Perlindungan Mangrove di Luar Kawasan Konservasi Lemah
Mangrove memiliki peran besar dalam mitigasi perubahan iklim. Melindungi dan merestorasi ekosistem mangrove merupakan langkah penting yang harus segera dilakukan oleh pemerintah.
Oleh
Mis Fransiska Dewi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan yang tidak terencana dengan baik mengancam keberadaan mangrove. Padahal, mangrove berperan besar dalam mitigasi perubahan iklim. Itu sebabnya, pemerintah seharusnya segera melindungi dan merestorasi ekosistem mangrove.
Direktur program Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA) Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Imran Amin mengatakan, hanya 30 persen mangrove di kawasan konservasi yang dilindungi di Indonesia. Sisanya, 70 persen, ekosistem mangrove di luar kawasan konservasi terancam.
”Regulasinya ada, tetapi yang dilindungi hanya yang di dalam kawasan konservasi. Di luar kawasan, dikelola dengan prinsip berkelanjutan. Abu-abu ya. Jadi kalau di luar, ya, tergantung peruntukan ruangnya,” kata Imran, Senin (10/10/2022).
Berdasarkan data badan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove, hingga tahun 2021, ekosistem mangrove di Indonesia tercatat seluas 3,3 juta hektar. Lahannya tersebar di hutan konservasi seluas 748.271 hektar, hutan lindung (907.724 hektar), hutan produksi (1 juta hektar), dan area penggunaan lain seluas 702.789 hektar. Dari luas tersebut, lebih dari 600.000 hektar mangrove kondisinya kritis dan harus direhabilitasi.
Menurut Imran, pemerintah terlalu lama membuat peraturan. Ia khawatir Undang-Undang Cipta Kerja mengatur pemanfaatan lahan mangrove. Sebab, perencanaan tata ruang sebelumnya sudah lebih dulu mengalokasikan kawasan mangrove sebagai lahan pemanfaatan umum.
”Setiap daerah yang mempunyai mangrove wajib melindungi 60 persen kawasannya. Pemerintah daerah yang mempunyai mangrove akan menghitung mana kawasan yang boleh dipakai dan tidak untuk pemanfaatan umum,” ujar Imran.
Direktur Rehabilitasi Perairan Darat dan Mangrove Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Inge Retnowati mengungkapkan, rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove telah dibuat sejak awal tahun 2022.
Namun, diskusi baru intens dilakukan sejak beberapa bulan yang lalu. Inge mengaku sering melakukan konsultasi publik dan menanyakan pendapat masyarakat terkait RPP tersebut. Menurut dia, tata kelola mangrove di setiap kawasan akan diatur.
Hanya 30 persen mangrove di kawasan konservasi yang dilindungi di Indonesia. Sisanya, 70 persen, ekosistem mangrove di luar kawasan konservasi terancam.
”Mangrove untuk kawasan wisata tidak masalah. Untuk kepentingan lain akan dibuka seperti apa nanti diatur. Kawasan tambak itu seperti apa tata caranya. Yang salah itu kalau mau dibuka, habis lahannya. Ada caranya, ada batas pemanfaataannya, ada kriterianya yang akan kita atur,” kata Inge.
Direstorasi
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jakarta Abdul Kodir mengatakan, BKSDA memiliki tugas dan mandat hanya melindungi ekosistem dan kawasan konservasi. Di luar kawasan konservasi tidak menjadi tanggung jawabnya.
Berdasarkan pantauan di Suaka Margasatwa (SM) Muara Angke, Jakarta Utara, Senin (10/10/2022), kondisi SM Muara Angke sedang direstorasi agar kondisi ekosistem mangrove di sana bisa kondusif kembali untuk regenerasi secara alami. Cara tersebut dilakukan karena lebih efisien dan ampuh daripada sekadar tanam tinggal.
Kegiatan restorasi yang dilakukan seperti pembangunan kanal air ke arah sungai agar air asin bisa masuk, pengendalian tumbuhan invasif untuk mengurangi dominasi tumbuhan seperti eceng gondok, penambahan jalan kayu sepanjang 500 meter, pembangunan gedung informasi, dan pembuatan menara pantau untuk mengamati burung dan kegiatan alam liar. Selain itu, pemasangan cerucuk bambu sepanjang 203 meter di sejumlah lokasi agar sampah atau eceng gondok dari luar tidak bisa masuk ke SM Muara Angke.
Suaka margasatwa yang memiliki luas 25,02 hektar itu di dominasi mangrove dewasa dengan rata-rata tinggi pohon 12,35 meter dan lingkar batang 40,09 sentimeter. Komposisi mangrove di SM Muara Angke didominasi spesies mangrove Sonnetaria caseloaris dan Nypa Fruticans.
Dalam rangka memulihkan ekosistem SM Muara Angke, sejak tahun 2017 BKSDA bekerja sama dengan YKAN. Ekosistem mangrove di SM Muara Angke sudah tidak sehat dan terbangkalai dan Kodir mengakui bahwa pemulihan mangrove di sana memerlukan biaya besar.
”BKSDA, untuk anggaran pemulihan sangat terbatas. Kemudian YKAN membantu program pemulihan ekosistem. Kami tidak menerima bantuan dana, tetapi program,” kata Kodir.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University Cecep Kusmana mengungkapkan, 1,8 juta hektar dari sekitar 3,3 juta hektar hutan mangrove di Indonesia rusak. Sekitar 52 persen kawasan mangrove yang rusak tersebut harus direstorasi dan direhabilitasi, termasuk yang ada di kawasan hutan lindung.
”Kebanyakan mangrove itu rusak karena konversi tambak, seperti di pantai utara Jawa kondisi sekarang dijadikan tambak. Indramayu, Subang, Cirebon, daerah situ tambak melulu ya, harusnya, kan, itu sabuk mangrove atau sabuk hijau. Harusnya mangrove yang tumbuh di pinggir pantai itu dikonservasi 200 meter di garis pantai jangan sampai berubah fungsi karena jasa lingkungannya banyak mangrove itu,” tutur Cecep.
Mangrove di sempadan pantai di kawasan budidaya tambak, kata Cecep, jangan sampai dijadikan kawasan budidaya. Dalam rencana tata ruang mangrove tersebut, harusnya ada di kawasan hutan lindung.
”Pada dasarnya, mangrove di kawasan lindung. Mangrove itu ekosistem yang berisiko tinggi kalau dimanfaatkan sehingga harus didorong untuk di kawasan hutan lindung,” ujar Cecep.