Membangun Kebanggaan Positif Suporter
Suporter sepak bola memiliki perilaku khas. Namun, stigmatisasi membuat suporter sering dikambinghitamkan atas kericuhan yang terjadi. Padahal, perilaku suporter adalah cerminan situasi sosial politik di sekitar mereka.
Dalam setiap kericuhan yang menyertai laga sepak bola, baik di dalam maupun di luar lapangan, suporter adalah kelompok yang paling mudah disalahkan. Sebagai satu-satunya pihak yang harus membayar untuk menikmati pertandingan, posisi mereka memang paling lemah. Padahal, perilaku suporter sejatinya adalah cerminan situasi sosial politik di sekitar mereka.
Keributan dalam pertandingan sepak bola, baik yang melibatkan sesama suporter, suporter dengan aparat, atau terkadang suporter dengan pemain, bukanlah fenomena khas Indonesia. Di negara-negara maju sekalipun, dengan sistem pengelolaan olahraga dan pertandingan yang baik, potensi kericuhan pertandingan tetap ada.
Pertandingan antara Persebaya Surabaya dan Arema Malang di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, pada 1 Oktober 2022 berakhir dengan kericuhan yang menewaskan 132 orang dan melukai ratusan orang berdasarkan data pada Selasa (11/10/2022). Lima hari berikutnya, seperti dikutip dari The Guardian, Jumat (7/10/2022), keributan serupa terjadi di Stadion Juan Carmello Zerillo, La Plata, Argentina.
Kedua kasus sama-sama dipicu oleh penggunaan gas air mata. Bedanya, kasus Kanjuruhan terjadi karena penembakan gas air mata ke tribune penonton seusai pertandingan, sedangkan kasus di Argentina terjadi karena penembakan gas air mata dari luar stadion yang melayang ke dalam stadion sebelum pertandingan. Data sementara, satu orang tewas dalam kasus di Argentina.
Baca juga : Setia kendati Kalah
Dalam perkara Tragedi Kanjuruhan, hingga Senin (10/10/2022), penyidik Polri telah menetapkan enam tersangka, tiga di antaranya personel Polri. Selain itu, 20 personel kepolisian diduga melanggar etik dan menjalani proses lebih lanjut di Polri. Enam di antaranya personel Kepolisian Resor Malang. Sisanya, dari Satuan Brimob Kepolisian Daerah Jatim.
Selain itu, Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo memutasi Kepala Polda Jatim Inspektur Jenderal Nico Afinta sepekan setelah Tragedi Kanjuruhan. Sebelumnya, Kapolri menonaktifkan Kepala Polres Malang Ajun Komisaris Besar Ferli Hidayat pada Senin (3/10/2022). Pada hari yang sama, sembilan anggota Brimob Polda Jatim dinonaktifkan, yakni komandan batalyon, komandan kompi, dan komandan peleton (Kompas.id, 11 Oktober 2022).
Psikolog sosial yang juga Ketua Departemen Psikologi Universitas Brawijaya, Malang, Ali Mashuri, Selasa (4/10/2022), mengatakan, suporter datang ke stadion menonton sepak bola dengan identifikasi terhadap klub kesayangannya secara berbeda. Proses identifikasi itu akan menentukan perilaku suporter selama pertandingan, termasuk potensi mereka berlaku anarki.
Sebagian suporter datang hanya untuk menikmati pertandingan bola alias membawa identifikasi netral. ”Namun, ada pula yang datang ke stadion guna melepaskan kepenatan hidup yang ditanggung alias membawa identifikasi destruktif atau kontraproduktif,” katanya.
Bagi sebagian kalangan, sepak bola adalah representasi paling dekat atas identitas sosiokultural mereka sehingga dijadikan alat untuk melepas beban persoalan hidup mereka. Keinginan itu membuat dalam pikiran mereka telah tertanam ilusi kekerasan sejak dari rumah. Saat di stadion dan bertemu dengan orang yang punya masalah sama, mereka berubah jadi kekuatan sosial yang masif dan berpotensi menghasilkan kekerasan.
