Ketika ilmuwan tidak lagi bebas berbicara, sebagaimana diingatkan Romo Mangunwijaya, hal ini akan menyisakan ilmuwan kelas kambing, yang hanya mengembik pada kekuasaan.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
ARSIP TIM PLUTONESIA
Tim Plutonesia mengamati capung di sekitar sungai Hutan Petungkriyono, Pekalongan pada 2 November 2020.
Seorang peneliti bidang konservasi dan lingkungan mengirim surat surat perintah pencekalan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap lima peneliti asing pekan lalu. "Ini bisa juga terjadi dengan saya dan teman-teman lain," kata salah seorang peneliti itu, sambil meminta agar namanya tak diungkap.
Surat yang mengatasnamakan Menteri LHK, Siti Nurbaya ini ditandatangani pelaksana tugas Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Bambang Hendroyono pada 14 September 2022. Isinya memerintahkan para pejabat taman nasional dan balai konservasi untuk tak memberikan pelayanan dan permohonan kerja sama kegiatan konservasi kepada Erik Meijaard, Julie Sherman, Marc Ancrenaz, Hjalmar Kuhl, dan Serge Wich.
Kelima peneliti ini telah menerbitkan banyak publikasi ilmiah terkait hutan dan satwa liar di Indonesia. Meijaard merupakan Direktur Pelaksana Borneo Futures, organisasi yang menekuni riset dan konservasi orangutan, termasuk Indonesia.
Bagian awal surat itu menyebutkan, Meijaard dan kawan-kawannya telah membuat publikasi secara nasional maupun internasional tentang satwa liar, dalam hal ini orangutan, yang dianggap negatif dan dapat mendiskreditkan pemerintah. Namun, alasan sesungguhnya pencekalan ini tidak terjelaskan dan Erik hanya bisa menduga-duga karena dia tidak mendapat surat yang ditujukan langsung kepadanya.
"Kami menulis kritik yang halus di JP (Jakarta Post) tentang transparansi sains. Saya duga seseorang tidak suka itu. Tapi, saya tidak mengira kami dicekal," kata dia.
Dalam tulisan opini ini, Meijaard mengkritik klaim Siti Nurbaya seputar populasi orangutan yang terus bertambah serta kian menjauh dari kepunahan. Dia merujuk sejumlah penelitian ilmiah di Nature (2017), Current Biology (2018), dan Current Biology (2022), yang menunjukkan bahwa ketiga spesies orangutan telah menurun dalam beberapa dekade terakhir dan tidak ada populasi yang tumbuh.
KOMPAS/LUKAS ADI PRASETYA
Dua orangutan di pusat rehabilitasi orangutan Samboja Lestari, Kutai Kartanegara, beberapa waktu lalu.
Di bagian akhir tulisannya, Meijaard meminta otoritas konservasi Indonesia untuk mempertahankan kepercayaan pada sains yang telah ditinjau oleh rekan sejawat. "Di era misinformasi, kami menyambut baik debat konstruktif seputar data yang terbuka dan transparan," sebut dia.
Sementara KLHK tidak merespon pertanyaan. Ketika dimintai tanggapan, Jumat (23/9/2022), Plt Dirjen KSDAE Bambang Hendroyono hingga Kepala Biro Humas KLHK Nunu Anugerah juga tidak merespons (kompas.id, 23 September 2022).
Namun, alasan pencekalan ini kemungkinan besar memang soal perbedaan data yang disampaikan Erik dan tim dengan KLHK. Melalui surat pembaca yang ditulis Nunu Anugerah ke Jakarta Post pada Senin, (26/09), KLHK merespons tulisan Meijaard di koran ini pada 15 September 2022.
Disebutkan, populasi orangutan justru meningkat. Pemantauan di 24 lokasi di Sumatera dan Kalimantan menunjukkan, dari 1.441 orangutan di tahun 2014 menjadi 2.431 pada tahun 2022.
Dalam surat ini juga disebutkan bahwa analisis Meijaard dan kawan-kawan didasarkan pada pemodelan dan interpolasi yang didasarkan pada informasi yang sudah kadaluwarsa. Namun demikian, sampai akhir, surat pembaca ini tidak secara spesifik menjelaskan alasan pencekalan tersebut.
Kompas
Infografik Orangutan
Perbedaan data
Perbedaan data dan pandangan di kalangan peneliti sebenarnya merupakan hal biasa. Apalagi, jika hal itu terkait dengan perbedaan metodologi. Menyikapi perbedaan itu, yang dibutuhkan sebenarnya adalah keterbukaan untuk duduk bersama untuk mencari tahu metode yang paling tepat dan data yang paling akurat.
Namun, pemerintah, dalam hal ini KLHK, cenderung memilih cara yang represif dalam menghadapi perbedaan data ini. Sebelumnya, pada awal 2020, pemerintah mendeportasi ilmuwan kehutaan asal Perancis yang bekerja di CIFOR, David Gaveau, karena menerbitkan studi pendahuluan yang menyatakan angka kebakaran hutan dan lahan Indonesia 2019 jauh lebih besar daripada versi pemerintah.
Perbedaan data dan pandangan di kalangan peneliti sebenarnya merupakan hal biasa. Apalagi, jika hal itu terkait dengan perbedaan metodologi.
Menurut KLHK, data kebakaran versi Gaveau yang diterbitkan menjelang COP25 itu keliru dan menyesatkan. Tak hanya mencekal mendeportasi Gaveau, KLHK kemudian meminta agar para peneliti dan lembaga konservasi yang terikat kerjasama dengan mereka untuk menyerahkan draf tulisan sebelum bisa dipublikasikan.
Kita tentu juga ingat penghentian kerjasama WWF Indonesia dengan KLHK. Melalui Surat Keputusan Menteri LHK Nomor 32/2020 tertanggal 10 Januari 2020, secara sepihak KLHK menghentikan kerjasama yang sudah berlangsung 20 tahun lebih, menyebabkan banyak staf lembaga ini kehilangan pekerjaan.
Salah satu alasan pemutusan kerjasama ini, seperti dijelaskan dalam surat tersebut yaitu WWF Indonesia melakukan kampanye media sosial dan publikasi laporan yang tak sesuai fakta.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Ilalang tumbuh di Bukit Seribu Bintang, Desa Padabeunghar, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Selasa (9/7/2019). Ilalang itu dapat menjadi bahan bakar kebakaran hutan saat musim kemarau. Kawasan bagian utara Gunung Ciremai itu merupakan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan. Tahun lalu, tercatat 1.300 hektar lahan terbakar di Ciremai, gunung tertinggi di Jawa Barat.
Pencekalan terhadap peneliti asing ini menjadi teror bagi para peneliti, bukan hanya peneliti asing, namun juga peneliti dalam negeri. Apalagi, ancamannya bukan hanya individu, tapi nasib seluruh lembaga.
Sebagian peneliti pun memilih pragmatis dengan menghindari tema penelitian yang kritis, misalnya yang menyangkut isu kebakaran hutan, deforestasi, atau ancaman kepunahan satwa langka.
Akhirnya, rangkaian insiden yang menentang kebebasan akademik ini juga bisa menjadi penanda dari sistem birokrasi yang semakin otoriter dan berupaya menundukkan ilmuwan. Ketika ilmuwan tidak lagi bebas berbicara, sebagaimana diingatkan Romo Mangunwijaya, hal ini akan menyisakan ilmuwan kelas kambing, yang hanya mengembik pada kekuasaan.