Penggunaan Alat Kontrasepsi Turut Mencegah Risiko Tengkes
Penggunaan alat kontrasepsi yang tepat dinilai menjadi cara yang strategis untuk menjaga jarak kehamilan. Dengan menjaga jarak kehamilan, kejadian kekurangan gizi pun diharapkan bisa teratasi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jarak kehamilan turut menentukan kualitas pemenuhan nutrisi pada ibu dan bayi. Karena itu, penggunaan alat kontrasepsi yang tepat turut menentukan dalam upaya pencegahan dan penanganan tengkes.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (6/10/2022), mengatakan, kekurangan nutrisi pada masa kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan bayi yang dilahirkan mengalami tengkes atau stunting. Oleh sebab itu, menentukan jarak kehamilan dan jarak persalinan menjadi sangat penting.
”Peningkatan penggunaan alat kontrasepsi pascapersalinan di masyarakat terus didorong. Peran kontrasepsi ini juga sangat strategis untuk menekan tingginya unwanted pregnancy (kehamilan tidak direncanakan/diinginkan),” katanya. Stunting merupakan gagal tumbuh kembang karena kurang gizi kronis. Hal itu ditandai, antara lain, tinggi badan di bawah standar untuk anak seusianya.
Prevalensi penggunaan kontrasepsi modern (CPR) tercatat sebesar 57,2 persen. Namun, mengutip Laporan Kinerja Instansi Pemerintah 2021, angka prevalensi pemakaian kontrasepsi modern di setiap provinsi menunjukkan disparitas yang cukup tinggi. Pemakaian kontrasepsi tertinggi tercatat di Kalimantan Selatan (67,5 persen) dan Bangka Belitung (66,9 persen), sedangkan prevalensi terendah di Papua (15 persen) dan Papua Barat (28,8 persen).
Hasto menyampaikan, pemakaian kontrasepsi saat ini sudah kembali meningkat selama masa pandemi Covid-19. Namun, jumlahnya masih harus ditingkatkan. Dari sekitar 4 juta persalinan setiap tahun, pasangan usia subur yang langsung menggunakan kontrasepsi kurang dari 30 persen.
”Harus menjadi perhatian serius karena sasaran KB pascapersalinan cukup besar dan menjadi strategi yang tepat untuk terus digalakkan dan diprioritaskan kepada pasangan muda,” tutur dia.
Menurut Hasto, penggunaan alat kontrasepsi dapat bermanfaat untuk mengatur jarak kehamilan, sekaligus mencegah kehamilan yang tidak diinginkan. Dengan merencanakan kehamilan diharapkan pemenuhan nutrisi pada anak pun bisa semakin optimal.
Peningkatan penggunaan alat kontrasepsi pascapersalinan di masyarakat terus didorong. Peran kontrasepsi ini juga sangat strategis untuk menekan tingginya unwanted pregnancy (kehamilan tidak direncanakan/diinginkan). (Hasto Wardoyo)
Alat kontrasepsi yang dipilih bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Contohnya, pasangan usia subur yang menikah sebelum berusia 20 tahun sebaiknya menunda kehamilan dengan menggunakan alat kontrasepsi pil KB. Penggunaan KB pascapersalinan dengan single hormon yang tidak menghambat air susu ibu atau ASI juga dapat dipilih.
”Sudah banyak jurnal yang menunjukkan jarak kehamilan dan jarak persalinan berkorelasi positif dan signifikan terhadap kejadian undernutrition, baik pada ibu maupun bayi dan anak,” kata Hasto.
Staf pengajar Psikologi Perkembangan Anak IPB University, Melly Latifa, menuturkan, keluarga berperan penting dalam penanganan tengkes. Hal tersebut khususnya terkait dengan pola pengasuhan dan stimulasi psikososial pada anak.
Kualitas pengasuhan sangat menentukan pertumbuhan, perkembangan kognitif, kesehatan, dan kemampuan sosial seorang anak. Adapun anak dengan pengasuhan yang baik biasanya menunjukkan pertumbuhan yang optimal, bahkan bisa di atas rata-rata sekalipun berada di lingkungan yang kurang mampu.
”Dengan kata lain, anak bisa bertahan meskipun lingkungannya kurang menguntungkan,” ucapnya.
Melly mengatakan, praktik pengasuhan yang bisa dilakukan pada anak meliputi pemberian makanan yang teratur dan benar, memastikan anak baru lahir hingga usia enam bulan mendapatkan ASI eksklusif, serta perlunya pemberian stimulasi lewat permainan yang tepat.
Menurut dia, terapi bermain pada anak, termasuk pada anak dengan gizi buruk, dapat menjadi salah satu faktor psikososial untuk menurunkan risiko tengkes. Intervensi dengan stimulasi psikososial dapat bermanfaat untuk memperbaiki kualitas anak dengan tengkes di usia dewasa.
”Penting juga untuk tetap meningkatkan asupan gizi keluarga, serta memperbaiki akses air bersih dan sanitasi. Rumah tangga dengan jamban yang tidak layak dan air minum yang tidak diolah juga dapat meningkatkan risiko tengkes,” kata Melly.
Tokoh agama
Secara terpisah, Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam siaran pers terkait acara Halaqoh Nasional Pelibatan Penyuluh Agama, Da’i, dan Da’iyah untuk Mendukung Percepatan Penurunan Stunting mendorong tokoh agama untuk turut terlibat dalam edukasi mengenai pencegahan tengkes di masyarakat. Edukasi tersebut dapat disampaikan melalui pesan keagamaan dan dakwah.
Setidaknya ada lima hal yang dapat disampaikan kepada masyarakat. Pertama, ajakan untuk hidup bersih dan sehat. Kedua, ajakan untuk mengonsumsi makanan yang bergizi, terutama pada ibu hamil, ibu menyusui, dan bayi. Ketiga, ajakan untuk memberikan pengasuhan yang baik pada anak.
Keempat, ajakan untuk memberikan ASI eksklusif kepada anak selama enam bulan dan dilanjutkan dengan pemberian makanan pendamping ASI, serta konsumsi tablet tambah darah pada remaja putri, calon pengantin, dan ibu hamil. Kelima, mencegah perkawinan anak.
”Kepada penyuluh agama, da’i dan da’iyah perlu menyampaikan pesan dan dakwahnya dengan ucapan yang santun berdasarkan pendekatan agama sehingga mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat,” kata Amin.