”Ilusi tentang kekerasan itu membuat menang atau kalahnya tim kesayangan mereka tidak menjamin tidak adanya perilaku kekerasan saat pertandingan usai,” tambah sosiolog politik Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, Rezza Akbar, Rabu (5/10/2022). Karena sumber kepenatan hidup itu adalah negara, maka negara punya andil dan tidak bisa lepas tangan atas kekerasan yang terjadi.
Dukungan besar suporter itu bukan hanya untuk tim, melainkan juga pemain klub kesayangan. Bagi suporter, pemain sepak bola adalah duta atas identitas dan kehidupan mereka. Harapan suporter kepada pemain sangat besar sehingga suporter tidak rela atau akan marah jika pemain kebanggaan mereka tidak menunjukkan etos yang besar.
”Saat tim kesayangan kalah, tetapi pemainnya tidak menunjukkan rasa sedih, itu sangat menyakiti hati suporter,” kata Rezza. Bagi suporter garis keras, tidak masalah mereka harus menabung sekian waktu atau melakukan apa pun agar bisa pergi ke stadion atau membeli tiket mahal pertandingan. Namun, mereka menuntut para pemain berjuang keras untuk diri mereka, tim, dan juga suporter.
Fanatik
Di luar persolan identitas, suporter menonton bola bukan hanya untuk menikmati pertandingan, melainkan juga ingin turut merasakan kehebatan dan kebahagiaan saat tim idola mereka menang.
Sikap mental yang mengasosiasikan diri dengan keberhasilan orang lain itu disebut basking in reflected glory (BIRGing) alias memaparkan diri terhadap pantulan kemenangan yang dibuat orang lain. Bahkan, perasaan bahagia dan emosi positif atas kemenangan tim kesayangan itu masih terasa hingga sehari setelah pertandingan usai.
Namun, saat tim idola kalah, suporter umumnya berusaha menjaga jarak dengan tim alias cut of reflected failure (CORFing), yaitu gagasan untuk memisahkan diri dari orang dengan status lebih rendah karena mereka tidak ingin reputasinya terganggu oleh orang yang kalah. Sikap ini membuat kekalahan tim adalah kekalahan tim itu sendiri, bukan kekalahan suporter.
Baca juga : Subkultur Suporter Sepak Bola
”CORFing menjadi ujian bagi suporter, apakah mereka penggemar sejati yang tetap menyayangi tim idolanya tanpa peduli kalah dan menang atau penggemar fanatik yang identifikasi dengan timnya tergantung pada naik turunnya skor pertandingan,” tulis Susan Krauss Whitbourne, profesor emeritus psikologi dan neurosains Universitas Massachusetts Amherst, Amerika Serikat, di The Psychology Today, 30 Desember 2011.
Semua suporter memiliki fanatisme terhadap tim kesukaannya. Namun, kadar fanatisme suporter dengan identitas netral dan destruktif berbeda. Suporter yang sangat fanatik gemar mengglorifikasi timnya hingga menganggap timnya superior dan mengabaikan sejumlah kekurangan tim tersebut. Kecintaan berlebih terhadap tim itu memunculkan narsisisme kolektif.
”Perpaduan antara glorifikasi terhadap tim dan narsisisme kolektif itu gampang memunculkan emosi negatif berlebih hingga mudah memicu perilaku anarki,” kata Ali menambahkan.
Peluang anarki itu akan semakin besar jika tim idola bertanding melawan tim yang jadi rival sejatinya. Kesejarahan rivalitas antartim sepak bola itu harus jadi perhatian serius pengelola pertandingan, aparat, dan pengambil kebijakan. Meski suporter tim lawan tidak hadir dalam pertandingan, semangat rivalitas itu membuat saat pertandingan berakhir, menang atau kalah, potensi kericuhan tetap ada.
