Orang yang mengalami masalah hingga gangguan jiwa sering enggan memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan jiwa karena takut akan stigma negatif masyarakat. Mereka kadang dianggap merusak nama baik keluarga.
Oleh
RIVALDO ARNOLD BELEKUBUN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persoalan stigma menjadi kendala utama orang dengan masalah mental dan gangguan jiwa untuk mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia. Padahal, pengobatan dan penanggulangan masalah kesehatan jiwa harus dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Perawat Rumah Sakit Rumah Sakit Jiwa Dr Soeharto Heerdjan (RSJSH), Ahmad Qafrawi, menyampaikan, masyarakat Indonesia masih memiliki stigma negatif terhadap orang dengan gangguan dan masalah jiwa. Hal ini menyebabkan orang yang mengalami masalah hingga gangguan jiwa sukar dan enggan memeriksakan diri ke fasilitas pelayanan kesehatan jiwa.
”Terkadang orang tidak mau datang ke puskesmas atau RSJ karena malu lingkungan sekitar. Selain itu, banyak kasus di mana keluarga enggan membawa anggota keluarganya yang mengalami masalah atau gangguan kejiwaan karena dianggap merusak nama baik keluarga,” ujar Ahmad, di RSJSH, Jumat (7/10/2022).
Masalah gangguan kejiwaan masih menjadi momok bagi masyarakat. Padahal, orang dengan gangguan dan masalah jiwa penting sekali untuk memeriksakan diri dan konseling ke fasilitas kesehatan yang menyediakan pelayanan kesehatan jiwa.
Menurut psikiater Ayesha Devina, hal sepele, seperti stres, jika tidak dicegah baik dapat berujung pada gangguan kejiwaan. Ayesha menyarankan, selain melakukan manajemen stres dan hidup sehat, perlu juga memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan.
Menurut data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada tahun 2021, sekitar 20 persen penduduk Indonesia memiliki potensi gangguan jiwa. Artinya, sekitar 54 juta masyarakat dapat mengalami gangguan jiwa.
Pelayanan kesehatan jiwa sering diasosiasikan dengan hal-hal buruk, seperti tempat yang kotor dengan petugas-petugas yang tidak baik.
Masalahnya, selain masyarakat masih ragu untuk memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan, jumlah psikiater di Indonesia juga masih terbatas. Kemenkes mencatat pada tahun 2021, psikiater di Indonesia hanya 1.053 orang, yang berarti satu psikiater harus bisa menangani 51.000 penduduk Indonesia yang berpotensi gangguan jiwa.
Meski begitu, beberapa fasilitas kesehatan berupaya meningkatkan pelayanan kesehatan jiwa. Di Puskesmas Kecamatan Kebon Jeruk, misalnya, tersedia layanan klinik jiwa untuk konseling serta memeriksa masalah dan gangguan kejiwaan. Biaya untuk melakukan konseling relatif murah, yaitu Rp 15.000 dan dapat ditanggung dengan BPJS Kesehatan.
Puskesmas Kecamatan Kebon Jeruk telah melakukan sosialisasi untuk mengajak masyarakat agar tidak ragu melakukan konseling atau memeriksakan masalah kesehatan jiwa yang dialami. Upaya tersebut adalah bagian dari kegiatan promotif untuk menanggulangi masalah kesehatan jiwa.
Upaya untuk menanggulangi dan mengobati masalah kesehatan jiwa diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Dalam UU tersebut dijelaskan, pengobatan dan penanggulangan masalah kesehatan jiwa dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Selain itu, upaya tersebut dilaksanakan dengan komprehensif dan berkesinambungan, artinya upaya perlu dilakukan secara menyeluruh dan berlanjut, bahkan setelah pasien direhabilitasi.
UU ini juga mengatur perbedaan istilah orang dengan gejala jiwa (ODGJ) dan orang dengan masalah kejiwaan (ODMK). Istilah ODMK merujuk pada orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko gangguan jiwa. Sedangkan ODGJ merujuk pada orang yang mengalami gangguan pikiran, perilaku, dan perasaan.
Pelayanan adalah kunci
Direktur Utama RSJSH Desmiati menjelaskan, selain rasa ragu untuk datang ke fasilitas kesehatan jiwa karena stigma negatif, masih ada bayangan buruk terhadap pelayanan kesehatan jiwa baik di puskesmas maupun rumah sakit jiwa. Pasalnya, pelayanan kesehatan jiwa sering diasosiasikan dengan hal-hal buruk, seperti tempat yang kotor dengan petugas-petugas yang tidak baik.
”Ini merupakan hal yang ingin kami ubah melalui program-program promotif, salah satunya adalah dengan menunjukan kegiatan-kegiatan yang sebenarnya dilakukan dalam RSJSH ini melalui media massa,” ujarnya.
Perawat Ahmad menyebutkan, masyarakat luas perlu tahu tentang kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam melayani dan merawat pasien ODGJ atau ODMK. Pelayanan dilakukan dengan hati-hati dan nondiskriminasi, berkeadilan, berperikemanusiaan, dan bermanfaat yang jelas terhadap pasien.
”Kami memberikan rehabilitasi dengan program-program yang bermanfaat untuk mendukung produktivitas pasien. Selain itu, kami juga memberikan pelatihan-pelatihan skill tambahan, seperti melukis, memotret, membuat kerajinan tangan, dan menari bagi pasien yang berminat,” tuturnya.
Chandra (22), salah satu pasien ODGJ di ruang Merak RSJSH, mengatakan, kegiatan yang dilakukan setiap hari membantu dirinya untuk berpikir jernih dan melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri. Ia merasa senang dengan kegiatan senam yang dilakukan setiap pagi karena membantunya untuk menjaga tubuh agar tetap bugar. Pria yang sudah dirawat selama dua minggu di RSJSH ini menyatakan siap pulang dan kembali bekerja.