Penyusunan RUU ”Omnibus Law” Kesehatan Perlu Libatkan Organisasi Profesi
Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Kesehatan masuk dalam Prolegnas 2023. Namun, sampai sekarang IDI dan organisasi profesi kesehatan lainnya tidak pernah dilibatkan dalam perancangan UU ini.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang disusun dengan menghimpun sejumlah regulasi atau omnibus law masuk ke dalam Program Legislasi asional atau prolegnas prioritas tahun 2023. Namun, sampai saat ini penyusunan RUU ini tidak pernah melibatkan organisasi profesi kedokteran.
Pernyataan tersebut disampaikan sejumlah organisasi profesi kedokteran dan kesehatan dalam konferensi pers di kantor Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Jakarta, Senin (26/9/2022). Organisasi tersebut, antara lain, IDI, Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Ketua Umum PB IDI Adib Khumaidi menyampaikan, sampai sekarang organisasi profesi kedokteran tidak pernah dilibatkan dalam proses penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan. Bahkan, semua organisasi profesi juga belum menerima secara resmi naskah akademik ataupun draf RUU tersebut. Padahal, draf RUU ataupun naskah akademiknya seharusnya sudah ada atau dipublikasikan karena RUU tersebut telah masuk prolegnas.
Dalam pernyataan sikapnya, organisasi profesi sepakat, pembahasan RUU Omnibus Law Kesehatan tidak menghapus UU yang mengatur profesi kesehatan yang sudah ada. Pemerintah dan DPR juga didorong untuk menguatkan kembali UU profesi kesehatan lainnya serta lebih aktif melibatkan organisasi profesi kesehatan.
Tidak ada urgensi menghapus UU profesi kesehatan yang sudah ada saat ini.
Selain itu, RUU Omnibus Law Kesehatan ini dinilai tidak urgen untuk disahkan karena sejumlah UU terkait kesehatan yang ada selama ini sudah berjalan dengan baik. Penyusunan RUU ini dikhawatirkan akan mengganggu kebijakan dan tata kelola yang sudah ada.
”Kami khawatir RUU ini menghapus undang-undang yang ada terutama yang berkaitan dengan profesi kesehatan. Oleh karena itu, kami berharap ada klarifikasi dari pihak-pihak yang memiliki kewenangan dalam menyusun RUU ini,” ujar Adib.
Menurut Adib, kebijakan kesehatan harus mengedepankan jaminan hak kesehatan masyarakat. Dalam menjamin praktik tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya, harus dipastikan juga kompetensi serta kewenangan tenaga kesehatan tersebut agar keselamatan pasien tetap terjaga.
”Organisasi profesi seharusnya tetap dilibatkan oleh pemerintah dalam merekomendasikan praktik keprofesian di suatu wilayah. Sebab, organisasi profesi beserta seluruh perangkatnya memiliki kewenangan dalam menetapkan kompetensi profesi kesehatan,” tuturnya.
Adib juga menyebut bahwa hal yang paling penting saat ini yang harus dilakukan pemerintah ialah memperbaiki sistem kesehatan yang secara komprehensif berawal dari pendidikan hingga pelayanan. Perbaikan sistem kesehatan ini termasuk untuk mengatasi berbagai penyakit seperti tuberkulosis (TBC), gizi buruk, kematian ibu dan anak, serta penyakit dengan tiga beban ganda (triple burden) yang memerlukan pembiayaan besar.
Ketua PPNIHarif Fadillah mengatakan, tidak ada urgensi menghapus UU profesi kesehatan yang sudah ada saat ini. Sebab, setiap UU telah mengatur dan memiliki tujuan yang jelas, yakni meningkatkan mutu para profesi dan mutu pelayanan serta memberi perlindungan hingga kepastian hukum terhadap pelayanan kesehatan.
”Kami berharap pembahasan RUU Kesehatan ini memberikan ruang agar tetap mempertahankan UU yang sudah ada dan tinggal mengopitmalkan implementasinya. Organisasi profesi tinggal menyesuaikan dengan kebutuhan yang diperlukan,” ucapnya.
Pekan lalu, Badan Legislasi DPR dan pemerintah menyetujui 38 prolegnas prioritas tahun 2023. Salah satu prolegnas tersebut RUU Kesehatan (omnibus law) dalam Perubahan Ketiga 2020-2024 RUU tentang Sistem Kesehatan Nasional.
Salah satu tujuan menyusun Omnibus Law Kesehatan adalah untuk membangun ekosistem dan peta jalan yang realistis terkait kemandirian obat dan alat kesehatan dalam negeri. Nantinya, sejumlah regulasi dapat dituangkan dalam omnibus law ini, seperti UU Kesehatan, UU Kekarantinaan Kesehatan, UU Tenaga Kesehatan, UU Farmasi, hingga UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).