Ketika Bersekolah Belum Tentu Belajar…
Askes bersekolah anak-anak di dunia, termasuk Indonesia, membaik. Namun, semakin banyaknya anak bersekolah belum menjamin siswa belajar kecakapan dasar yang berguna untuk masa depan.
Diperkirakan 617 juta anak-anak dan remaja di dunia tidak dapat membaca kalimat sederhana atau melakukan perhitungan matematika. Padahal, dua pertiga dari jumlah anak-anak dan remaja tersebut benar-benar duduk di ruang kelas atau bersekolah.
Data global tersebut menunjukkan bahwa terlalu banyak anak yang masih berjuang untuk mempelajari kompetensi dasar yang dibutuhkan untuk mampu belajar lebih lanjut. Bahkan, sebelum pandemi Covid-19, lebih dari setengah anak berusia 10 tahun di seluruh dunia tidak dapat membaca dan memahami kalimat sederhana.
Krisis pendidikan secara global yang terungkap dalam konferensi tingkat tinggi (KTT) Transforming Education Summit (TES) di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat, beberapa waktu lalu, juga jadi cermin kodisi pendidikan di Indonesia.
Secara statistik, semakin banyak anak Indonesia yang menuntaskan wajib belajar sembilan tahun (SMP), bahkan kini di jenjang SMA/SMK sederajat. Namun, anak-anak yang bersekolah itu belum menunjukkan capaian belajar yang baik dalam penguasaan kemampuan dasar literasi dan numerasi serta karakter. Karena itulah, sering diungkapkan bahwa anak-anak bersekolah, tetapi belum tentu belajar.
Dari Asesmen Nasional 2021 oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, satu dari dua peserta didik belum mencapai kompetensi minimum literasi. Selain itu, dua dari tiga peserta didik belum mencapai kompetensi minimum numerasi.
Di kategori capaian karakter, terlihat masih minim yang sampai membudaya. Padahal, indeks karakter siswa yang tinggi juga menghasilkan skor literasi dan numerasi yang tinggi dibandingkan dengan yang rendah dan sedang.
Tidak menguasai
Pendiri sekaligus Chief Education Officer Zenius, Sabda PS, di Jakarta, Selasa (27/9/2022), menceritakan, di awal tahun ajaran dia mengetes siswa kelas XII yang belajar di kelasnya. Siswa diberi soal pembagian 1/3 : 3. Hasilnya, 39 persen siswa menjawab salah, yakni 1 atau 9. Padahal, soal pembagian pecahan dan bilangan bulat ini seharusnya sudah dikuasai siswa kelas XII yang bersiap hendak menjadi calon mahasiswa.
”Belajar foundational skill ini sangat penting. Peserta didik tidak sekadar mengahafal rumus, tapi memahami konsepnya. Kelak, ketika ada konteks masalah, mereka bisa tahu menggunakan konsep yang relevan untuk suatu masalah,” ujar Sabda.
Sementara itu, dalam acara pelatihan guru-guru SD/MI di wilayah Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang diadakan Gerakan Pemberantasan Buta Membaca, para guru mengatakan terus mengajarkan membaca dengan cara konvensional. Mereka mengajarkan siswa mengenal huruf tanpa memahami konteks, lalu membuat kata hingga kalimat. Siswa bisa lancar membaca, tetapi sering kali tidak paham teks yang dibaca. Literasi pun sekadar dimaknai anak bisa membunyikan kalimat.
Baca juga : Mengubah Didikan "Rotan" Menjadi Sekolah Menyenangkan
Tak banyak guru yang memberi kesempatan bagi anak untuk menggali rasa ingin tahu ataupun bereksplorasi. Padahal, dengan kegiatan membaca buku dan bercerita, guru bisa menggali pemahaman, pengalaman, bahkan ide dan imajinasi siswa. Namun, ruang untuk menciptakan proses belajar yang bermakna dan relevan bagi siswa ini sering kali tak disediakan. Secara umum, para guru hanya terpaku pada buku teks.
Berdasarkan Asesmen Nasional 2021, pendidik sudah baik dalam memberikan dukungan afektif dan umpan balik pada siswa. Akan tetapi, pendidik masih rendah dalam manajemen kelas, apalagi kompetensi dalam melaksanakan pembelajaran yang interaktif dan sesuai kemampuan peserta didik.