Ketika anarki terjadi dalam sebuah pertandingan sepak bola, individu suporter akan bergabung menjadi kekuatan sosial yang masif. ”Dalam kumpulan massa, seseorang yang rasional dan kalem pun bisa terprovokasi dan bergabung dalam massa anarki. Mereka yang semula memiliki identitas netral bisa menjadi destruktif,” tambah Ali.
Leburnya perilaku individu menjadi perilaku massa itu sebenarnya sudah terjadi jauh sebelum kerusuhan terjadi. Saat suporter berkumpul, menurut Whitbourne, akan terjadi disinhibisi, yaitu perilaku yang tidak sesuai norma atau aturan sosial akibat hilangnya kemampuan mengendalikan diri. Suporter bisa berteriak, berdiri, bersorak, bernyanyi, dan saling mendukung dengan suporter lain yang tidak saling kenal.
”Sikap acuh itu bisa menimbulkan kekacauan dan membuat gaduh saat turun ke jalan, baik menang atau kalah,” tulisnya.
Menghadapi situasi tersebut, lanjut Ali, otoritas perlu memiliki kebijakan tepat terhadap kerumunan. Tindakan tegas atau represif aparat memang dibutuhkan, tetapi itu hanya berlaku bagi suporter anarki. Penanganan massa secara keseluruhan harus disesuaikan dengan karakter setiap suporter atau tidak disamaratakan.
”Penyamarataan tindakan terhadap suporter justru bisa memancing suporter netral yang damai untuk ikut bertindak anarki,” tambahnya. Situasi itu membuat penembakan gas air mata ke tribune penonton, seperti yang dianggap jadi penyebab kepanikan massa dalam Tragedi Kanjuruhan, menjadi tidak tepat.
Meski demikian, Ali mengakui, dalam situasi chaos, aparat sering kali kesulitan menerapkan kebijakan yang tidak menyamaratakan tersebut. Apalagi, jika aparat sudah panik dulu karena tidak biasa menghadapi massa yang beringas dalam pertandingan sepak bola. ”Kepanikan akan membuat kebijakan yang diambil menjadi tidak masuk akal,” katanya.
Penanganan massa secara keseluruhan harus disesuaikan dengan karakter setiap suporter atau tidak disamaratakan.
Karena itu, profesionalisme dan kompetensi aparat dibutuhkan. Aparat seharusnya bisa membangun relasi yang egaliter dengan suporter, bukan justru merasa sebagai pemilik kuasa yang berwenang mengatur dan represif kepada suporter.
Aset
Untuk mengelola perilaku suproter ini, Rezza menilai perlunya kerja sama semua pihak, baik suporter, pemain, pengelola klub, penyelenggara pertandingan, organisasi induk olahraga, aparat, maupun pemerintah. ”Stigmatisasi dan penyudutan suporter sepak bola hanya akan membuat suporter makin jauh dari kondisi yang diharapkan,” ujarnya.
Aparat dan pemerintah masih memproduksi stigma suporter bola sebagai perusuh dan pemabuk sehingga membuat citra suporter makin buruk. Tanpa disadari, pelabelan seperti itu justru akan membuat suporter makin kehilangan respek dan kepercayaan terhadap pemimpin, aparat, hingga pengelola olahraga.
”Negara dan aparat adalah pemangku kebijakan yang ada untuk menghasilkan tatanan demi menjaga ketertiban. Karena itu, jika ingin suporter tertib, benahi dulu tatanannya. Semua pihak harus bertransformasi demi menuju sistem olahraga yang lebih baik,” tutur Rezza.
Bagaimanapun, seburuk apa pun label yang sering ditempelkan kepada suporter, suporter sejatinya adalah aset. Karena itu, edukasi dan pemberdayaan suporter perlu dilakukan secara berkelanjutan. Pimpinan kelompok suporter atau koordinator wilayah suporter adalah orang yang tepat untuk membangun kebanggaan positif suporter dan tidak berlebihan.
”Jika suporter matang dan identitas yang dibangun positif, maka saat ada suporter anarki, suporter lain yang akan menindaknya sendiri sehingga mampu menekan potensi anarki yang lebih besar,” pungkas Ali.