Kelompok Rentan Terdampak Perubahan Iklim Perlu Diakui dan Dilindungi
Harus ada pengakuan terhadap kelompok rentan agar adaptasi perubahan iklim berjalan efektif. Selain itu, kelompok rentan juga perlu dilindungi dan mendapat manfaat lebih besar daripada pihak lainnya.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Beberapa poin dalam laporan Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim atau IPCC menekankan pentingnya keadilan dalam setiap upaya mengatasi krisis iklim. Salah satu fokus keadilan iklim ini adalah mengakui kelompok yang paling rentan terdampak perubahan iklim dan melindungi hak-haknya.
Direktur Eksekutif Yayasan Pikul Torry Kuswardono mengemukakan, selama ini tidak ada definisi khusus yang menjelaskan keadilan iklim. Sebab, keadilan iklim berangkat dari tuntutan kelompok yang paling menderita akibat krisis iklim.
Laporan penilaian ke-6 (AR6) IPCC yang terbit awal 2022 juga meletakkan perhatian yang lebih besar pada keadilan iklim dibandingkan laporan ke-5 (AR5). Tercatat, frasa keadilan iklim hanya disebutkan tujuh kali dalam AR5. Sementara dalam AR6, penyebutan keadilan iklim jauh lebih banyak, yakni 182 kali.
”Apabila upaya adaptasi perubahan iklim ingin berjalan efektif, harus ada pengakuan terhadap kelompok rentan. Setelah itu, juga harus ada prosedur agar kelompok rentan tersebut bisa bersuara,” ujar Torry dalam bedah dokumen iklim dan diskusi di Jakarta, Senin (3/10/2022).
Torry menekankan, keadilan iklim secara distributif bisa diwujudkan untuk melindungi kelompok rentan. Sebab, prinisp keadilan ini, kelompok yang paling menderita akibat krisis iklim harus mendapat manfaat lebih besar daripada pihak lainnya.
Di tengah ancaman krisis iklim dan dampak pembangunan tersebut, masyarakat pesisir justru sering diabaikan dalam pengambilan keputusan.
Torry menjelaskan, dalam dua dekade terakhir, gerakan keadilan iklim di seluruh dunia telah banyak berkembang. Fokus gerakan tersebut, di antaranya, terkait upaya gugatan masyarakat kepada pihak yang dianggap bertanggung jawab menyebabkan kerusakan lingkungan atau membuat dampak krisis iklim semakin parah.
Salah satu gugatan iklim paling terkenal ialah kemenangan warga Ogoni di Nigeria melawan perusahaan minyak dan gas, Shell. Kemenangan ini membuat Shell diminta merehabilitasi lingkungan dan membayar kerugian akibat pencemaran udara kepada warga Ogoni.
Tory menyatakan, terdapat sejumlah poin utama terkait fokus keadilan iklim sesuai dengan catatan dari Glasgow Caledonian University’s Center on CJ tahun 2016. Poin tersebut mulai dari visi untuk menghapus beban yang tidak seimbang akibat perubahan iklim hingga meningkatkan tanggung jawab dan komitmen terhadap upaya adaptasi maupun mitigasi.
Manajer Kampanye Pesisir, Laut, dan Pulau-Pulau Kecil Walhi Nasional Parid Ridwanudin mengatakan, perkembangan diskursus tentang keadilan iklim semakin mendapat perhatian besar. Hal ini merupakan sebuah kemenangan kecil bagi gerakan sosial di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, sekaligus menjadi sinyal penting untuk memperkuat aksi iklim.
Menurut Parid, masyarakat pesisir merupakan salah satu kelompok yang paling rentan terkena dampak krisis iklim. Sebab, krisis iklim telah menyebabkan kenaikan tinggi muka air laut. Pada saat bersamaan, masyarakat pesisir juga harus berhadapan dengan kebijakan pembangunan yang sangat merugikan dan merampas kehidupan mereka.
Namun, di tengah ancaman krisis iklim dan dampak pembangunan tersebut, masyarakat pesisir justru sering diabaikan dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, Parid menegaskan agar masyrakat pesisir dan kelompok yang terdampak krisis iklim lainnya perlu menjadi ujung tombak dalam perumusan kebijakan.
“Selama ini, masyarakat yang menghadapi dampak krisis iklim justru menjadi kelompok yang paling tidak tahu perkembangan regulasi. Akan tetapi, secara tiba-tiba selalu lahir kebijakan yang semakin memperparah kehidupan mereka,” katanya.
Keputusan politik
Pendiri dan Peneliti Senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Bivitri Susanti menyatakan, poin terakhir dalam laporan keenam IPCC WGII dan WGIII menekankan partisipasi publik untuk mencapai perubahan yang transformatif.
Meski demikian, Bivitri memandang, implementasi konkret keadilan iklim dan perubahan yang tansformatif ini akan sulit dituangkan dalam kebijakan atau peraturan di Indonesia. Sebab, institusi politik di Indonesia kerap memunculkan tafsir yang berbeda bahkan bertentangan dengan kondisi yang ada.
Selain itu, Bivitri juga menilai bahwa isu keadilan iklim tidak pernah diangkat dan dibicarakan oleh para tokoh yang sering masuk dalam survei elektabilitas calon presiden 2024. Hal ini sudah membuktikan bahwa perubahan iklim tidak menjadi isu hangat dan belum sepenuhnya diperjuangkan oleh tokoh-tokoh tersebut.
”Jadi, hal yang perlu disoroti adalah terkait pengambilan keputusan politik dan sistem peradilan. Namun, hal lain yang barangkali bisa memunculkan optimisme adalah (gerakan) masyarakat sipil meski sekarang juga kerap berada dalam tekanan,” ucapnya.