Tidak sesuai kebutuhan
Realitas pembelajaran tersebut membuat penyampaian materi pembelajaran sesuai target kurikulum memang selesai. Namun, nyatanya, kemampuan literasi dan numerasi serta karakter anak didik tidak sesuai dengan kebutuhan untuk berkembang menjadi individu yang cakap belajar sepanjang hayat.
Akibat pandemi Covid-19, penutupan sekolah terjadi secara masif. Hampir dua pertiga anak di dunia tidak dapat membaca dengan pemahaman. Meski begitu, kurang dari setengah negara yang memiliki strategi untuk membantu anak-anak mengatasi ketertinggalan. Ketika dibuka kembali, sekolah tergoda untuk melanjutkan pembelajaran seperti biasanya dengan asumsi bahwa begitu anak-anak kembali ke kelas, mereka belajar akan segera kembali ke jalurnya.
”Ini akan menjadi sebuah kesalahan. Untuk menghindari dampak permanen, negara perlu fokus membalikkan kerugian tersebut dan mempercepat pembelajaran keterampilan dasar. Jika anak-anak tidak memperoleh keterampilan belajar dasar yang tepat, peluang mereka untuk mencapai kesuksesan dan kesejahteraan secara keseluruhan akan terhambat sejak awal,” kata Stefania Giannini dariUNESCO.
Utang pada anak-anak
Oleh karena itu, dalam KTT TES, para pemimpin dunia, pakar pendidikan, dan aktivis menyoroti urgensi untuk memulihkan kehilangan pembelajaran akibat pandemi. Mereka setuju untuk memastikan anak-anak di seluruh dunia mendapat landasan untuk berkembang di sekolah.
”Kami yakin bahwa generasi muda saat ini, dengan keterampilan dan kesempatan, akan membawa kami menuju masa depan yang damai, berkelanjutan, dan sejahtera. Harapan inilah yang menuntun keluarga dan masyarakat berkorban untuk memberikan anak-anak kita awal terbaik dalam hidup, khususnya pendidikan yang mereka butuhkan untuk menjalani kehidupan yang bahagia dan produktif. Kita harus yakin bahwa anak-anak tidak hanya bersekolah, tetapi juga belajar,” tutur Robert Jenkins dari Unicef.
Anak-anak sekolah membutuhkan keterampilan belajar dasar guna berkembang sepanjang hidup mereka. Pembelajaran dasar ini mengacu pada keaksaraan dasar, berhitung, dan keterampilan yang dapat ditransfer, seperti keterampilan sosio-emosional.
Peserta didik tidak sekadar mengahafal rumus, tetapi memahami konsepnya. Kelak, ketika ada konteks masalah, mereka bisa tahu menggunakan konsep yang relevan untuk suatu masalah.
Pada KTT TES, Presiden Sierra Leone Julius Maada Bio mengatakan, ”Kita semua berutang kepada anak-anak kita, masa depan yang menjanjikan, di mana sebagai warga negara yang produktif, mereka akan terus membangun keadilan, inklusif, adil, dan masyarakat yang damai.”
Anak-anak yang tidak dapat membaca dan memahami teks sederhana akan kesulitan untuk mempelajari hal lain di sekolah. Mereka lebih mungkin mengulang kelas dan lebih mungkin untuk putus sekolah. Mereka cenderung tidak mendapat manfaat dari program pelatihan dan keterampilan lebih lanjut. Di tingkat nasional, ini akan menyebabkan hasil kesehatan yang lebih buruk, pengangguran kaum muda yang lebih besar, dan tingkat kemiskinan yang lebih dalam.
Simak juga : Meraih Kembali Minat Baca untuk Anak
Oleh karena itu, pembelajaran dasar kini dinyatakan penting bagi dunia karena jumlah anak yang tidak dapat membaca dengan pemahaman di usia 10 tahun merupakan sinyal kualitas pendidikan suatu negara. Pembelajaran dasar menyediakan blok bangunan untuk semua pembelajaran, pengetahuan, dan keterampilan tingkat tinggi lainnya yang perlu dicapai anak-anak dan remaja melalui pendidikan.
Selain itu, pembelajaran dasar sangat penting untuk memungkinkan semua anak mencapai potensi penuh mereka dan berpartisipasi dalam masyarakat. Karena itu, negara harus memastikan pembelajaran dasar untuk semua demi memampukan siswa kelak berkontribusi pada kewarganegaraan yang produktif, pembangunan berkelanjutan, pertumbuhan inklusif, serta perdamaian dan kemakmuran, juga mendorong kemajuan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.