Meskipun Ditjen Diktiristek telah menggabungkan ratusan PTS yang dinilai tidak sehat, nyatanya penggabungan ini tidak lantas diterima begitu saja di tataran setiap perguruan tinggi.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memiliki program untuk menggabungkan atau merger beberapa perguruan tinggi swasta atau PTS yang dinilai kurang sehat. Dalam implementasinya, beberapa PTS mengaku enggan bergabung atau menggabungkan diri dengan PTS lain.
Direktur Kelembagaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Diktiristek), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Lukman, Senin (10/10/2022), di Jakarta, menyebutkan, indikator untuk menilai perguruan tinggi (PT) yang tidak sehat, yaitu melalui hasil akreditasinya. Hasil akreditasi didapat dengan melihat indikator sumber daya manusia yang meliputi dosen dan mahasiswa, fasilitas, kurikulum, capaian pembelajaran, hingga alumni.
Per 22 September 2022, data Kemendikbudristek menunjukkan bahwa 1.291 dari 3.041 PTS di seluruh Indonesia belum terakreditasi. Hanya 16 PTS dengan akreditasi unggul, 83 PTS dengan akreditasi baik sekali, dan 430 PTS dengan akreditasi baik.
”Penggabungan ini bertujuan agar PTS bisa lebih kuat dan sehat. Selain itu, dari sisi manajemen dan tata kelola dapat lebih efektif. Saat ini banyak PTS yang bermasalah kita tutup karena tidak memenuhi standar nasional pendidikan tinggi. Standarnya bisa dilihat dari hasil akreditasi, kalau tidak terakreditasi, PT tidak bisa meluluskan mahasiswa,” ujar Lukman.
Lukman menambahkan, selama lima tahun Dikti telah menggabungkan 720 PTS menjadi 278 PTS. Untuk mempercepat upaya ini, Dikti memberi Rp 100 juta kepada setiap perguruan tinggi yang mau untuk digabungkan. Selain itu, dalam penggabungannya, PTS yang memiliki akreditasi lebih rendah akan dinaikkan akreditasinya sama dengan PTS yang lebih tinggi.
Salah satu lembaga yang pernah mendapat tawaran untuk menerima PT gabungan dengan akreditasi lebih rendah adalah Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) IBLAM. Ketua STIH IBLAM Gunawan Nachrawi menyebutkan, pihaknya enggan melakukan merger.
Dalam konteks ini, STIH IBLAM, menurut rencana, akan digabungkan dengan PT hukum lain, tetapi pihaknya menolak. Sebab, STIH IBLAM memiliki visi berkembang menjadi institut hingga universitas sehingga membutuhkan jenis program studi (prodi) lain.
Saat ini STIH IBLAM memiliki 3.500 mahasiswa dengan akreditasi sangat baik untuk strata 1 (S1) dan strata 2 (S2). Menurut Kepala Biro Humas dan Kerja Sama STIH IBLAM Rani Yuwafi, selama pandemi, jumlah pendaftar STIH IBLAM justru meningkat karena gencarnya publikasi yang dilakukan. Setiap tahun bisa menerima hampir 1.000 mahasiswa baru jalur reguler dan karyawan untuk semua tingkat pendidikan.
Berbeda dengan STIH IBLAM, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi dan Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STIE-STMIK) Jayakarta, Jakarta Pusat, justru ingin menggabungkan dua sekolah tinggi. Tim Program Studi STIE Jayakarta, Arie Martin Parulian, di Jakarta Pusat, Selasa (11/10), menjelaskan, STIE dan STMIK merupakan dua institusi berbeda yang berada dalam satu Yayasan Dharma Pendidikan Jakarta. Dua sekolah tinggi ini akan digabungkan menjadi universitas.
Data Kemendikbudristek menunjukkan, sebanyak 1.291 dari 3.041 PTS di seluruh Indonesia belum terakreditasi.
”Kami sedang proses pengajuan ke Dikti menjadi Universitas Jayakarta. Penggabungan dilakukan agar secara kelembagaan bisa lebih efektif dan fleksibel. Secara citra (branding) juga akan lebih baik kalau universitas,” ujarnya.
Saat ini total terdapat enam prodi di STIE-STMIK yang meliputi akuntansi, manajemen, hingga teknik informatika. Jumlah mahasiswa aktif di perguruan tinggi ini sekitar 900-1.000 mahasiswa dengan rata-rata setiap tahunnya menerima 200-250 mahasiswa. Akreditasi keseluruhan prodi di STIE-STMIK yaitu baik sekali, sedangkan akreditasi institusinya tergolong baik.
Ketua STIH Litigasi, Jakarta Pusat, Achmad Ubbe mengatakan, saat ini kampusnya masih sehat dan mampu untuk berdiri sendiri meskipun memiliki sekitar 110 mahasiswa pada tingkat diploma 3 (D3) dan S1. Secara pembiayaan, STIH Litigasi mengaku masih cukup untuk membiayai operasional. Prodi di STIH Litigasi terakreditasi sangat baik, sedangkan akreditasi institusinya tergolong baik.
”Kalau penggabungan terjadi, mestinya cari yang serumpun, tapi kami harap tidak terjadi penggabungan,” ucapnya.
Pengajar di STIH Litigasi, Wisnu Hadiwibowo, menambahkan, penggabungan PT berarti juga menggabungkan dua yayasan dengan kepentingan berbeda. Hal yang perlu diperhatikan juga adalah bagaimana dengan kepastian dosen, tenaga pendidik, dan karyawannya, apakah akan terserap sepenuhnya atau tidak.