Investigasi oleh tim independen, yang melibatkan tenaga medis, diharapkan bisa mengungkap tragedi Kanjuruhan. Bukan mencari tahu yang bertanggung jawab, melankan hal ini harus jadi pelajaran untuk mitigasi ke depan.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
Gas air mata telah lama dijadikan agen pengendali kerusuhan dengan efek klinis yang umumnya bersifat sementara, tetapi ada beberapa jenis senyawa kimia yang diketahui bisa berakibat fatal sehingga telah dilarang tidak digunakan di banyak negara. Investigasi terhadap jatuhnya ratusan korban jiwa dalam tragedi kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, juga harus dilakukan terhadap jenis dan dosis gas air mata yang dipakai.
Gas air mata umumnya berasal dari senyawa kimia non-mematikan yang digunakan untuk melumpuhkan individu yang terpapar melalui iritasi parah pada saluran napas, saluran pernapasan, mata, dan kulit. Berbagai senyawa kimia ini memiliki sejarah penggunaan dari Perang Dunia I untuk pengendalian kerusuhan, latihan militer, dan peran agen kimia.
Secara umum, senyawa ini adalah padatan yang mengkristal dengan tekanan uap rendah dan dapat dilepaskan ke udara melalui tetesan atau partikel kecil. Partikel atau droplet ini kemudian menyebabkan iritasi lokal pada membran mukosa dan kulit atau saluran udara/sistem paru melalui inhalasi.
Dokter emergensi, yang juga ahli toksinologi dari Kementerian Kesehatan, Tri Maharani, Senin (3/10/2022),mengatakan, efek klinis dapat dari gas air mata umumnya terjadi dalam hitungan detik dan bersifat sementara, sembuh dalam waktu 30 menit. Namun demikian, paparan yang lama atau paparan dosis besar, terutama di lingkungan tertutup, telah dikaitkan dengan efek yang lebih parah, termasuk luka bakar, laringospasme, dan pneumonitis kimia.
Dampak langsung kematian yang diakibatkan gas air mata sebenarnya jarang terjadi. Namun demikian, setidaknya ada dua jenis senyawa yang bisa berdampak letal, atau mematikan, sehingga saat ini tidak lagi direkomendasikan di beberapa negara.
”Perlu diselidiki, senyawa apa yang dipakai polisi di Stadion Kanjuruhan kemaren. Selain dosis dan kondisi ruangannya, jenis senyawa juga akan menentukan dampaknya bagi kesehatan,” kata Tri.
Ragam gas air mata
Eugene J Olajos dan Harry Salem dari Edgewood Chemical and Biological Center dalam papernya di Journal of Applied Toxicology (2021) menyebutkan, ”sejumlah senyawa lakrimator, menyebabkan mata mengeluarkan cairan, dan iritan, yang memicu iritasi”, telah digunakan dalam Perang Dunia I. Beberapa di antaranya senyawa akrolein (papit), bromoaseton (BA, B-stoff), bromobenzil sianida (CA,BBC), kloroaseton (A-stoff), xylyl bromide (T-stoff), dan diphenylaminochloroarsine (DM).
Selain itu, ada diphenylaminochloroarsine (adamsite), yang memiliki sebutan militer DM, dikembangkan untuk digunakan selama Perang Dunia I. Diklasifikasikan secara militer sebagai agen muntah dan sebagai sternutator, DM kerap digunakan sebagai gas air mata.
Namun sebagian senyawa kimia ini tidak lagi dipakai untuk penegakan hukum karena dianggap tidak efektif atau sebaliknya bisa membahayakan keselamatan. ”Perkembangan agen pengendalian huru-hara modern didorong kebutuhan untuk mengembangkan senyawa yang aman dan efektif yang dapat disebarluaskan dengan mudah. Agen pengendalian kerusuhan dimaksudkan untuk kelumpuhan sementara,” sebut Oljaos dan Salem.
Elissabeth Hagler, dokter emergensi dari Carolinas Medical Center, dan tim (2020) menunjukkan, saat ini ada enam senyawa kimia yang biasa dipakai untuk gas air mata, yaitu 1-Chloroacetophenone (CN), O-Chlorobenzylidene malononitrile (CS), Dibenz [b,f]-1,4-oxazepine (CR), Oleoresin capsicum (OC), Diphenylaminearsine (DM), dan Chloropicrin (PS).
