Pelatihan Kompresi Jantung Perlu Masuk dalam Kurikulum Sekolah
Keterampilan untuk memberikan pertolongan pertama pada kasus henti jantung atau henti napas dengan resusitasi jantung paru seharusnya dimiliki oleh setiap orang. Edukasi terkait itu pun perlu diberikan sejak dini.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bantuan hidup dasar dengan memberikan kompresi dada sangat penting sebagai pertolongan pertama pada seseorang yang mengalami henti jantung. Sayangnya, hanya sedikit masyarakat di Indonesia yang dapat melakukan hal itu dengan baik. Pelatihan bantuan hidup dasar pun perlu dimasukkan sebagai bagian dari kurikulum sekolah.
Wakil Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki) Ade Meidian Ambari mengatakan, kompresi dada sebagai langkah resusitasi jantung paru (CPR) merupakan tindakan pertolongan pertama yang efektif diberikan kepada seseorang yang mengalami henti jantung atau henti napas oleh sebab apa pun. Dengan cara ini, diharapkan fungsi pompa jantung bisa pulih kembali.
”Jika kita lihat di beberapa negara lain, pertolongan dengan kompresi jantung merupakan hal lumrah yang dilakukan oleh setiap orang. Namun, itu tidak biasa bagi masyarakat Indonesia karena memang edukasi yang masih minim. Padahal, ini cara yang paling efektif sebagai pertolongan pertama pada pasien henti jantung,” katanya di sela-sela acara peringatan Hari Jantung Sedunia 2022 di Jakarta, Minggu (2/10/2022).
Karena itu, menurut Ade, edukasi atau pelatihan untuk melakukan kompresi jantung harus mulai dikenalkan sejak usia dini. Ia pun mendorong agar pelatihan kompresi jantung bisa masuk dalam kurikulum sekolah secara berlanjut hingga tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Kompresi jantung merupakan tindakan penyelamatan nyawa yang harus dilakukan segera pada seseorang yang kehilangan kemampuan untuk bernapas secara spontan. Tindakan ini juga perlu diberikan kepada seseorang yang kehilangan fungsi pompa jantung agar fungsinya bisa kembali sehingga oksigen dan darah bisa bersirkulasi kembali dengan baik ke seluruh tubuh, terutama ke organ vital.
”Pertolongan ini harus segera diberikan ketika terjadi henti jantung atau henti napas karena jika darah dan oksigen tidak mengalir setidaknya setelah empat menit, sel-sel tubuh akan mati. Kondisi pasien pun sulit dikembalikan, bahkan bisa berisiko pada kematian,” tutur Ade.
Adapun langkah awal yang harus dilakukan dalam resusitasi jantung paru adalah memastikan kesadaran pasien. Jika pasien dipastikan tidak sadar dan dari pemeriksaan nadi tidak ada respons napas, segera pindahkan ke tempat yang aman. Sebelumnya, hubungi bantuan untuk pertolongan darurat, seperti 119, agar segera datang menolong.
Di beberapa negara lain, pertolongan dengan kompresi jantung merupakan hal lumrah yang dilakukan oleh setiap orang. Namun, itu tidak biasa bagi masyarakat Indonesia karena memang edukasi yang masih minim.
Dalam waktu menunggu pertolongan darurat tersebut tiba, kompresi dada bisa dilakukan pada pasien. Kompresi dada dilakukan dengan kecepatan 100-120 kali per menit dengan kedalaman kompresi dada 5-6 sentimeter. Lakukan kompresi sebanyak 30 kali diselingi dengan inspirasi oksigen melalui napas buatan. Tindakan ini perlu dilakukan secara terus-menerus sampai kesadaran kembali atau bantuan tiba.
”Seharusnya masyarakat bisa dengan sadar segera memberikan kompresi dada jika menemukan ada pasien yang tidak sadar. Jangan justru dikerubungi atau pada pasien malah dipijat-pijat. Itu tidak akan menolong,” ucap Ade.
Pendidikan dokter
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, kurangnya jumlah dokter spesialis jantung juga menjadi persoalan lain yang dihadapi dalam penanganan penyakit jantung dan pembuluh darah. Selain jumlah dokter yang kurang, distribusinya pun tidak merata.
Merujuk pada data Perki pada 2021, tercatat ada 1.413 dokter spesialis jantung dan pembuluh darah di Indonesia. Namun, sebagian besar dokter tersebut masih terpusat di wilayah Jawa dan Bali.
Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah paling banyak ditemui di DKI Jakarta (254 orang), Jawa Timur (190 orang), dan Jawa Barat (128 orang). Ironisnya, ada sejumlah daerah yang hanya memiliki satu dokter spesialis tersebut, yakni Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.
”Masalahnya tidak pada alat kesehatan, tetapi pada dokter spesialis. Kita sangat kekurangan dokter spesialis. Akibatnya, ribuan bahkan puluhan ribu orang meninggal setiap tahun karena tidak mendapatkan pertolongan karena kekurangan dokter,” tutur Budi.
Oleh sebab itu, ia mendorong agar produksi dokter, khususnya dokter spesialis, bisa semakin meningkat. Salah satunya dilakukan melalui program beasiswa khusus terkait pelatihan pemasangan ring jantung (stent jantung). Pelatihan ini diberikan secara intensif selama enam bulan. Dengan begitu, setidaknya pertolongan untuk kasus serangan jantung atau kasus lain yang membutuhkan tindakan pemasangan ring jantung bisa segera diberikan.
Ketua Umum Perki Radityo Prakoso menambahkan, program beasiswa untuk dokter spesialis jantung sudah berjalan sejak 2017. Namun, melalui dukungan Kementerian Kesehatan, sasaran dalam program tersebut kini ditingkatkan dari sebelumnya hanya 25 dokter setiap tahun menjadi 50 dokter setiap tahun.
”Pelatihannya merata di 34 provinsi dengan lokus prioritas di 54 rumah sakit dengan RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita sebagai rumah sakit pengampu. Melalui program ini diharapkan pelayanan di masyarakat bisa semakin baik,” katanya.