Domestikasi Satwa Liar Tidak Boleh Mengesampingkan Konservasi
Domestikasi satwa liar mungkin dilakukan. Meski begitu, aspek konservasinya tidak boleh diabaikan.
Oleh
Mis Fransiska Dewi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Satwa liar memiliki peranan penting dalam menyeimbangkan lingkungan. Kegiatan berbasis ekonomi dan ekologi sosial dalam kehidupan satwa liar dapat digali dan diberdayakan sehingga hewan yang sudah ada dapat didomestikasi tanpa mengesampingkan aspek konservasinya.
Anggota Komisi Ilmu Pengetahuan Dasar Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Jatna Supriatna dalam acara Widjojo Nitisastro Memorial Lecture tahun 2022, Kamis (13/10/2022), mengungkapkan, domestikasi hewan liar yang sudah ada dapat dilakukan agar memberikan manfaat ekonomi dan keseimbangan ekologis serta kemajuan sosial. ”Ekonomi dan ekologi sosial harus seimbang karena dua-duanya membicarakan eko atau oikos mengenai rumah kita. Maka dari itu, harus betul-betul lestari karena kalau satu meniadakan yang lain, manusia tidak akan mendapatkan benefit apa-apa,” katanya.
Jatna mengungkapkan, Indonesia memiliki ribuan ikan, tetapi yang didomestikasi tidak ada. Pada zaman Majapahit, Indonesia mendomestikasi ikan bandeng dan berhasil, tetapi saat ini bandeng berasal dari luar negeri. Ikan mas dari China, gurame dari China, ikan nila, dan ikan mujair dari Afrika.
”Itu salah besar, kenapa ikan kita tidak diberdayakan, tidak didomestikasi,” kata Jatna.
Menurut Jatna, satwa liar merupakan hadiah bangsa Indonesia karena berada di ring of fire. Sebanyak 17 persen satwa liar di dunia terdapat di Indonesia walaupun luas Indonesia hanya 1,3 persen daratan dunia. Selain itu, 10 persen tumbuhan berbunga, 15 persen serangga, 25 persen ikan, 16 persen amfibi dan reptil, 17 persen burung, serta 12 persen mamalia dunia ada di Indonesia.
”Ada ikan yang panjangnya 1 meter. Kenapa kita harus ambil lele dumbo, padahal ada lele sangkuriang, ikan jelawat, ikan tapah, dan ikan lainnya dari Kalimantan dan Sumatera yang besar-besar. Itu bisa kita domestikasi menjadi ikan konsumsi. Anoa masih bisa kita pakai, tapi perlu penelitian, perlu riset biologi, perlu ada pendanaan,” ujar Jatna.
Manfaat domestikasi juga dapat dirasakan secara langsung seperti burung murai batu yang dihargai Rp 150 juta per ekor, khususnya burung-burung yang menang kompetisi burung kicau. Bahkan, Presiden Joko Widodo pernah menawar burung kicau seharga Rp 600 juta. Kemudian ratusan orang dari Malaysia datang ke Indonesia untuk melihat kompetisi burung kicau.
Ekonomi dan ekologi sosial harus seimbang karena dua-duanya membicarakan eko atau oikos mengenai rumah kita. Maka dari itu, harus betul-betul lestari karena kalau satu meniadakan yang lain, manusia tidak akan mendapatkan benefit apa-apa.
Di samping itu, beberapa jenis satwa liar juga sangat sedikit yang bisa didomestikasi karena sumber pangan tertentu dan terbatas, seperti koala, kecepatan pertumbuhannya terlalu lambat seperti gajah dan gorila, tidak bisa ditangkarkan seperti cheetah dan vicuna, dan sulit digembala seperti rusa dan antelope.
Konservasi satwa liar di Indonesia juga menghadapi tantangan yang berat karena kesadaran konservasi satwa liar masih sangat rendah, baik di level masyarakat maupun para pengambil kebijakan. Tidak mudah untuk mendamaikan konflik-konflik kepentingan perebutan ruang hidup antara satwa liar dan manusia dalam realitas sosio-ekonomi Indonesia. Lemahnya inovasi teknologi pertanian dan rendahnya ketersediaan lahan akan meningkatkan kompetisi satwa dan manusia.
Konservasi satwa liar pada dasarnya membutuhkan pendekatan transdisipliner, yaitu integrasi dan koordinasi berbagai disiplin ilmu dengan inovasi masyarakat. Problema konservasi satwa liar di Indonesia sering kali menemukan jalan buntu karena sempitnya sudut pandang dan penerapan ilmu-ilmu lingkungan ortodoks yang memandang problem secara simpel dan mengabaikan kompleksitas kondisi setempat.
Wisata satwa liar
Di Indonesia, belum jelas siapa yang mengampu dan mengembangkan wisata alam hidupan liar. Pengampu masalah hidupan liar adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tetapi tugas pokok mereka adalah menjaga dan mengembangkan kawasan konservasi dan seisinya, termasuk satwa liar. Sementara Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif masih belum mampu membantu dalam mengembangkan wisata hidupan liar.
”Pemerintah daerah juga belum tahu bagaimana mengembangkan kebijakan wisata berbasis satwa liar. Bila pengembangan wisata hidupan liar ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ekologi satwa yang menjadi daya tarik wisata, alih-alih mendapat dana, mungkin satwa liar tersebut populasinya menjadi terganggu,” katanya.
Secara global, lebih dari separuh populasi manusia bergantung langsung pada keanekaragaman hayati. Satwa liar mendukung kehidupan 15 persen populasi manusia, dan merupakan sumber utama protein bagi lebih dari 1 miliar penduduk termiskin. Nilai total pemanenan satwa liar diperkirakan 400 miliar dollar AS. Penurunan populasi satwa liar dapat meningkatkan ketidakstabilan regional dan peningkatan terorisme di beberapa negara.
Anggota Komisi Ilmu Pengetahuan Dasar Damayanti Buchori mengungkapkan, ekonomi dan ekologi sering ditabrakkan ketika membicarakan pembangunan. Seharusnya ekonomi dan ekologi berjalan bersama-sama.
”Krisis ekologi dan iklim pandemi saat ini bisa untuk merenung mencari titik, sebenarnya apa arti alam bagi kita dan membentuk paradigma yang baru kalau Indonesia leading di situ,” ujarnya.