Ekosistem riset bioteknologi di Indonesia belum terbangun dengan baik. Pemerintah mesti merancang strategi bioteknologi kesehatan nasional.
Oleh
Mis Fransiska Dewi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan sumber daya manusia menjadi kunci upaya memajukan bioteknologi kesehatan di Indonesia. Hal itu dapat dilakukan melalui kolaborasi antara sektor pendidikan dan kesehatan. Namun, ekosistem riset mengenai bioteknologi di Indonesia masih mengalami kendala.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, bioteknologi terkait erat dengan perkembangan dunia kesehatan mulai dari menghadirkan produk pencegahan penyakit hingga penguatan kesehatan. ”Kemajuan teknologi tidak akan cukup dalam pengembangan bioteknologi. Sebab, aset terpenting yang harus kita jaga dan tingkatkan adalah mutu SDM (sumber daya manusia),” ujarnya saat membuka program HigherHeight, di Jakarta, Jumat (14/10/2022).
Sepuluh tahun lalu pembuatan vaksin masih memakai metode konvensional. Saat ini para peneliti bioteknologi berhasil mengembangkan vaksin dengan memanfaatkan informasi genetik patogen atau dikenal dengan vaksin mRNA. Berkat adanya bioteknologi, penanganan SARS-CoV-2 saat pandemi Covid-19 menjadi lebih efektif.
Budi berharap agar para peneliti bioteknologi di Indonesia bisa ikut menciptakan inovasi yang dapat berguna untuk ketahanan nasional. Perlu talenta terbaik Indonesia yang mampu memanfaatkan bioteknologi. ”Memanfaatkan datanya, menciptakan pembaruan, dan menjadi produk yang dapat membantu meningkatkan kesehatan masyarakat,” ujarnya.
Namun, pengembangan bioteknologi belum diiringi dengan pengembangan kapasitas bagi dosen dan mahasiswa bioteknologi kesehatan di Indonesia. Padahal, menurut Ketua Ikatan Program Studi Bioteknologi Indonesia Listya Utami Karmawan, tenaga pengajar dan peneliti merupakan ujung tombak mencetak generasi penerus unggul untuk mendorong kemajuan bioteknologi kesehatan di Indonesia.
Namun, program studi (prodi) bioteknologi masih sedikit di Indonesia. ”Masih ada yang belum terakreditasi atau masih C akreditasinya. Masih banyak prodi yang baru didirikan dan masih dalam proses penilaian akreditasi. Kebanyakan prodi bioteknologi ada di Pulau Jawa,” tuturnya.
Tenaga pengajar dan peneliti merupakan ujung tombak mencetak generasi penerus unggul untuk mendorong kemajuan bioteknologi kesehatan di Indonesia.
Listya mengatakan, 19 prodi bioteknologi terdapat di Pulau Jawa, 2 di Sumatera, 1 di Sulawesi, 1 di Buton, 2 di Maluku, 1 di NTB, dan 2 di Bali. Sementara, menurut QS Word University Rankings, prodi bioteknologi di Indonesia berada di urutan 551 sampai 600. ”Indonesia harus lari lebih kencang karena belum ada nilai QS-nya dan ini jadi PR,” ujarnya.
Listya mengaku masih terkendala fasilitas yang digunakan dalam pengembangan bioteknologi di Indonesia untuk skala universitas. Alat yang digunakan sangat canggih seharga puluhan bahkan ratusan juta rupiah sehingga membutuhkan komitmen berbagai pihak.
Selain itu, dia kesulitan mendesain kurikulum jika tidak ada kolaborasi akademisi, pemerintah, industri, komunitas, dan media massa. ”Makanya harus mengetahui tujuannya dan jangan sampai jalan sendiri-sendiri akademisi dengan idealismenya sendiri, ternyata di industri dan pemerintah lain,” ucapnya.
Direktur Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Roy Himawan mengatakan, saat ini pengembangan SDM kesehatan didorong dengan cara tak konvensional. Sumber daya manusia kesehatan direkrut dengan pendekatan kepada diaspora berprestasi di luar negeri dan tenaga kesehatan lulusan universitas terbaik untuk berpartisipasi meningkatkan kesehatan di Indonesia.
”Untuk bioteknologi perlu dilihat apakah ini menjadi profesi tenaga kesehatan atau tidak. Selama ini tenaga kesehatan diatur dalam undang-undang tetapi di dalamnya kita belum melihat ada tenaga kesehatan bioteknologi,” katanya. Padahal SDM bioteknologi akan mewarnai berbagai aspek kesehatan, baik tenaga medis, kesehatan, perawat atau radiologi.
Industri bioteknologi
Sumber daya manusia dan infrastruktur Research and Development (RnD) merupakan faktor pendukung utama inovasi bioteknologi. Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) Inge Kusuma mengatakan, Indonesia mencatat skor terendah dalam kategori SDM dan infrastruktur RnD di antara negara-negara Asia lainnya.
Dibandingkan negara lain, jumlah periset bioteknologi Indonesia paling rendah. Namun, jika melihat trennya akan meningkat. Jumlah tenaga riset per 1 juta penduduk Indonesia hanya 90 orang. Bandingkan dengan Singapura yang saat ini menjadi pusat industri bioteknologi paling maju.
”Tahun 2000 tidak ada industri biofarmasi yang didirikan di Singapura, tapi sekarang sudah ada 18 perusahaan. Singapura bisa seperti itu karena memfasilitasi ekosistem bioteknologi yang inovatif,” kata Inge.
Inge mengungkapkan, 10 tahun terakhir hampir semua perusahaan farmasi berevolusi menjadi biofarmasi karena begitu banyak inovasi penemuan bidang bioteknologi dan obat-obatan biologi. Lima tahun ke depan obat-obatan biologi akan meningkat dua kali lipat proyeksinya.
Tahun 2014 sampai 2023, proyeksinya masih 25 persen. Tahun 2027 obat-obatan biologi menjadi segmen terbesar mengalahkan obat-obatan kimia. ”Contoh obat biologi ada antibodi monoklonal yang sekarang banyak dipakai dan vaksin,” kata Inge.
Tren industri farmasi sudah berubah karena berbasis riset yang dilakukan perusahaan global. Jika tidak dimanfaatkan periset di Indonesia, akan tertinggal jauh dari negara lain.
Menurut Inge, di indonesia banyak infrastruktur RnD bioteknologi yang belum mendukung karena belum sampai pada level yang dibutuhkan oleh pihak industri. Infrastruktur bisa dibangun, tetapi SDM masih banyak kendala. Untuk para periset masih sekadar angka.
”Tenaga riset kalau dikasih pendanaan sama dengan pemda, maka seharusnya membuat kebijakan lintas sektoral yang mendukung ekosistem bioteknologi,” ujarnya. Kalau mau mendidik dan menghasilkan lebih banyak periset, hal itu merupakan kepentingan untuk Kemenkes, tetapi kurikulum berada di ranah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Sejauh ini belum terjadi kolaborasi pengembangan SDM bioteknologi antar-kementerian terkait.
Maka dari itu, pemerintah seharusnya bisa merancang, mengimplementasikan, dan mengukur kinerja dari cetak biru strategi bioteknologi kesehatan nasional. Pembangunan ekosistem riset harus dilakukan dengan standar internasional, termasuk dukungan pendanaan, regulasi, dan insentif untuk riset.
Para akademisi juga harus meningkatkan jumlah dan kualitas tenaga pengajar lulusan bioteknologi kesehatan. Kemitraan strategis antarsektoral perlu dilakukan seperti pemerintah, perguruan tinggi, dan industri untuk mempercepat kurva belajar.