Melihat Kerusakan Pesisir dan Nasib Nelayan dari ”Angin Timur”
Greenpeace Indonesia mengadakan pemutaran film ”Angin Timur” dalam rangkaian Chasing The Shadow. Dalam pemutaran ini, para pengunjung berbagi kisah serupa yang terjadi di wilayah yang pernah mereka kunjungi.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kerusakan pesisir beserta dampaknya pada nasib nelayan menjadi sebagian potret yang terekam dalam film Angin Timur. Pemutaran film yang diikuti diskusi pada Sabtu (15/10/2022) itu cukup menunjukkan kerentanan garis depan daratan dengan lautan di negeri bahari Indonesia.
Film dokumenter yang diproduksi Koperasi Ekspedisi Indonesia Baru ini berdurasi 100 menit yang berupaya mengupas kondisi pesisir di Indonesia. Beberapa daerah yang menjadi latar belakang pengambilan video yaitu pesisir pantai di Banyuwangi dan Trenggalek di Jawa Timur, Kulon Progo di DI Yogyakarta, dan Karimunjawa di Jawa Tengah.
Angin Timur mengangkat kerentanan nelayan di Indonesia, seperti kenaikan harga solar yang berimbas pada nelayan hingga hubungan tidak setara antara nelayan besar dan kecil. Selain itu, film ini juga menyoroti kerusakan ekosistem pesisir, seperti rusaknya terumbu karang karena tongkang batubara hingga limbah tambak yang dibuang langsung ke laut tanpa diolah.
Salah satu penonton, Elinda Shofiana (20), menarik film ini dari kejadian di kampung asalnya, Pekalongan, Jawa Tengah. Di dekat Pekalongan, terdapat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang yang membawa banyak tongkang batubara. Salah satu dampaknya menyebabkan air pantai di sekitarnya PLTU Batang berwarna keruh.
Sehingga mereka perlu menempuh jarak yang lebih jauh untuk mendapatkan tangkapan ikan yang banyak.
Tidak hanya itu, Elinda juga menceritakan banyak nelayan kecil yang sekarang melaut jauh ke wilayah timur, seperti Maluku. Nelayan-nelayan kecil ini pergi ke timur dan pulang hanya tiga bulan atau setahun sekali.
”Mereka pergi ke timur karena lahan untuk melaut sudah tercemar karena berdekatan dengan tongkang batubara. Kalaupun masih ada nelayan, ya, mereka dengan kapal besar karena bisa berlayar lebih jauh di lautan lepas,” ucapnya.
Mengamini Elinda, Iriansyah (28), fasilitator lapangan Destructive Fishing Watch (DFW), menceritakan di Kepulauan Aru, Maluku, 60-70 persen kapal nelayan berasal dari Jawa. Kapal-kapal ini tidak terdaftar. Setelah diperiksa kembali dari dokumen kapal, ternyata banyak yang berasal dari daerah Tegalsari, Banyuwangi, dan Jakarta.
Saat menonton Angin Timur, Iriansyah lantas menghubungkan alasan migrasi nelayan ini karena akses untuk mendapatkan ikan di beberapa wilayah di pesisir Jawa sudah terbatas. ”Sehingga mereka perlu menempuh jarak yang lebih jauh untuk mendapatkan tangkapan ikan yang banyak,” katanya.
Iriansyah menceritakan kondisi dan kerentanan nelayan di beberapa daerah berbeda-beda, dilihat dari pesaing dan ekosistem. Persaingan yang dimaksud yaitu nelayan dengan nelayan lain yang memiliki kapal lebih besar, termasuk perusahaan penangkapan ikan.
”Tadi digambarkan sedikit di film, saingan para nelayan kecil ini adalah perusahaan yang menggunakan kapal besar dan masuk ke wilayah kapal kecil untuk menangkap ikan. Padahal sudah diberi ketentuan bahwa tidak boleh masuk, tapi semenjak ada Omnibus Law (UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja), tolok ukur batasan ini dihapuskan. Hal ini menyebabkan nelayan kecil harus bersaing dengan nelayan besar untuk mencari ikan di wilayahnya,” kata Iriansyah menjelaskan.
Ia pun memaparkan terkait kerusakan ekosistem pesisir yang berbeda di setiap tempat. Misalnya, di Kalimantan di pesisir Balikpapan dan Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, lokasi ibu kota negara yang baru. Menurut dia, kondisi ekosistem di sana terganggu karena banyak bekas galian tambang batubara yang dibiarkan terbuka. Ditambah lagi, terjadi banyak penebangan pohon di daerah hulu yang berdampak pada daerah hilir.
Jika material yang berisi sedimentasi tanah dari penggundulan hutan dan zat berbahaya bekas galian tambang terbawa aliran sungai, akan terbuang ke laut. Hal ini mengganggu ekosistem di pesisir dan laut.
Penyelenggara acara dari Greenpeace, Zamzam, menuturkan, pemilihan film ini tidak dapat dilepaskan dari dampak perubahan iklim yang memengaruhi seluruh aspek kehidupan, termasuk yang terjadi pada nelayan. Ketika pekerjaan yang berhubungan dengan produksi pangan terdampak perubahan iklim, maka akan berpengaruh pada makanan yang dikonsumsi masyarakat.
”Isu dalam film ini masuk pada isu perubahan iklim yang diangkat Chasing The Shadow. Hanya saja dampak dan penyebabnya beragam,” kata dia. Pemutaran film Angin Timur merupakan salah satu rangkaian acara Chasing The Shadow yang diadakan 15-16 Oktober 2022 yang digelar Greenpeace.
Artikel ini telah mengalami perubahan/koreksi. Sebelumnya tercantum film "Angin Timur" diproduksi Watchdoc.