022).
Eva menjelaskan, faktor utama tingginya osteoporosis di Indonesia adalah rendahnya kesadaran dan edukasi masyarakat mengenai osteoporosis, terutama pada usia dini. Menurut dia, masyarakat perlu sedini mungkin memahami bahwa osteoporosis dapat dialami semua orang ketika sudah berusia lanjut.
Ada dua faktor penyebab osteoporosis, yakni faktor yang tidak dapat diubah dan faktor yang dapat diubah. Eva menuturkan, faktor yang tidak dapat diubah berkaitan dengan gangguan hormonal, ras, jender, usia, dan genetik. Sementara faktor yang dapat diubah berhubungan dengan berat badan, gaya hidup, asupan gizi, imobilitas, dan penggunaan beberapa jenis obat dalam kurun waktu tertentu. Untuk dapat mencegah osteoporosis, masyarakat dapat memperhatikan faktor-faktor yang dapat diubah tersebut.
Jika terkena osteoporosis, tulang seseorang menjadi lemah dan rapuh. Bahkan, (tulang bisa patah) karena jatuh ringan, terbentur, bersin, atau gerakan tiba-tiba.
Eva menyampaikan, Kemenkes sudah mengatur pengendalian osteoporosis dalam beberapa strategi program yang fokus pada peningkatan promosi, peningkatan upaya pencegahan, penguatan sistem kesehatan dan peningkatan akses pelayanan kesehatan, serta peningkatan pengawasan, riset, monitoring, evaluasi, dan pengendalian osteoporosis.
”Kemenkes juga telah mengupayakan sosialisasi melalui berbagai cara, salah satunya melalui webinar serta pembagian informasi promotif melalui media sosial,” ujanya.
Ketua Umum Perhimpunan Osteoporosis Indonesia (Perosi) Bagus Putu Putra Suryana menyatakan, penyakit osteoporosis sangat penting untuk diketahui sejak dini. Sebab, osteoporosis adalah penyakit yang tidak memiliki gejala yang jelas. Ia menyebut osteoporosis sebagai silent disease. ”Orang bisa mengalami osteoporosis tanpa mengetahuinya. Secara tiba-tiba, tulang bisa patah dengan benturan kecil,” ujarnya.
Bagus menyebutkan, selain jumlah kasusnya banyak, osteoporosis memiliki konsekuensi yang sama besar dengan penyakit-penyakit lain. Jika mengalami patah tulang akibat osteoporosis, konsekuensinya adalah rasa nyeri, disabilitas, deformitas, dan kematian. Selain itu, biaya penanganannya juga mahal, tetapi dapat ditanggung program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Menurut dia, cara terbaik untuk mencegah osteoporosis adalah dengan menjaga kesehatan tulang sejak usia dini. Hal itu dapat dilakukan dengan mengonsumsi asupan dengan kandungan kalsium tinggi serta hidup sehat. Selain itu, perlu olahraga yang rutin dan menjaga berat badan tubuh agar tidak berlebihan atau terlalu kurang. Perlu juga untuk mengonsumsi vitamin D yang cukup. Ia menganjurkan untuk mengonsumsi 600 IU vitamin D dan 1000 mg kalsium.
Pemeriksaan
Salah satu cara untuk mengetahui dan mendiagnosis osteoporosis adalah dengan pemeriksaan bone mineral densitometry (BMD). Bagus menjelaskan, ini adalah metode pemeriksaan dengan mengomparasikan tulang seseorang yang diduga mengalami osteoporosis dengan tulang orang sehat. Komparasi itu meliputi pemeriksaan kesehatan tulang, massa tulang, dan densitas atau ketebalan tulang.
Masalahnya, BMD memerlukan biaya tinggi serta alat yang memadai. Di Indonesia, BMD hanya tersedia di rumah sakit di kota-kota besar. Karena faktor biaya, rumah sakit di kota kecil dan wilayah pelosok belum dapat menyediakan layanan BMD dalam pemeriksaan osteoporosis.
Perosi telah mengembangkan satu jenis alat BMD dengan ukuran kecil dan dapat dibawa ke mana-mana. BMD portabel ini memiliki biaya yang relatif murah dan dapat dioperasikan dengan cara yang lebih sederhana. Ia berharap pemerintah mempertimbangkan alat ini untuk disediakan di wilayah-wilayah pelosok agar memudahkan akses semua orang dalam pemeriksaan.