Di antara enam jenis ini, DM dan PS memiliki efek yang bisa berbahaya. Senyawa DM disebutkan menyebabkan iritasi mata dan iritasi saluran pernapasan atas mirip dengan iritasi lainnya. Namun, senyawa ini juga bisa memicu kram perut, mual, muntah, diare, sakit kepala, dan sempoyongan.
”Saat ini DM seharusnya tidak lagi digunakan sebagai agen pengendali huru hara atau agen perang kimia secara internasional akibat penyakit serius pada konsentrasi tinggi, termasuk kematian akibat kerusakan paru yang parah,” sebut Hagler.
Lepas dari jenis gas yang dipakai, dalam panduan mengenai penggunaan toksin gas air mata untuk riot control, sebenarnya jelas tidak boleh dilakukan di tempat tertutup karena akan memicu akumulasi di dalam paru.
Sementara itu, paparan sedang hingga berat dari senyawa PS bisa memicu edema paru, sianosis, kulit melepuh, mual, muntah, diare, pusing, dan sakit kepala. Belakangan ditemukan ada kasus kematian sekunder akibat edema paru akibat paparan senyawa ini. ”Sebelumnya digunakan sebagai agen antihuru-hara dan agen perang kimia; tetapi tidak lagi diizinkan untuk penggunaan militer. Di Amerika Serikat, senyawa ini sekarang diizinkan sebagai pestisida,” sebut Hagler.
Perlu investigasi
Tri mengutarakan, investigasi mengenai jenis dan dosis senyawa kimia yang dipakai aparat di Stadion Kanjuruhan sangat penting, untuk mengevaluasi penggunaannya di masa datang. Jangan sampai, senyawa kimia yang dipakai termasuk jenis yang berbahaya sehingga bisa kembali menimbulkan risiko fatal di masa depan.
”Lepas dari jenis gas yang dipakai, dalam panduan mengenai penggunaan toksin gas air mata untuk riot control, sebenarnya jelas tidak boleh dilakukan di tempat tertutup karena akan memicu akumulasi di dalam paru,” katanya.
Tri menambahkan, di ruangan seperti stadion yang akses pintu keluarnya terbatas, juga harus diperhitungkan dampak psikis dari penggunaan gas air mata yang bisa memicu kepanikan. Rasa pedih dan iritasi dari gas ini akan menyebabkan orang berlarian ke luar.
”Harus ada investigasi untuk memastikan penyebab banyaknya korban jiwa. Penyelidikan bisa dilakukan dengan mengidentifikasi gejala dari korban. Apakah, selain mengalami iritasi pada mata, ada yang mual dan muntah. Sementara untuk korban yang meninggal bisa diketahui dari hasil rontgen untuk mengetahui edema paru. Idealnya harus ada otopsi terhadap korban sehingga penyebab kematian bisa lebih pasti,” kata Tri.
Dokter emergensi di Rumah Sakit Umum Daerah Saiful Anwar Kota Malang, Aurick Yudha, mengatakan perlu investigasi lebih lanjut untuk mengetahui penyebab kematian dari korban. Apakah memang karena faktor gas air mata atau karena penyebab lain, seperti terimpit saat hendak keluar.
”Kebanyakan korban yang dirujuk ke IGD mengalami kejang dan tidak sadar. Sedangkan yang masih sadar umumnya mengalami iritasi mata merah dan berair,” katanya.
Menurut Aurick, korban yang selamat yang ditangani di rumah sakitnya tidak menjalani visum repertum dari forensik. Untuk korban meninggal, dia mengaku tidak tahu apakah telah dilakukan otopsi. ”Sore kemaren pekerjaan kami (di rumah sakit) telah dinyatakan selesai, bisa jadi hanya target identifikasi tim DVI (disaster victim investigation) karena Polda juga sudah turun,” katanya.
Tri menegaskan, investigasi oleh tim independen, yang melibatkan tenaga medis, diharapkan bisa mengungkap tragedi ini. Bukan hanya mencari tahu siapa yang harus bertanggung jawab, melainkan lebih dari itu, hal ini harus jadi pelajaran untuk meminimalkan risiko di masa depan.